Rabu, 17 Desember 2008

Persepsi Si Mata Satu

Seperti biasa, malam menjelang tidur aku selalu mengambil sebuah buku untuk menemaniku, dan malam itu ternyata terpilih sebuah buku spiritual yang bercerita tentang “Si Mata Satu”. Yang menarik dari cerita ini adalah pada saat alur itu berjalan seketika kisah itu berubah menjadi CERMIN.

Dikisahkan ada sebuah sekolah yang terkenal dalam menanamkan kekayaan mental bagi murid-muridnya. Suatu hari sekolah tersebut kedatangan “Tamu Agung” dari kerajaan tetangga yang hendak mempelajari keunikan ilmu sekolah tersebut. Karena kesibukannya, sang kepala sekolah segera menyerahkan acara penyambutan ini kepada murid junior yang kebetulan bermata satu. Sang kepala sekolah meminta murid itu menemani dan melayani tamu tersebut sampai beliau menyelesaikan kesibukannya.

Tamu Agung yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, murid bermata satu itu segera membungkukan badannya untuk menyambutnya. Bungkukan badan itu segera dibalas sang tamu dengan mengacungkan tiga jarinya ke udara. Tak mau kalah, si mata satu membalasnya dengan acungan dua jari, yang kembali dibalas lagi dengan acungan satu jari oleh sang tamu. Akhirnya si mata satu mendaratkan sebuah tinju ke muka sang tamu, lalu tamu itu berlari meninggalkan tempat tersebut.

Cerita aneh ini membuatku penasaran untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana, lalu kutelususri kembali kisah itu.

Sang tamu dengan mata memar segera pulang menemui gurunya, di hadapan gurunya ia berkata “Guru, saya telah datang ke sekolah itu untuk mewakili guru melihat ilmu mereka, sungguh luar biasa, baru kali pertama saya mendapat pelajaran yang begitu dalam”
“Sebenarnya apa yang terjadi muridku?” Tanya Sang Guru
“Begitu tiba, saya segera disambut dengan bungkukan badan tanda dimulainya acara uji pengetahuan, lalu saya mulai dengan membuka topik dengan menunjukkan tiga jari ke udara, yang menyatakan bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang, lalu ia membalasnya dengan menyatakan bahwa sebenarnya yang penting adalah saat ini dan masa yang akan datang (2 jari), sedangkan masa lalu adalah sejarah yang tak dapat lagi diubah. Saya kembali menjelaskan bahwa sebenarnya masa lalu, kini dan masa yang akan datang adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan (1 jari), lalu sebuah tinju yang mendarat di muka mempertegas dan menyadarkan saya kalau yang terpenting adalah hidup Saat ini”
“Satu pembelajaran yang luar biasa mengenai hidup” katanya sekali lagi dengan terkagum-kagum walau dengan mata memar.

Sedangkan si mata satu, ketika bertemu dengan gurunya ia langsung berkata “Guru, orang itu sungguh kurang ajar, dari awal saya sudah mencoba menghormati dengan membungkukan badanku, ia malah membalasnya dengan mengatakan bahwa di ruangan itu hanya ada tiga mata, mentang-mentang dia memiliki dua mata sedangkan saya hanya memiliki sebuah saja, saya mencoba bersabar dan berkata kalau ia harus bersyukur karena memiliki dua mata, tapi lagi-lagi ia mengejekku dengan mengatakan saya si mata satu, waktu itu kesabaran saya sudah habis, lalu saya meninjunya. Untung ia segera belari meninggalkan sekolah ini, kalau tidak pasti sudah babak belur.”

Bukankah kita sering seperti kedua murid ini? Saling tidak memahami satu sama lain, masing-masing punya persepsinya sendiri.

Dalam suatu kesempatan, di sela ceramah minggu, saya pernah memperlihatkan sebuah kertas kepada audience yang saya klaim sebagai warna “biru”, tapi audience protes, mereka mengatakan kertas itu adalah berwarna “kuning”, masing-masing dari kami berkeras bahwa itulah warna kertas itu sesungguhnya, sampai saya dudukkan salah satu audience itu di sampingku.
Ketika kutanya kepadanya apa warna kertas itu, ia segera mengatakan “Biru”, sementara para audience yang lain masih berkeras dengan keyakinannya, sampai saya mengubah arah duduk saya sendiri, kali ini saya dan para audience duduk menghadap arah yang sama.
Ketika kuperlihatakan kertas itu kembali, mereka akhirnya juga setuju kalau kertas itu berwarna “biru” sekaligus juga “kuning” tergantung di sisi mana kita memandangnya.

Ternyata kertas itu memiliki dua sisi dengan warna yang berbeda.

Inilah yang terjadi pada kehidupan kita, kita sering berbeda pandangan, saling tidak memahami, saling tidak mengerti, sampai kita DUDUK BERDAMPINGAN, mencoba melihat dari kedua perspektif tersebut, mencoba melihat dari cara pandang orang lain.
Pada saat duduk berdampingan, kita menjadi saling memahami satu satu lain, saling mengerti, saling toleransi, dan kita dapat berangkulan dalam perbedaan. Itu yang dibutuhkan Negara kita saat ini.

Salam Pencerahan
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT. Arthamas Konsulindo Medan
PSDM Siddhi Medan
Sekretaris MBI Medan
Penulis Tetap di www.andriewongso.com

Ratapan (Curiga) Anak Tiri

Mungkin kita sudah terlalu sering mendengar cerita sedih dari seorang anak yang dibesarkan oleh ibu tirinya. Sepertinya cerita ibu tiri selalu identik dengan KESEDIHAN, KETIDAKADILAN dan air mata.
(Disadari atau tidak, sejak kecil benih-benih “CURIGA” telah ditanamkan pada sosok seorang “Ibu Tiri”. Melalui media cetak maupun media elektronik, benih disusupkan lewat cerita-cerita, lewat sinetron, terlebih lewat berita penyiksaan “anak tiri “yang diekspos bukan oleh satu media saja, tapi hampir oleh seluruh media untuk satu kasus yang sama)
Lalu, cerita Ibu tiri sebagai seorang sosok Ibu yang Penyayang seakan lenyap oleh pemberitaan yang tak berimbang, lalu terciptalah sosok MONSTER atas restu bersama.

Lalu apa selanjutnya?

Apa yang ada dibenak kita, ketika suatu saat kita diberitahukan bahwa kita akan segera memiliki seorang Ibu Tiri? (Khususnya ketika kita masih sangat hijau, masih jauh dari kata mandiri)
Suatu Blokade ketat segera kita dirikan, segala macam perlindungan segera kita kenakan, kita segera memproteksi diri kita, kalau-kalau kita akan terluka nantinya oleh kemunculan seorang MONSTER.
Ketika pikiran kita mengidentifikasikan Ibu itu sebagai seorang Monster, maka sejak detik itu juga kita memperlakukannya seperti kehendak pikiran kita.
Kita segera memutuskan hubungan diplomasi bahkan untuk suatu hubungan yang belum sempat dibangun, tidak ada kata persahabatan, semua ucapannya harus ditantang dan ia tak lebih dari seorang musuh. Sekalipun ia berusaha mencairkan kekakuan, itu hanyalah trik untuk mengelabuhi kita. (Setidaknya itulah menurut kita dan kebanyakan orang)
Inilah beban yang harus kita pikul atas nama “CURIGA”

Ketika kecurigaan yang berlebihan itu datang, kita telah dilukai (secara mental) sebelum semua ketakutan itu terbukti kebenarannya. Anehnya kita lebih senang melukai diri sendiri sebelum orang lain melakukannya terhadap kita.

Seorang teman pernah bercerita tentang kisah “Petani yang kehilangan cangkulnya”
Cerita itu dimulai ketika Pak Tani mendapat tetangga baru, seorang pemuda berkaus oblong dengan wajah sangar, yang tidak pernah tersenyum dan selalu pulang larut malam. Pak Tani selalu memperhatikan gerak-gerik tetangga barunya itu. (Jangan-jangan seorang penjahat, pikirnya), ia selalu berkata pada istrinya “Lihat, tampang orang itu sangat mencurigakan”
Semua “TERBUKTI” ketika Pak Tani kehilangan cangkul barunya dan vonis segera dijatuhkan.
“Benar dugaanku, dialah yang telah mencuri cangkul baruku!”
Hari-hari berikutnya Pak Tani sibuk mengamati “si tertuduh”, ia bertekad menangkap basah sang pencuri cangkulnya. Tapi hari yang ditungu-tunggu tak kunjung datang, ia malah tersandung dan terjatuh ketika sedang asyik menjadi seorang detektif.
Benda yang menjadi sandungannya akhirnya mampu memunculkan bukti baru, bukti yang menyatakan bahwa sang pemuda TIDAK BERSALAH.
Pak Tani baru teringat bahwa ia lupa menyimpan cangkulnya ketika sedang menanam ubi di belakang rumahnya.

Ketika benih curiga ditanamkan, detik itu juga kita telah memperlakukan sang Suspect sebagai pelakunya, si pelaku yang telah dan akan terus melukai kita (pikiran kita segera mendefinisikannya sebagai musuh) Ketika pikiran itu telah menjatuhkan vonisnya, kita akan cenderung bertindak sesuai dengan keputusannya, sang Suspect adalah musuh. (dan musuh akan saling melukai)
Sejak itu pula, disadari atau tidak, kita akan melukai “tersangka” itu, dan ini akan memicu PERCEPATAN sang suspect menjadi musuh yang nyata atau bahkan memunculkan musuh yang sebelumnya tak pernah muncul. (Pikiran segera menarik apa yang kita pikirkan)
Cerita ini segera membungkam semua CURIGA yang ada pada temanku tadi, ia berhasil membangun kepercayaanku padanya.

Walau akhirnya ia juga berhasil melukaiku setelah pintu CURIGA runtuh, ada pelajaran yang menarik untuk direnungi dari kejadian tersebut.
Pertama, Setidaknya aku hanya perlu terluka sekali, yaitu pada saat ia melukaiku. (Daripada terluka dua kali : terluka pada saat curiga muncul dan terluka pada saat curiga menjadi kenyataan)
Kedua, setidaknya aku telah memberikan kesempatan pada sang suspect untuk tetap menjadi temanku, dan kesempatan untuk berubah pikiran, untuk tidak saling melukai.

Saatnya bagi kita untuk membuang rasa curiga di antara kita (ini yang sedang terjadi pada negera kita, kehilangan rasa percaya atas sesama), kita ganti rasa CURIGA menjadi WASPADA, terutama waspada atas tindakan kita terhadap orang lain, bukan orang lain terhadap kita.

Sebuah syair dari satu kitab kehidupan menjelaskan pada kita.
“Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan, maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak terluka. Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat”
Syair itu kembali dipertegas
“Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh sukar dicari”

Mungkin setelah kita mulai menyadarinya, Ratapan Curiga anak tiri tidak perlu ada lagi.

Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI

Pikiran Sehat

Fakta menunjukkan bahwa, Kita hampir tidak pernah lupa untuk menjaga kesehatan Jasmani kita, kita memberikan makan padanya 3 kali sehari, kita mandikan dan bersihkannya setiap hari, kita tahu ketika tubuh ini akan sakit, kita tahu ketika jasmani ini tidak sehat. Bahkan sedikit bau badan saja sudah tercium dan terasa tidak enak.

Tapi, Apakah kita juga tidak pernah lupa menjaga kebersihan Pikiran kita? Tapi, apakah bau amis dan tak enak dari sampah-sampah pikiran tercium dan terasa oleh kita?
Kita sering dihinggapi rasa cemas, cemburu, iri hati, marah, benci dan putus asa, yang menghajar kita tanpa kita MAU mengelaknya, dan bahkan membiarkan hal itu perlahan-lahan mengerogoti pikiran kita. Kita biarkan sampah-sampah itu bertumpuk kian hari kian meninggi.

Dan akibatnya kita menderita, ironisnya kadang penderitaan itu kita transfer kepada yang lain, dengan ikut melukai hati dan perasaan mereka dengan rasa cemas, cemburu, iri hati, marah, benci dan putus asa. Lalu terbentuklah semacam siklus penderitaan yang tiada hentinya, berputar dan terus berputar, sampai ada individu yang memutuskan rantai penderitaan itu dengan energy positif yang dipunyainya.
Dan untuk itu, diperlukan PIKIRAN yang SEHAT.

Salah satu penyebab mengapa penyakit pikiran sekarang ini begitu gampang menyerang pertahanan kita adalah bahwa dalam kondisi mondernisasi ini, hidup kita dipenuhi dengan banyaknya tekanan kebutuhan, berita-berita di TV dan koran pun meluncurkan cerita-cerita sedih yang cenderung negative (kekerasan, kerusuhan, bencana alam dan berita duka lainnya seakan menjadi sarapan pagi kita, tanpa terasa menyusup jauh ke dalam alam bawah sadar kita, menjadi bagian dari diri kita)
Secara perlahan tapi pasti, pikiran kita tergerogoti, kita tumbuh menjadi orang yang menderita penyakit pikiran, fenomena ini hampir seperti perangkap “COMFORT ZONE”, kita tak menyadari bahwa kita telah terjangkit penyakit itu, ketika disadari, kita hampir tak punya kekuatan untuk melawannya, dan segera kita menjadi bagian dari kerusakan itu.
Saatnya untuk berbenah diri, saatnya untuk menjaga kesehatan dari Pikiran kita.
Seperti juga kesehatan jasmani, maka untuk menjaga kesehatan pikiran jika juga harus memberikan makanan yang bergizi dan bervitamin, makanan empat sehat lima sempurna.
Sehat pertama adalah mendengarkan kata-kata indah, kata-kata yang memotivasi, kata-kata yang mencerahkan, inilah obat untuk pikiran yang mampu membendung derasnya arus negatif.
sehat kedua adalah melakukan hal-hal yang mendatangkan kebahagiaan dan melapangkan dada kita, dengan semakin terbiasanya kita melakukan hal tersebut, kita akan segera menerima konsekwensinya yaitu “KEBAHAGIAAN”
sehat ketiga adalah berteman dengan orang-orang yang menjadi sumber pencerahan dan menjauhi sumber kata-kata negatif.
sehat keempat adalah melakukan perenungan, dengan perenungan kita akan semakin dewasa dan sadar.
Dan akan menjadi lima sempurna dengan rasa syukur dan DOA.
Lalu pikiran kita pun akan sebening air, sehat dan menyegarkan, bukan saja menyegarkan diri sendiri, tapi juga menyegarkan bagi orang lain.
Selamat mencoba, semoga kita dapat saling menjaga kebersihan dan kesehatan Pikiran kita.
Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI

Pidato Kemenangan McCain

(Pembelajaran ini diambil pada saat pemilihan Umum di Amerika Seikat)

Anda mungkin mengira ada kesalahan pada judul di atas, karena yang akhirnya berhasil menjadi presiden Amerika Serikat yang ke-44 bukanlah McCain, tapi Barack Obama. Tapi saya yakin, setelah Anda mendengar (atau pada kesempatan ini, membaca) pidato McCain pada tanggal 5 Nop 2008, Anda akan sepakat dengan saya.
Umumnya judul pemberitaannya adalah “Pidato Kekalahan McCain”, tapi saya lebih tertarik dengan memakai judul di atas, alasannya mungkin akan Anda dapatkan kemudian.

Potongan Transkrip Pidato McCain
Potongan pertama, ....... A little while ago, I had the honour of calling Senator Barack Obama to congratulate him. (diikuti suara cemooh dari audience, tapi segera diredam dengan manis oleh McCain)
Please. To congratulate him on being elected the next president of the countray that we both love.

Potongan kedua, ...... Senator Obama and I have had and argued our differences, and he has prevailed. No Doubt many of those differences remain. These are difficult time to our country. And I pledge to him tonight to do all in my power to help him lead us through the many challenges we face.
I urge all Americans... I urge all American who supported me to join me in not just congratulating him, but offering our next president our good will and earnest effort to find ways to come together to find the necessary compromise to bridge our differences and help restore our prosperity, defend our security in a dangerous world, and leave our children and grandchildren a stronger, better country than we inherited.
Whatever our differences, we are fellow Americans, And please believe me when I say no association has ever meant more to me than that. It is natural, It’s natural, tonight, to feel some disappointment. But tomorrow, we must move beyond it and work together to get our country moving again.

Potongan ketiga, ....... I don’t know, I don’t know what more we could have done to try to win this election. I’ll leave that to others to determine. Every candidate makes mistakes, and I’m sure I made my share of them. But I won’t spend a moment of the future regretting what might have been.
This Campaign was and will remain the great honour of my life, and my heart is filled with nothing but gratitude for experience and to the American people for giving me a fair hearing before deciding that Senator Obama and my old friend Senator Joe Biden should have the honour of leading us for the next four years.
(diikuti suara cemooh dari audience, dan kembali segera diredam dengan elegan oleh McCain)
Please. Please. I would not, I would not be an American worthy of the name should I regret a fate that has allowed me the extraordinary privilege of serving this country for half a century. .............

Penggalan pidato John McCain di atas adalah bentuk kebesaran hati seorang pemimpin.
Kita dapat bercermin dari penggalan pidato tersebut, orang boleh menyebutnya pidato kekalahan tapi saya lebih setuju dengan menyebutnya pidato kemenangan.

Di mana letak kemenangannya?
Kemenangan terbesarnya adalah bahwa ia telah memenangkan pertempuran melawan EGOnya, melalui pidatonya yang santun ia memberitakan selamat kepada Barack Obama yang merupakan saingannya dalam perebutan kursi kepresidenan tersebut, melalui pidatonya yang menyejukkan ia mengakui keunggulan pesaingnya, dan mengajak pendukungnya untuk bekerjasam dan mendukung presiden yang baru terpilih itu. (Walau disambut dengan sorakan mencemooh dari pendukungannya kepada sang pesaing tapi McCain berhasil meredamnya dengan elegan, ia berhasil menahan gejolak kecewa dari simpatisannya)

Cermin-Cermin Pembelajaran melalui potongan Transkrip Pidato McCain
Cermin Pertama dari potongan pertama, Di awal pidatonya kandidat presiden dari partai Republik ini segera mengucapkan SELAMAT atas terpilihnya Barack Obama.
Tak gampang bagi seseorang untuk tampil ke depan mengucapkan selamat bagi pesaingnya yang berhasil mengalahkannya, ini adalah ciri pemimpin sejati, untuk tampil ke depan dan mengatakan hal tersebut di depan pendukung fanatiknya, dan ia berhasil melakukannya dengan baik.
Walau kadang itu cukup menyakitkan (terdengar dari suara ketidakpuasan dari pendukungnya)
Lalu bagaimana dengan kita?
Sepertinya kita belum cukup dewasa dalam hal ini, diakui atau tidak tapi fenomena menunjukkan arahnya masih seperti itu.
Banyak pemimpin kita yang yang ketika kalah bersaing malah tidak pernah berani untuk bertatap muka dengan sang pemenang (ini adalah tantangan bagi sang Pemimpin dalam menerima kekalahan itu dengan lapang dada), banyak juga yang malah siap mengugat, tidak puas dan protes dengan hasil yang ada, dan mencari jalan untuk mengagalkan keputusan tersebut (sering kali malah diselangi dengan aksi anarkis dan tindak tidak terpuji lainnya) padahal di awal pertarungan mereka sama-sama berjanji untuk siap menang dan siap kalah. Nyatanya banyak di antara kita yang tidak siap untuk kalah (Ini menandakan bahwa kita juga belum siap menjadi Pemimpin Besar, Pemimpin yang Sejati)

Cermin kedua dari potongan kedua, Sadar bahwa perbedaan itu adalah hal yang lumrah dalam hidup ini, ketika Barack Obama berhasil terpilih menjadi presiden, McCain bukan saja memberikan selamat tapi sekaligus mengajak seluruh simpatisannya untuk ikut mendukung sekuat tenaga dengan itikad baik untuk kemajuan negaranya.
Seorang pemimpin tahu bahwa itulah resiko persaingan, kadang kita harus menghadapi kekalahan, kita tahu bahwa hal itu mengecewakan, tapi itu adalah alami. Seorang pemimpin harus mengesampingkan kekecewaan pribadi atau golongannya demi kepentingan yang jauh lebih besar, kepentingan satu perusahaan atau Negara.
Seorang pemimpin sejati ia harus ikut bersumbangsih dalam kepemimpinan YANG TERPILIH, serta menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada, karena pada dasarnya charisma Leader atau pemimpin sejati bukan terletak pada jabatan yang diembannya saja, tapi terutama pada sikap dan tindakannya sebagai seorang LEADER.

Cermin ketiga dari potongan ketiga, McCain sebagai seorang Leader yang kalah bersaing ternyata mampu mengakui kesalahan yang dibuat (karena pada dasarnya seorang leader sekalipun tidak terlepas dari kesalahan), tapi hal itu tidak disesali terlalu dalam, seorang pemimpin sejati seharusnya berbangga dapat bersaing di tingkat yang tertinggi (walau kalah), karena dipercaya oleh banyak pribadi-pribadi, dan menjadikannya sebagai pengalaman yang berharga dalam kehidupannya.

Ketiga cermin ini, seharusnya menjadi bekal bagi kita untuk melangkah ketika suatu saat, suatu tempat kita lebih kurang mendapat kepercayaan dibandingkan dengan saingan kita.
Saat itu kita diuji untuk terlahir sebagai pemimpin sejati.
Pada saat kita harus duduk sebagai Pemain Pembantu, bukan sebagai Pemain Utama, sebagai seorang leader kita seharusnya menggunakan moment tersebut untuk kembali melakukan pembelajaran, mengoreksi kekurangan yang ada dalam diri kita, membangun pribadi seorang leader yang mampu memberikan contoh teladan bagi semua.

Akhir kata, ketika kita mampu tampil sebagai seorang McCain dalam pidato singkatnya, kita telah membangun benih-benih menjadi Pemimpin yang Sejati, dan sangatnya wajar jika saya sebut pidato itu adalah PIDATO KEMENANGAN McCain, karena ia telah memenangkan pertempuran melawan keegoaannya sendiri.
Kita akan segera bertemu dengan PENCERAHAN dalam hidup ini, Inilah PENAKLUK dan PEMIMPIN SEJATI (yang ketika harus menghadapi keadaan yang tidak diinginkannya dengan lapangan dada dan menyadari KEWAJARAN dalam hidup ini)


Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT.Arthamas Konsulindo
PSDM Siddhi Medan
Sekretaris MBI Medan

Pasar Sifat (Area : Ucapan)

Di suatu pasar “Sifat” seorang pemuda sedang mencari jati dirinya, ia tertarik melihat teman-teman yang telah berhasil “membeli” sifat di pasar tersebut.

Pandangannya pertama kali tertuju pada area “Ucapan”, ketika ia memasuki area tersebut, ia segera dihampiri oleh “PEMBOHONG”.
“Jadi Pembohong saja, sobat!” ajak penjaja kebohongan tersebut.
“Bagaimana caranya?”
“Simple” katanya, “Cukup mengatakan hal yang tidak sesuai dengan fakta, kamu akan menjadi Pembohong”

Maka pulanglah pemuda tersebut kembali ke komunitasnya, sehari kemudian ia kembali dengan muka yang memar, dengan nada kesal ia kembali mengatakan “Kenapa kamu bilang menjadi pembohong itu gampang, buktinya saya babak belur dipukuli teman yang marah karena kebohonganku”
“Benar, menjadi pembohong itu memang gampang, buktinya kamu telah berhasil menjadi seorang pembohong, hanya saja kebohonganmu diketahui, dan ini mesti dipelajari agar tidak terbongkar kelak” lanjutnya.
“Jadi bagaimana caranya?”
“Pertama, ketika kita berbohong adalah kita harus kreatif (negatif) mencari fakta baru yang diperkirakan mampu diterima oleh akal sehat sang pendengar, hal ini tidak gampang karena ketika gagal memunculkan fakta tersebut, gelagat ketidakjujuran kita segera tercium oleh sang pendengar dan sang pendengar segera mendirikan pilar-pilar yang menbentengi diri mereka dari kita” katanya.
“Wah, kalau ada pertama, berarti ada langkah berikutnya lagi ya?”
“Benar, langkah kedua, kita harus berusaha mempertahankan fakta palsu itu untuk waktu yang TIDAK TERBATAS, kita harus selalu mengingat kepalsuan yang telah kita ciptakan, hal ini tak gampang karena biasanya hati kecil kita akan segera menolak ketidakjujuran itu berada di sampingnya, kebenaran akan lebih melekat dalam memory kita, terutama ketika kita di hadapkan dengan fakta-fakta lain yang bertentangan dengan hal tersebut”
“WAKTU YANG TIDAK TERBATAS? Mengerikan sekali.” Ucap pemuda itu.
“Belum habis, masih ada yang ketiga, yaitu kita akan selalu was-was mencari-cari alasan-alasan pendukung yang akan muncul secara tiba-tiba jika kita dipertemukan dengan fakta lain yang bertentangan dengan kepalsuan kita dan ....”
“Masih belum habis?” tanya pemuda itu tak sabaran.
“Keempat, kita akan selalu dihantui perasaan bersalah, perasaaan takut akan reaksi orang yang mendengar ketika kebohongan kita terungkap suatu hari”
“Wah, sulit sekali dan tidak mengenakan”
“Makanya, beli saja KEJUJURAN” kata penjaja kejujuran yang kebetulan berada di dekat area tersebut.
“Kenapa aku harus percaya padamu?” tanya pemuda tersebut.
“Sebelum kamu menentukan keputusan, saya bawa Anda pada Pakar RESIKO terlebih dahulu”

Maka dibawalah sang Pemuda tersebut menemui Pakar Resiko, meninggalkan pejaja Kebohongan yang kehilangan pelangannya.
“Saya mau tahu apa resikonya ketika saya membeli KEBOHONGAN?” tanya Pemuda tersebut kepada pakar Resiko.
“Resiko pertama, masyarakat tidak akan mudah mempercayai kita ketika kita telah diberi lebel “PEMBOHONG”, bahkan ketika kita hendak berlaku jujur sekalipun. Karena begitu lebel tersebut diberikan, maka sekeliling kita segera mendirikan radar-radar yang memantau kelakukan kita, mengklarifikasi kembali setiap ucapan yang keluar dari mulut kita”
“Resiko Kedua, Ketika kita telah berhasil dengan mendapatkan lebel “PEMBOHONG” maka kita juga berhasil menjauhkan orang lain dari diri kita, kita juga berhasil menjauhkan KESEMPATAN yang ada untuk kita. Kita akan segera dijauhi dan be alone, kita menjadi bagian yang tidak disukai”
“Resiko ketiga, umumnya ketika KEBOHONGAN itu terbongkar, masalah yang ditimbulkannya sudah jauh lebih dalam, dan jauh lebih sulit dipecahkan”
“Resiko keempat, kita akan mengalami penderitaan bathin dan ketakutan akan selalu menghantui kita, sepanjang hidup kita”
“Lalu, kenapa begitu banyak yang mau membeli KEBOHONGAN, dan dagangan kebohongan selalu laku keras” tanya pemuda tersebut dengan nada penasaran.
“Ini karena kesenangan sesaat, mereka tertarik karena Kemasannya yang menarik, dan penjaja Kebohongan pintar mengelabuhi pembelinya, mereka tidak melihat Efek Samping yang ditimbulkan, yang sebenarnya telah tertera pada kemasan tersebut walau dengan huruf-huruf yang kecil”
“Baiklah, menimbang semua masukan yang ada, saya ambil keputusan untuk membeli KEJUJURAN

Maka pulanglah pemuda tersebut kembali ke komunitasnya dan beberapa hari kemudian ia kembali lagi ke pasar “Sifat” tersebut dan kembali berkonsultasi dengan pejaja Kejujuran.
“Sebenarnya, dengan kejujuran saya menemukan banyak kebahagiaan, tapi pada keadaan tertentu saya mengalami peristiwa yang cukup menganjar hatiku” kata pemuda tersebut.
“Apa itu?”
“Begini ceritanya, ketika saya sedang istirhat di depan rumahku, lewat segerombolan pemburu yang bertanya di mana mereka dapat menemukan kawanan burung bangau di kawasan itu, saya lalu memberitahukan mereka. Tapi setelahnya saya merasa bersalah, karena mereka pulang dengan puluhan nyawa burung bangau di tangan mereka, saya merasa ikut menjadi pembunuhnya”
“Ini adalah bagian dari kehidupan, ini adalah hal yang wajar” kata penjaja Kejujuran.

“Sudahlah, bagusan jadi PENDIAM saja, khan kata orang “Silent is The Gold” ” kata seorang penjaja Diam yang kebetulan mendengar percakapan mereka itu.
“Benar juga” kata pemuda itu, dan ia kembali lagi kepada komunitasnya. Sejak itu ia menjadi Pendiam, beberapa hari kemudian ternyata ia kembali lagi ke pasar tersebut.

“Wah, Diam ternyata juga tak begitu bagus, hidup terlalu sepi, dan kemarin saya telah mencelakai seorang buta karena sifat diamku ini” katanya.
“Sebenarnya, apa yang terjadi?”
“Begini ceritanya, ketika saya duduk di depan rumahku, lewat seorang buta yang berjalan menyeberangi sebuah jembatan, kebetulan jembatan itu ada lubang besar, saya mencoba memperingatinya, tapi teringat telah membeli “DIAM” makanya saya tak bersuara sama sekali, sampai akhirnya si buta itu terjatuh ke dalam lubang itu dan terbawa arus sungai, untungnya ia masih bisa diselamatkan.” Katanya.

“Makanya milikilah KEBIJAKSANAAN” kata seorang kakek tua yang berjalan dengan santai di depan mereka.
“Kalau begitu saya beli KEBIJAKSANAAN itu” kata sang pemuda.
Maaf, saya tidak menjual KEBIJAKSANAAN, tapi ia bisa kamu memiliki dengan berjalannya waktu dan bertambahnya kedewasaan dalam hidupmu, KEBIJAKSANAAN tidak untuk diperjualbelikan” kata kakek tua itu lalu berlalu dari hadapan mereka.

Blink! Blink Blink! Pemuda itu pun terbangun dari tidurnya.

Salam Pencerahan
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT. Arthamas Konsulindo Medan
PSDM Siddhi Medan

Jumat, 14 November 2008

Mukzizat Keikhlasan

Apakah Anda pernah punya masalah untuk memiliki anak setelah sekian tahun merindukannya?
Mungkin ini adalah salah satu cara untuk mendapatkannya.

BASED ON TRUE STORY
Pernikahan kami diawali pada bulan Juli 2004, pada saat itu keinginan untuk memomong seorang anak hadir dalam kadar yang masih lemah, walau usia kami bukan lagi tergolong muda.
Kehadiran anak-anak di rumah masih dipertanyakan, suara-suara centil mereka masih terasa mengganggu pendengaran, masih ada kekhawatiran mendekap tubuh kecil yang lemah itu dalam pelukan kami. Kami belum cukup siap menerima keberadaannya di antara kami, belum ada kerinduan yang mendalam.
Ketika waktu terus berjalan dan memasuki dua tahun usia pernikahan kami, kerinduan itu mulai terasakan, bahkan semakin menguat setelahnya, beresonansi dengan pernyataan-pernyataan yang sedikit mengganggu, “Kapan rencana punya anak?” “Kenapa belum mau punya anak?” dan sebagainya, seakan mengingatkan aku tentang desakan menikah dulu.
Kerinduan itu pun mulai berubah menjadi pengharapan dan selanjutnya berevolusi menjadi kekhawatiran atas ketidakmampuan kami memenuhi tuntutan lingkungan. Lalu, kami pun mulai mencari tahu dan berkonsultasi dengan para ahli.
Berikutnya, seperti yang kami duga, serangkaian test dan pengobatan pun dilakukan untuk mengisi program yang disusun oleh para ahli tersebut. Awalnya kami menjalani dengan semangat, tapi rasa frustasi segera menjalar ke dalam hati kami setelah harapan itu tak kunjung datang walau biaya, waktu dan energi telah terkorbankan, dan sebagai klimaksnya, kami divonis untuk menjalankan program Bayi Tabung (yang tingkat keberhasilannya mungkin 20% sampai dengan 30 %), sementara secara financial hal tersebut harus kami perhitungkan masak-masak.
Sebenarnya usaha kami tidak hanya sampai di sana, untuk memastikan vonis tersebut, kami melakukan dianogsa pembanding ke negeri jiran, dan ternyata hasilnya masih tetap sama, kami disarankan melakukan program Bayi Tabung.
Sejenak kami terhenyak, tapi akhirnya kami menemukan PENCERAHAN di balik KEPASRAHAN.
Kami akhirnya menghentikan pencarian program yang ditawarkan dari ahli yang lain, kami sudah ikhlas dengan kenyataan yang harus kami hadapi (Ikhlas dan Pasrah dalam arti aktif), kami pasrah menerima kenyataan bahwa kami harus menjalani Program Bayi Tabung (yang belum tentu dapat berhasil), kami pasrah jika hal itu tidak memungkinkan maka kami akan mengadopsi anak.
Kami pun merencanakan hal ini akan direalisasikan dalam waktu dua tahun mengingat keadaan financial, lalu di saat yang sama kami membungkus diri dalam bingkai KEIKHLASAN dan menyadari kenyataan yang harus kami hadapi.
Ketika kami benar-benar menerimanya, beberapa bulan kemudian MUKZIZAT itu datang, kami mendapat Vonis baru, Istriku dinyatakan telah hamil (tentunya saja setelah melalui 2 kali test urine dan diperkuat dengan pernyataan dokter)
Setelah itu, maka semua pihak pun merasa berjasa akan kehamilan itu, ada yang merasa bahwa suplemen yang mereka tawarkan kepada kami telah berhasil, ada yang merasa karena nasehat merekalah semua ini dapat terjadi, ada juga yang merasa karena obat penguat yang disuguhkan kepada kami, ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah buah dari karma baik yang kami tanamkan, ada yang mengatakan bahwa kami telah siap menerima kehadiran sang bayi dan masih banyak lagi yang lain. Begitu banyak yang merasa bertanggungjawab di sini, yang memang metode yang mereka suguhkan pad kami sudah pernah kami coba dan kami jalani sebelumnya. Lalu ketika hendak diklaim siapa sebenarnya yang telah berhasil memenangkannya, kami katakan SEMUA telah berjasa.
Ketika KEIKHLASAN berkolaborasi dengan semua unsur penunjang ini, maka akan melahirkan sebuah KEAJAIBAN, sebuah MUKZIZAT.
Dan Mukzizat ini telah menghantarkan kami menunggu kehadiran Putra kami yang pertama.


IKHLAS DENGAN AKTIF
Ikhlas dengan aktif berarti menerima keadaan dan kenyataan yang kita hadapi sekaligus berusaha mencari solusi dalam menyelesaikan masalah atau problem yang terjadi, bukan berdiam diri.
Ketika kita tersandung dan terjatuh dalam hidup ini, kita akan merasakan sakit, konsep pemikiran IKHLAS dengan Aktif mengajak kita menyadari bahwa kita telah jatuh dan kita sakit karenanya (bukan malah mengingkarinya, bukan malah menolak sakit tersebut, bukan mencari-cari sebab kejatuhan secara berlebihan, bukan mencari kambing hitam untuk disalahkan atau malah melarikan diri dari tanggungjawab atas permasalahan tersebut), ketika kita menerima kenyataan tersebut sebagai bagian dari kehidupan kita yang tak terpisahkan dari kita, kita menerima kenyataan tersebut dengan tidak meratapinya, maka kepasrahan kita ini akan membuat sakit hanya sebatas SAKIT saja, tidak berkembang menjadi berlipat-lipat akibat penolakan kita, tidak berkembang menjadi berkali-kali akibat ketidakmampuan kita menerima hal tersebut. (Pasrah aktif bukan membiarkan luka kita tanpa diobati dan bernanah kemudian)
Yang perlu kita lakukan setelah menyadari rasa sakit itu hanya satu, OBATI. Berikan obat dan selanjutnya biarkan waktu yang bekerja menyembuhkannya secara alami, tidak dipaksakan. (Ada kalanya satu-satunya obat untuk permasalahan itu adalah PENERIMAAN, Keikhlasan itu sendiri)

Maka sekali lagi, kolaborasi antara Keikhlasan dan aktivitas pengobatan yang kita lakukan akan mendatang Keajaiban, mendatangkan Mukzizat dalam hidup kita.
Mendatangkan Sang buah hati yang kita dambakan.

Selamat Mencoba!

I Love You, Mom

Sebelum kita berbicara lebih panjang lebar tentang Hari Ibu, sebelum kita berbicara lebih lanjut mengenai betapa besarnya kasih bunda, sebelum kita mengklaim betapa kita juga mencintai mama, mari kita lakukan percobaan sederhana di bawah ini.

Kalau kita ditanya “Apakah Anda mencintai Mama?”, maka saya yakin semua akan menjawab dengan lantang, penuh percaya diri “Saya mencintai Mama, bahkan saya sangat mencintai beliau” Nah, sekarang mari kita mulai percobaan ini.

Percobaan “I Love You Mom”
Sekarang coba temui Mama, lihat matanya dengan kasih, lalu katakan “I love You Mom” (Kalau perlu cium pipinya atau peluk dirinya)
Apa yang kita rasakan pada saat itu? Dapatkah kita melakukannya tanpa beban? Apakah Anda malah tertawa karena tak terbiasa dengan adegan yang menurut Anda kesannya “terlalu sentimentil”, atau pada saat ini Anda malah sudah merinding membayangkan untuk melakukan hal itu?. Untuk hal yang sederhana ini, mari kita simpan jawaban ini untuk diri kita masing-masing, kita tak usah mengatakan apa-apa, cukup menyadari bahwa betapa cinta kita tidak sebanding dengan kasih Ibu yang telah membesarkan kita.
Sebagai pembanding, ketika kita dulu berada dipelukkan mama, Mama tak henti-hentinya mencium kita, memeluk kita, menyatakan cintanya tanpa segan-segan, lalu melalui percobaan sederhana ini kita seakan dihadapkan pada sebuah cermin besar yang memantulkan intensitas cinta kita pada Bunda yang penyayang. Redupkah cinta kita?

Sebagai pembanding lain, beberapa waktu lalu saya mendapati sebuah email yang bercerita tentang kasih Ibu, izinkanlah saya membuka email ini untuk kita semua dengan versi yang berbeda.

Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.
Ketika untuk pertama kali kita tampil di dunia ini, Mama telah berjuang keras menahan sakit, mengerang selama beberapa jam bahkan kadang berhari-hari, dan sebagai balasannya kita lahir dengan tangisan keras. Semenjak hari itu, cacatan panjang pengorbanan bunda tertulis dalam sejarah hidup kita, kita kadang kadang lupa bahkan sengaja melupakanya. (Hal ini semakin jelas, ketika kita kelak menantikan kelahiran anak pertama kita, kita akan segera tahu bahwa sungguh satu pengorbanan yang besar ketika seorang ibu mengandung selama 9 bulan lamanya, ada satu perjuangan yang luar biasa untuk menanti kelahiran buah hatinya)
Mari kita flash back dan bandingkan dengan apa yang kita lakukan untuk bunda kita, melalui sebuah cerita kehidupan si kecil yang kini telah bernama Kita.

Ketika bayi kecil itu dilahirkan, Mama dengan welas asih membasuh tubuhnya, membersihkan muntahannya, lalu sebagai balasannya si bayi kecil merengek sepanjang hari, dan sang mama pun harus terjaga dan berusaha meninabobokannya.
Ketika bayi kecil itu bertumbuh dewasa, Kita malah takut dengan muntahan mama, alasannya simple saja “Jijik”, Kta malah menyuruh pembantu untuk membersihkannya untuk Kita.

Selanjutnya mama mulai mengajari si kecil “Bagaimana cara berjalan?”, waktu itu si kecil malah kabur ketika beliau memanggilnya.
Lalu ketika si kecil sudah beranjak dewasa, dan sang mama sudah rentan serta tak mampu untuk berjalan, Kita malah tak punya sedikit pun waktu untuk membawa beliau melihat pemandangan luar, Kita malah mengurungnya di kamar dengan alasan “KESELAMATAN”, Kita malah membiarkannya sendiri dalam kamar.

Si kecil juga kemudian disuapin dengan makanan yang bergizi dengan kasih sayang, sebagai balasannya si kecil yang nakal ini malah membuang piring berisi makanan ke lantai, lalu dengan sabar mama kembali menyuapinya kembali.
Ketika si kecil telah dewasa, dan ketika mama yang telah tua menjatuhkan piringnya tanpa sengaja, Kita segera mengantikan piring-piring kaca itu dengan piring plastik yang paling murah agar tidak pecah berantakan ketika terjatuh kelak, Kita malah membiarkan mama menyuapi diri sendiri dengan tangan gemetaran.

Di usianya yang ke-4, mama memberikan pensil berwarna untuk si kecil, sebagai bentuk kreatifitas si kecil malah mencoret-coreti tembok rumah dan meja makan, berikutnya mama malah memberikan sebuah kamar cantik, lengkap dengan papan tulis di sana.
Lagi-lagi ketika si kecil telah didewasakan oleh waktu, kamar Mama malah tak pernah direnovasi, mama malah harus cukup puas tidur di kamar yang pengap dan gelap.

Di masa kecil kita, Mama juga tak pernah lupa memberikan baju-baju yang mahal dan indah, terutama ketika hari raya atau hari ulang tahun kita, tapi si kecil yang nakal malah memakainya bermain di kubangan lumpur. Mama juga pernah memberikan bola kaki, lalu si kecil malah melemparkannya ke jendela tetangga.
Ketika Kita telah dewasa, Kita malah lupa memberikan kado yang indah pada mama di hari ulang tahunnya, bahkan kalimat “Selamat Ulang Tahun, Ma” pun tak pernah Kita ucapkan padanya.

Di usia ke-6, Mama mengantar si kecil ke sekolah, sebagai balasan si kecil malah berteriak “Nggak Mau”, lalu selanjutnya Mama harus membayar mahal untuk kursus-kursus pendukung pendidikan Kita, sebagai balasannya Kita malah sering bolos dan tidak mau belajar sama sekali.
Anehnya, setelah Kita dewasa, ketika Kita gagal dalam pendidikan, Kita malah menyalahkan Mama yang terlalu mencampuri urusan belajar Kita. Dan ketika berhasil pun Kita sering lupa menyebutkan jasa bunda yang telah menyekolahkan Kita.

Ketika Kita diminta mama membersihkan rumah, menyuci pakaian, melap meja makan, Kita yang mulai beranjak remaja malah menagih BIAYA service selama membantu mama, sebagai balasannya mama lalu memberikan sebuah bon pelunasan atas service-nya selamanya, mama katakan bahwa apa saja yang mama berikan selama ini, termasuk mengandung selama 9 bulan, memasak, memandikan, dan service-service lainnya adalah GRATIS.

Saat Kita remaja, Kita di antar mama ke mana saja, dari kolam renang sampai pesta ulang tahun, sebagai balasannya Kita melompat keluar dari mobil tanpa memberi salam, bahkan sampai saat ini, Kita tak pernah meminta izin mama ketika hendak keluar, Kita tak pernah menyapa Mama ketika pulang.

Bahkan di ulang tahun Kita yang ke-17, Kita malah berpesta pora dengan teman sampai larut malam, sementara mama menunggu dengan cemas, ditemani kue ulang tahun yang belum dinyalakan, padahal tepat 17 tahun lalu Mama berjuang keras dalam proses kelahiran Kita.

Ketika Kita lulus dari SMA, Mama menangis terharu, ia ingin memeluk Kita merayakan kelulusan itu, sebagai balasannya Kita malah berpesta dengan teman-teman sampai pagi, dan ketika untuk kali pertama Mama mengantar Kita ke kampus, Kita malah melarangnya, alasannya “Malu dilihat teman-teman”, Dan celakanya, sampai hari ini pun Kita masih malu ketika bersama dengan Mama.

Setelah Kita lulus dari perguruan tinggi, Mama membantu Kita mencarikan pekerjaan yang baik untuk Kita, sebagai balasannya Kita malah meremehkan pekerjaan tersebut. Kita malah meminta Mama menjual rumah yang “Terlalu Besar“ itu, sebagai gantinya Mama harus pindah ke rumah kecil di pinggiran kota, lalu sisanya dijadikan modal untuk usaha. Kita berjanji akan membelikan Rumah yang lebih megah kalau usahanya berhasil.
Nyatanya, setelah bisnis berjalan lancar, Mama masih tinggal di rumah kecil di pinggiran kota, alasannya dananya telah dialokasikan untuk “Biaya Pernikahan”

Mama pun bersuka cita menyambut pernikahan itu, malah Mama dengan senang hati membantu membiayai pernikahan itu, sebagai balasannya kita malah membeli sebuah rumah baru yang jaraknya lebih 500 km dari rumah Mama.

Pada kelahiran putra pertama, Mama segera menjual rumahnya di pinggiran kota untuk tinggal bersama dan menjaga cucu pertamanya, tapi sebagai balasannya lagi-lagi Kita malah tempatkan beliau di rumah panti jompo, alasannya, “Agar di sana ada yang menemaninya, Kita terlalu sibuk dengan urusan kantor, dan cucunya ada baby sister yang menjaganya”

Suatu hari, Mama yang kesepian menelepon Kita dan memberitahukan kalau ada pesta dari salah satu saudara dekatnya, sebagai balasannya Kita malah pergi sendiri dan membiarkan Mama kembali duduk dalam kesendiriannya.

Di usianya yang kian larut, Mama mulai sakit-sakitan dan memerlukan perawatan khusus, Kita malah tak punya waktu untuk berkunjung karena SIBUK, untuk membawanya ke rumah Kita takut setelah membaca tentang pengaruh negative orang tua yang numpang tinggal di rumah anaknya.
Dan hingga SUATU HARI, dia meninggal dengan tenang, tiba-tiba saja Kita teringat dengan semua yang belum pernah kamu lakukan, dan itu menghantam HATIMU bagaikan pukulan godam

Mari, sekali lagi kita baca riwayat sang Mama dan anaknya yang bernama Kita,
Apa tanggapannya? “Apakah Sang Kita itu GUE BANGET?”
Bukankah si Kita itu hampir mirip dengan kita dalam keseharian? Saudaraku, jangan sempat ketika kita menyadarinya, semuanya telah terlambat, kala itu kita hanya mampu mengucapkan “I Love You, Mom” lewat doa atau mimpi kita saja, pelukan hangat Mama hanya bisa kita rasakan lewat pembayangan saja.

Mungkin ada yang bertanya, suatu hari ketika kita telah berkeluarga, Jika jumlah kasih sayang kita adalah 100%, bagaimana cara kita membagikan kasih sayang kita pada Mama, Papa, Istri dan Anak serta lainnya. Maka jawabannya adalah 100%, 100%, 100%, 100% dan 100%, karena cinta tak akan berkurang sedikitpun ketika dibagikan. Cinta seperti nyala dari sebuah lilin, ketika nyala itu kita bagikan kepada yang lain, intensitasnya tak akan berkurang sedikitpun malah ruang akan semakin bercahaya oleh nyala lilin-lilin tersebut.

So, semasa masih ada waktu, semasa Mama masih di samping kita, katakan padanya saat ini “I Love You, Mom”, dan wujudkan cinta kita tidak hanya dalam kata, tapi juga perbuatan, dan andai Anda seperti saya yang telah lama merindukan Mama (Saya enggan memakai kata kehilangan, karena saya selalu merasa Mama ada di hatiku, dan aku tak merasa telah menghilangkannya), setidaknya kita masih dapat bertemu dengan Mama lewat doa atau mimpi, dan Mama akan hadir dalam setiap langkah kita yang didasari dengan cinta kasih.

Salam peluk dan cium untuk Mama-mama semua.
I Love You, Mom!

Miracle of Love

Keajaiban !
Jika kita bicarakan mengenai keajaiban, maka benak kita akan menerawang jauh ke dunia penuh kejutan. Mungkin di pikiran kita akan segera terisi oleh bayangan seorang ilusionis yang berjalan menembus tembok atau terbang melayang di angkasa. Mungkin juga transformasi seorang nenek menjadi gadis cantik. Ketika kita kumpulan semua yang ada di benak kita saat ini dan bayang-bayang keajaiban yang ada di dalamnya, kita akan segera mengetahui ada keajaiban besar yang terlupakan oleh kita.
Ilustrasi di bawah ini mungkin akan mengingatkan kita kembali pada keajaiban tersebut.

Di sebuah ruang kelas, sekelompok anak sedang mendapat tugas untuk menuliskan 7 keajaiban dunia. Mereka mulai menuliskan satu persatu keajaiban dunia yang mereka dapatkan dari pelajaran geografi, mulai dari Piramida di Mesir sampai dengan The Great Wall di China. Tampak seorang bocah yang sepertinya kebingungan dengan tugas tersebut, Sang Guru pun bertanya padanya “Apakah ada kesulitan dalam daftar itu?” Bocah itu lalu berkata “saya kesulitan untuk memilih 7 dari sekian keajaiban yang ada.”
Lalu Sang Guru kembali bertanya “Apa itu nak?”
Sang Guru terhenyak sejenak, dia sungguh terkejut ketika ia melihat apa yang ada di daftar panjang Bocah kecil itu, ia juga seperti kita melupakan keajaiban-keajaiban kecil.
Di daftar itu tertera hal biasa yang luar biasa, “BISA MELIHAT, BISA MENDENGAR, BISA TERTAWA, BISA TERSENYUM, BISA MERASAKAN, BISA MENGASIHI dan BISA MENCINTAI” adalah keajaiban.

CINTA KASIH adalah salah satu keajaiban kecil yang akan kita bicarakan.

Kasih adalah satu keajaiban Alam terbesar, kekuatannya mengikat dan merekat kita dalam kebersamaan untuk membangun kedamaian dan kebahagian.
Kasih membuat kita saling menghargai dan menghormati, kasih membuat seorang Ibu merelakan dirinya untuk kebahagiaan anaknya, kasih membuat dua kubu yang bermusuhan untuk saling berjabat tangan, Kasih pula yang membuat dunia ini tidak terjerumus dalam perang dunia ke tiga sampai saat ini.
Bayangkan betapa ajaibnya kekuatan Kasih yang tumbuh dalam diri kita untuk membendung datangnya zaman kegelapan.

Syair ini akan mungkin akan membuka mata hati kita.

Janganlah memperdaya orang lain atau menghina siapa pun, di mana pun.
Dalam kemarahan atau kebencian janganlah ia berniat melukai orang lain.
Seperti seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya, Sekalipun mengorbankan hidupnya,
Seperti itu juga, biarlah ia menumbuhkan kasih yang tak terbatas terhadap semua makhluk.
Kasih pada dasarnya adalah proses memberi, suatu proses tanpa pamrih, tanpa memungut bayaran dan tanpa memilih.

Saya pernah melihat “Talk show – Oprah” di sebuah stasiun televisi yang menguak tentang kehidupan para istri muda (karena usianya memang sangat belia, bahkan masih tergolang anak-anak) di Ethopia. Karena kondisi tubuhnya yang masih belia dan faktor fasilitas kesehatan yang kurang, mereka harus menderita suatu penyakit ketika terpaksa harus melahirkan. Mereka kemudian ditelantarkan. Tapi berkat ulurkan tangan beberapa orang para dermawan, mereka akhirnya dirawat di sebuah rumah sakit dan mereka menemukan kebahagiaan mereka kembali. Ada air mata kebahagian ketika mereka dirangkul dalam kebersamaan.
Air mata saya sempat ikut mengalir perlahan menuruni pipi ini, mungkin ada yang mengatakan saya cenggeng, tapi ada perasaan luar biasa yang mengalir bersama kehangatan air mata itu.
Perasaan yang jauh berbeda ketika air mata itu harus jatuh karena kesedihan.
Saya sebut air mata itu, air mata Kasih.
Hanya keajaiban kasih yang mampu membuat air mata ini turun dan menghangatkan perasaanku dengan luar biasa mesranya.
Mungkin kita semua pernah merasakan perasaan ini, mungkin juga banyak di antara kita yang telah melupakannya. Saat ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengingatnya kembali.

Atas nama Cinta, seorang pemuda pecandu rokok dapat membuang kebiasaan jeleknya. Bukankah itu luar biasa indahnya. Sesuatu yang dimulai dengan Cinta, akan berakhir dengan keindahan, kedamaian dan kebahagiaan.
Tapi, berhati-hatilah dengan Cinta Semu (baca Napsu), karena ketika hal ini muncul, ia akan berakhir dengan permasalahan. Pada cinta semu, yang muncul ada EGO.

Ketika kita diberi pertanyaan “Manakah yang kita pilih, lebih baik memberi atau lebih baik menerima?” Jika pilihan kita adalah memberi, kita sesungguhnya adalah insan yang KAYA, karena orang KAYA-lah yang mampu memberi, orang yang kaya akan KASIH yang mampu merelakan bagiannya bagi orang-orang yang di sekitarnya, terutama bagi orang-orang yang dikasihinya. Dan untuk menumbuhkannya, marilah kita mulai dari Rumah. Mari kita tanamkan pada Ayah, Ibu, saudara-saudara kita, pada anak-anak kita, pada pasangan hidup kita.

Sehingga dari sana akan timbul keajaiban-keajaiban kecil, yaitu kebahagian dan kedamaian yang datang terbawa oleh gelombang kasih sayang.

Jika setiap Rumah membuat keajaiban-keajaiban kecil di dalamnya, maka dengan berpegangan tangan, kita akan bersama-sama membuat satu keajaiban besar yang luar biasa indahnya. Kita akan menciptakan SURGA di dunia.

Mimpi?
Ya, tapi akan menjadi KENYATAAN, jika kita semua menginginkannya.

Law of Love

Mari kita kembali bicara mengenai cinta, mengenai Hukum 100 % tentang Cinta.

Jika besarnya Cinta dalam diri kita adalah 100% (kekuatan penuh), maka berapakah komposisi ideal yang harus kita bagi untuk diri kita sendiri dan orang yang kita cintainya (pasangan hidup kita misalnya)

Pilihan pertama kita adalah 80% - 20% (Cinta bagi diri kita sendiri – Cinta untuk pasangan)
Pilihan ini menunjukkan bahwa kita lebih mencintai diri kita sendiri dibandingkan dengan cinta kita pada pasangan kita (atau orang lain yang kita kasihi), komposisi cinta seperti ini kurang ideal karena perasaan egois dan mau menang sendiri akan lebih bermain di sini, cinta yang dibangun dengan komposisi seperti ini cenderung hanya akan mendatangkan konflik. Kita menjadi tak segan-segan menyingkirkan orang lain demi kepentingan kita.

Lalu bagaimana dengan pilihan 20% - 80% ?
Kebalikannya, mencintai orang lain di luar diri kita adalah baik, tapi jika kita tidak mencintai diri kita sendiri juga adalah petaka. Berapa banyak teman kita yang terjerumus dalam Narkoba? Yang harus menderita karenanya, Itu adalah salah satu contoh rendahnya prosentasi cinta pada diri sendiri. (Yang selanjutnya akan meruntuhkan cinta kita kepada orang lain)
Atau seorang ibu (orang tua tunggal) yang tidak memperhatikan kesehatannya berjuang mati-matian untuk menghidupi kedua anak yang dicintainya adalah contoh berikutnya. Lalu apa yang salah? Ketika sang ibu tidak memperhatikan cintanya pada diri sendiri, maka ibarat mesin yang tak pernah diurus, suatu saat akan rusak juga. Akan lebih terasa lagi ketika kerusakan itu terjadi pada saat produktifitas sang ibu ini masih sangat dibutuhkan untuk menopang hidup keluarga tersebut. Pada saat itu, sang ibu bukan saja membuat dirinya sendiri menderita, tapi juga kedua anaknya yang sangat ia kasihi (yang diklaim melebihi kasihi terhadap diri sendiri).

Apakah komposisi ideal itu 50% - 50% ?
Supaya adil, mungkin ini alasan kita memilih komposisi ini.
Lagi-lagi komposisi seperti ini juga tidak ideal, kita tidak maksimal dalam mencurahkan cinta, baik bagi diri kita sendiri ataupun bagi orang lain.

Lilin Cinta
Sebelum kita menemukan komposisi ideal itu, mari kita katup mata kita, kita biarkan diri kita dalam keheningan. Kita bayangkan bahwa saat ini ada kegelapan yang menyelimuti kita, tak ada setitik cahaya pun yang menerjang memasuki ruangan itu. Lalu di tangan kita ada sebuah lilin kecil yang memancarkan cahaya, menerangi ruangan itu.
Jika kita tidak sendirian di ruangan itu, jika di ruangan itu masih ada yang lain dengan masing-masing memegang sebatang lilin kecil, akankah kita membagikan nyala lilin yang ada di tangan kita?
Semua mungkin akan mengatakan YA.
Lalu kenapa kita mau melakukanya?
Alasannya, karena ketika kita membagikan nyala (cahaya) itu kepada yang lain, cahaya lilin kita tidak berkurang itensitasnya, tidak sedikit pun. Bahkan ruangan akan semakin bercahaya dengan nyala lilin-lilin yang lain, ruangan akan semakin terang karena kita telah berbagi dengan sesama.

Seperti cahaya lilin itulah Cinta, cinta tak akan berkurang sedikitpun intensitasnya ketika dibagi dengan sesama, bahkan cinta akan bersemi dan semakin berkembang, jika masing-masing dari diri kita menyalakan lilin-lilin itu dan kembali membagikannya pada yang lain. Maka dunia akan diterangi oleh cahaya Cinta.
Dan ketika kita ditanya kembali, berapa komposisi ideal untuk sebuah Cinta?
Maka dengan mantap kita menyatakan 100% - 100%

Pertanyaan terakhir, berapa komposisi ideal untuk sebuah cinta yang dibagikan untuk diri kita sendiri, ayah kita, ibu kita, suami/istri kita, anak-anak kita, saudara kita, family kita, teman kita bahkan musuh kita.
Maka jawabannya adalah : 100 %, 100 %, 100%, 100%, 100 %, 100 %, 100%, 100%, 100%
Karena Cinta tidak akan berkurang sedikitpun ketika dibagikan untuk yang lain, bahkan ia akan semakin bersemi seperti cahaya lilin yang kita bagikan untuk yang lain, ia akan mencahayai dan menerangi dunia.

Bunuhlah Aku

Benar!
Bunuhlah AKU jika tidak ingin menderita, atau setidaknya lepaskan AKU agar menjadi milik dunia.

Mungkin Anda bingung, tapi mari kita melakukan percobaan sederhana di bawah ini,
Apa reaksi Anda jika ada “Sepeda motor yang hilang ?”
Anda mungkin akan menjawab itu adalah hal biasa, dan terjadi hampir setiap hari di negera ini. Anda bahkan mungkin tidak bereaksi sama sekali.
Tapi, coba Anda lakukan sekali lagi, kali ini tempatkan diri Anda sebagai “Orang pertama tunggal”
Dan sekarang mari kita lihat reaksi kita ketika “Sepeda motor-KU yang hilang”
Apakah Anda masih bisa berkata biasa saja dan tak beraksi?
Saya ragukan hal tersebut, mungkin waktu itu Anda mengutuk habis orang yang telah menghilangkan sepeda motor Anda, menuding semua yang mungkin terlibat di dalamnya.

Satu akhiran yang begitu powerful, setiap benda yang tersentuh oleh akhiran “KU” segera mengikat kita dan menjadi sumber penderitaan kita. Kita sering bertikai gara-gara AKU, memperebutkan kepemilikan sah dari akhiran itu. (bahkan saling melukai karenanya)

Sebuah buku ketika berubah menjadi buku-Ku akan segera meninggalkan luka ketika kelak benda tersebut tergores, hilang atau musnah. (bahkan semua benda, tanpa terkecuali)

Sebaliknya ketika mobilku baru saja dijual kepada orang lain (melepas akhiran-Ku), dan setelahnya mobil itu rusak berat karena tabrakan. Pada saat itu, bukankah kita tidak merasakan derita akibat kerusakan tersebut. (mungkin kita hanya sekedar simpati pada orang lain)

Kesempatan membunuh AKU mungkin tidak kita dapatkan saat ini, tapi setidaknya kita dapat belajar melepaskan Aku, biarkan rumah tetap menjadi rumah, mobil tetap menjadi mobil dan buku tetap menjadi buku, tanpa akhiran Ku.

Mari kita mulai dengan praktek “Memberi”, karena dengan memberi kita belajar melepaskan AKU menjadi milik dunia, bukan milik satu pribadi saja, karena dengan memberi kita belajar untuk mengurangi dosis derita.


(Nb. Uluran tangan kita kepada saudara-saudara yang mengalami bencana alam menjadi salah satu opsi sederhana dalam praktek “Memberi”)

Mari kita belajar “Memberi untuk Dunia ini” karena terlalu banyak yang telah kita ambil darinya.
Dan dunia ini akan indah tanpa AKU (Sang EGO)

Belajar dari Sebuah Bakpau

Inilah letak keindahan hidup ini, ketika kita mengali dan belajar dari hal-hal sederhana seperti dari sebuah bakpau.

Sore itu, istri saya sedang ngidem makan bakpau (maklum, kami memang sedang menunggu kedatangan calon bayi pertama kami, dan sang janin sudah berada di kandungan bundanya sekitar tujuh bulan, ngidem seakan menjadi ritual menjelang kelahirannya), dan kami pun membeli sebuah bakpau untuk memenuhi ritual tersebut.

Bakpau itu kemudian kami bawa pulang dan diletakkan di meja makan sambil menunggu waktu puncak dari ngidem tersebut tiba.
Setelah waktu berlalu sekitar dua jam, istri saya mendengar ada aktivitas di ruang makan, ketakutannya segera muncul, “Jangan-jangan bakpau itu di makan oleh abang” dan ternyata Benar, ketika istri saya ke ruang makan, bakpaunya di tangan abang sudah tinggal setengah.

Sejenak kupikir bakalan terjadi perang dunia ketiga.

Ternyata dugaanku salah, dan aku mensyukurinya.

Istriku dengan enteng mengatakan “Ya, sudahlah, Nanti malam saya minum Milo saja”
Blink ! Blink ! Blink!

Istriku telah berhasil belajar untuk MEMBERI, Istriku telah berhasil mengalahkan rasa ngidemnya yang luar biasa. Istriku telah memilih untuk menjadi orang BAHAGIA.

Tak gampang untuk memberi ketika kita sendiri punya keinginan begitu kuat untuk memilikinya, dan istriku berhasil melakukannya lewat sebuah bakpau.

Mungkin kita bisa mencoba bersama.

Perahuku

Pernah menaiki perahu? Kapal laut atau sejenisnya?
Perahu, dapat digerakkan oleh alam, dapat pula digerakkan oleh kekuatan sang pendayung.
Tak peduli apakah perahu tersebut bergerak oleh salah satu kekuatan itu atau kolaborasi di antaranya, yang jelas perahu itu harus diarahkan oleh seorang nahkoda, atau ia akan kehilangan arah dan tersesat tanpa mencapai tujuannya.

Dalam menyeberangi lautan luas, gelombang laut menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya, kadang ada gelombang besar yang datang, kadang hanya berupa riak-riak kecil yang mengelitik.
Perahu tanpa nahkoda akan terhempas, rusak bahkan karam ketika badai menerpa.

Perahu Tempatnya adalah di Air
Kekuatan Alam seperti badai dan gelombang besar adalah tak terelakan, perahu harus menghadapinya bahkan ketika ia tidak berkeinginan bergerak sama sekali, atau bahkan pada saat berdiam diri di pelabuhan sekalipun. Itulah hukum alam, Perahu tempatnya adalah di Air, dan air selalu mengandung gelombang dan riak-riak kecil.

Alam kadang bertindak sebagai pengerak. Angin dan arus laut akan membuat perahu melaju dengan kencang. Pada saat itu, nahkoda akan membuat perahu tetap terarah dan tidak terbawa arus, kecepatan perahu itu harus dikendalikan, laju yang terlalu kencang tanpa terkendali kadang akan mencampakkannya bahkan meremukannya.

Alam kadang juga bertindak sebagai “Obstacle” Pada saat inilah, kemahiran nahkoda dalam mengendalikan perahu diuji, Kemampuan menggabungkan keahliannya dan pengetahuan alam menjadi sangat penting. Kesalahan yang kecil sekalipun pada saat badai menerpa akan segera menghancurkan perahu itu berkeping-keping.

Metamorphosis
Dengan semakin bertambahnya “Jam terbang”, perahu akan semakin kokoh dan mengalami metamorphosis, perahu kayu yang lemah akan segera menjadi kapal laut yang besar, yang lebih stabil, yang lebih tahan menghadapi gelombang besar, yang lebih mampu menampung impian-impian luar biasa, lengkap dengan alat-alat navigasi yang canggih, dengan baling-baling penggerak, dengan system operasional yang jauh lebih baik. Dan yang tentunya dengan nahkoda yang jauh lebih berpengalaman. Perahu itu akan di-Up grade dari masa ke masa.

Disiplin
Dalam menyeberangi lautan lepas, perahu itu akan membawa penumpangnya. Nahkoda selain mengarahkan perahu tersebut, ia juga harus mampu mengendalikan penumpangnya. Ia harus berhasil menjinakkan penumpang liar, bahkan menurunkan mereka yang tak mau bekerjasama dengan sang nahkoda. Disiplin harus ditegakkan, jika ia tak ingin perahunya oleng dan terbalik oleh keliaran penumpangnya.

Kembali ke dunia nyata, jika perahu itu adalah diri kita maka kita sendiri pula yang menahkodainya, kita diberi kuasa penuh untuk mengendalikan diri kita sendiri, mendisiplinkan diri kita sendiri, dengan memberanikan diri membuang penumpang-penumpang liar yang ada di pikiran kita, membuang energi-energi negatif yang mencoba berkembang.
Agar kita menjadi perahu besar yang kokoh dan kuat dalam mengarungi lautan kehidupan.

Salam Sukses Selalu

Selasa, 21 Oktober 2008

Empat Penjara Hati

Seorang lelaki dengan wajah tertunduk lesu berjalan meninggalkan ruang sidang, ketukan palu sang Hakim telah mengantarnya pergi jauh dari kebebasan, ia akan segera menikmati hari-hari panjangnya di PENJARA.
Ini adalah gambaran keseharian dari sebuah peradilan, gambaran keseharian dari sebuah fenomena kehidupan sosial yang mulai terkontaminasi oleh kuman-kuman kehidupan.
Ada kalanya keahlian berkelit dari “Sang Tersangka” melepaskannya dari jeratan PENJARA Jasmani, tapi “Sang Pelaku” tidak akan pernah lepas dari Empat PENJARA Hati.

Penjara Pertama adalah Jail of Hatred
Penjara pertama adalah kebencian, Ketika hati kita dipenjara oleh kebencian kita akan cenderung menjadi ganas, ada luapan emosi yang membara, tak terkendali, menunggu waktu letupan.
Penjara pertama ini membuat kita menderita lebih dari yang kita perhitungkan, Penjara ini malah membuat kita melukai diri sendiri dengan gambaran yang berulang-ulang di benak kita, gambaran dari sumber kebencian kita, gambaran yang sesungguhnya hanya dari alam MAYA, dari alam bawah sadar kita. Ada sakit yang luar biasa, ketika seorang atau sesuatu yang kita benci melewati jarak pandang kita, radar ngilu di hati segera berbunyi walau seseorang atau sesuatu itu tidak menyentuh kita sedikit pun, bahkan mungkin tak mengetahui keberadaan kita. Rekaman rasa sakit segera diputar berulang-ulang di benak kita, kita akan mengalami penyiksaan bathin berkali-kali untuk satu peristiwa yang sama.
Kala Penjara ini menutup hati kita, kita akan menerima bola-bola lumpur yang siap kita lemparkan kepada mereka yang berada dalam list “MUSUH”. Ketika kita meluncurkan bola itu, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, yang dilempar tidak mengelak dan menerima bola lumpur itu sekaligus ikut menemani kita dalam perjara pertama atau yang kedua, ia mengelak bahkan tak pernah menganggap bola lumpur itu ada.
Dari dua alternatif di atas, yang pasti kita menjadi korban pertama dari bola lumpur itu, karena bola lumpur itu telah mengotori tangan kita, kita telah masuk ke dalam penjara itu dan teraniaya di sana.
Oleh berlalunya waktu dan penerimaan atas kondisi serta kekuatan memaafkan, penjara ini akan terbuka secara perlahan-lahan, kita akan dibebaskan kembali ke alam netral.

Penjara Kedua adalah Jail of Greed
Penjara kedua adalah Ketamakan, ketika mata kita hijau, semua seakan tak pernah tercukupi, kita akan menjadi orang TERMISKIN di dunia, kita cenderung akan mengambil bagian yang bukan menjadi hak kita, kita cenderung merampas hanya untuk memenuhi keinginan yang pada akhirnya tak akan pernah terpenuhi.
Kala Penjara ini menutup hati kita, kita sepertinya terlahir sebagai raksasa dalam dunia kurcaci, tidak ada rasa kecukupan dalam segala hal, kerakusan membawa kita tidak pernah bisa menikmati hidup, selalu ada derita karena merasa tak pernah puas.
Mari kita lihat dunia nyata saat ini, berapa banyak orang yang ingin segera kaya, lalu setelah kaya pingin lebih kaya lagi, padahal orang kaya tanpa kepuasaan sebenarnya adalah orang miskin yang punya banyak uang, fenomena inilah yang membuat kita sering mendengar banyak kasus korupsi yang mewabah bak penyakit menular.
Penjara kedua akan terbuka dan kita akan dibebaskan jika kita telah siap menerima keadaan, merasa puas (bukan pasif tapi aktif, dalam arti tidak tinggal diam) serta mensyukurinya apa yang didapatnya saat ini.

Penjara Ketiga adalah Jail of Jealous
Penjara ketiga adalah Iri hati, ketika benih iri tertanam, kita cenderung tak pernah dapat melihat kebahagiaan orang lain, kita merasa tersaingi, ego kita seakan terhina oleh keberhasilannya, ironisnya kita merasa menderita untuk kebahagiaan itu.
Kala Penjara ini menutup hati kita, kita segera dikenakan kacamata yang membuat kita selalu melihat seolah-olah rumput tetangga selalu lebih hijau dari milik kita. Lalu kita pun merasa alam tidak adil terhadap kita, kita akan segera mempersalahkan sekelilingi kita untuk hal yang tidak kita dapatkan.
Yang mengejutkan malah terjadi pada saat kita mendengar kesuksesan orang yang bermil-mil jauhnya dari kita, apa yang kita rasakan pada saat itu sungguh ironis, kita malah merasa iri (padahal apa hubungannya dengan kita? Kadang malah tidak ada hubungan sama sekali dengan aktivitas kita, lebih parah lagi kita malah iri dengan teman kita sendiri, dengan saudara kita sendiri, dengan orang-orang yang kita kenal) Hasilnya? Hanyalah penderitaan, ada perasaan tidak mengenakkan di hati.
Penjara ini terbuka ketika hati kita menyadari atas ketidakkekalan (baik kesuksesan atau kegagalan), dan kita dapat menerima keberhasilan orang lain sebagai pemicu keberhasilan kita.

Penjara Keempat adalah Jail of Ignorance
Penjara keempat adalah kebodohan, kebocoran pengetahuan ini membuat kita melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bukan hanya merugikan orang lain, tapi lebih terutama merugikan diri kita sendiri.
Kala Penjara ini menutup hati kita, kabut kebodohan menyelimuti kita, membuat kita tak menyadari bahwa kita telah merusak diri kita sendiri, perlahan tapi pasti kita terjerumus dalam jurang “Ketagihan” yang luar biasa.
Bentuk yang paling sering kita lihat dalam kehidupan ini adalah kecanduan bahan-bahan narkotika, ketika kita terpikat olehnya, kabut kebodohan secara perlahan mengerogoti kita, kita kehilangan harta benda, kita kehilangan kesadaran, kita kehilagan persaudaraan, kita kehilangan segalanya, lalu apa yang kita dapat? Kenikmatan sesaat yang hanya bersifat semu, dan ketika kita kembali ke dunia nyata, sejumlah persoalan nyata telah siap menerkam kita bahkan mungkin dengan kekuatan yang sepuluh kali lipat dari kekuatan semula.
Penjara ini membuat kita kehilangan akal sehat, merokok merupakan contoh dalam bentuk sederhananya (sebelum berkembang menjadi kronis).
Lalu, penjara ini akan terbuka jika kita isi hati dan pikiran kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang berguna, terutama pengetahuan MORAL dan AGAMA.

Keempat penjara ini ada dan terus ada di samping kita, kita hanya perlu menjaga hati ini agar tidak terpenjara di dalamnya. Benar kata AA Gym, “Jagalah hati, jangan kau kotorin. Jagalah hati, lentera hidup ini. Jagalah Hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, cahaya illahi”

“Janganlah berbuat kejahatan, perbanyak berbuat kebajikan, sucikan hati dan pikiran, itulah ajaran semua Guru” Petuah-petuah ini mungkin akan membuat kita terhindar dari empat penjara hati.

Selamat mencoba.

Jatuh dengan Gaya

Setiap orang pernah jatuh, setidaknya saat kita masih kecil dulu, ketika kita baru belajar melangkah untuk pertama kalinya.

Adalah hukum alam, jika setiap benda yang naik akan jatuh kembali.
Semakin tinggi titik baliknya, maka semakin besar kerusakan yang akan dialami oleh benda tersebut.
Dan adalah kita salah satu contohnya.

Ketika kita dalam perjalanan ke puncak kejayaan segalanya terasa begitu indah, setiap detik seakan enggan kita lepaskan, dan ingin kita nikmati selamanya.
Tapi ketika titik balik telah tercapai, segalanya berubah, detik-detik kejatuhan pun segera tiba, jatuh adalah hal yang tidak mengenakan sekaligus hal yang tak terelakan. Pada saat itu kesiapan kita diuji.

Bayangkan apa yang akan terjadi jika pada saat kita naik di atas puncak tangga, tanpa sengaja tangga tersebut tersenggol dan kita terjatuh seketika karenanya. Kita mungkin akan terkilir, bahkan mengalami patah tulang. Sekarang, apa yang terjadi jika pada saat tersenggol, tangga masih berada dalam kondisi tidak stabil selama beberapa saat sebelum terjatuh. Kita mungkin tetap akan terjatuh, kita mungkin tetap akan merasa sakit.

Jadi, apa yang membedakanya?
Jawabannya adalah Kesiapan.
Ketika kita diberi waktu untuk menyadari bahwa kita akan jatuh, momentum tersebut memberikan kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan kejatuhan kita, dan pada saat tubuh kita menyentuh tanah, sakit mungkin akan segera menggigit kita, tapi kita telah siap untuk itu, kita telah siap untuk sakit, juga kesiapan untuk bangkit kembali.

Sekalipun kita tidak sempat mempersiapkan kejatuhan kita, itu bukan akhir dari segalanya.
Kita mungkin akan jatuh dengan keras, kita mungkin mengalami kehancuran yang jauh lebih berat, tapi kita masih sanggup untuk bangkit kembali jika kita mau.

Saya teringat akan kejatuhan yang dialami keluarga kami pada tahun 1999, tahun itu kami kehilangan segalanya (bisnis, mobil, rumah bahkan dengan isi-isinya), Orang tua ku ke Pekan Baru, sementara saya masih tetap di Medan menjalankan aktivitasku dengan sebuah sepeda motor yang kudapat dari gajiku sebagai seorang guru. Tapi ternyata kejatuhan itu masih terus berlanjut, beberapa bulan kemudian sepeda motor yang tinggal satu-satunya harus dimalingi orang. Saya sering mengatakan “Sudah jatuh, ditimpa tangga, dan diinjak-injak ke tanah”
Tahun itu, saya kehilangan pegangan, saya kehilangan kepercayaan, sampai suatu saat temanku mengembalikannya padaku.
Ia berkata “Jika engkau memiliki sepatu yang biasa saja, melihat orang yang memakai sepatu bermerek, mungkin kamu merasa iri, tapi kamu harus ingat masih banyak yang tidak sanggup membeli sepatu, mereka hanya memakai sandal jepit saja”
Ia kembali melanjutkan “Jika engkau memiliki sandal jepit saja, melihat orang yang memakai sepatu, mungkin kamu merasa iri, tapi kamu harus ingat masih banyak yang tidak sanggup mimiliki alas kaki” dan “Jika engkau berjalan tanpa alas kaki, mungkin kamu merasa iri dengan mereka yang memiliki sandal jepit, tapi kamu harus ingat ada yang sama sekali tidak memiliki kaki”

Pada saat itu saya benar-benar tidak siap untuk jatuh, kejatuhan itu menjadi begitu menyakitkan. Pada saat itu saya merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia, segalanya seakan telah berakhir, sampai seorang teman mengembalikan dunia ini padaku, lewat ucapannya.”

Kita memang pernah jatuh, mungkin sedang jatuh, atau akan jatuh.
Adalah lumrah jika kita mengalami, adalah lumrah jika kadang kita tidak tahu kapan datangnya, adalah lumrah jika kita sakit dan menangis karenanya.
Pada saat kita jatuh, kita hanya perlu menemukan sebuah tombol yang membangkitkan spirit kita kembali, mungkin seperti “Tombol” yang kutemukan pada untai kata-kata nasehat dari seorang teman.

Dan ketika memang harus jatuh, jatuhlah dengan Gaya. (seperti sebuah iklan rokok yang pernah saya lihat di TV : seorang lelaki terjatuh, kemudian dengan gaya break dance ia berdiri kembali, mungkin ia temukan “Tombol dalam bentuk lain”)


Salam Sukses Selalu

Hanya Empat Huruf dan Satu Detik

Empat huruf yang sederhana dan ketika diucapkan SANGAT TIDAK MEREPOTKAN, hanya memakan waktu 1 detik, tapi huruf-huruf ini sering tertahan di ujung lidah kita, hanya karena EGO.
Lalu efeknya? Luar biasa! Ucapkan 1 detik itu akan meninggalkan bekas yang mendalam selama berjam-jam, berhari-hari, bertahun-tahun bahkan EVERLASTING sepanjang hidup kita.
Apa itu? “MAAF”

Mari kita mulai dengan Meminta “MAAF”
Terlepas apakah maaf kita diterima atau tidak, untuk mengucapkannya saja dibutuhkan keberanian
Suatu hari di tahun 1990an, beberapa jam menjelang pesta pernikahan temanku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor direm secara mendadak tepat di depan roda dua yang saya kenderai, saya terkejut karena secara mendadak saya dikembalikan dari lamunanku di jalan.
Sejenak saya menatap ke arah pengendara sepeda motor tersebut, tak ada senyum yang kulemparkan, hanya tatapan lurus tanpa ekspresi, lalu segera kubawa roda duaku ke dalam lapangan parkir. Sejenak kupikir telah usai.
Ternyata tidak, sang bapak pengendera sepeda motor itu mengejar sampai ke lapangan parkir, dan segera digengamnya tanganku dengan keras sambil berkata, “Kamu tak punya mata ya! Jalan khok tiba-tiba belok dan bla bla bla..”
Selanjutnya, yang saya lakukan adalah hal yang sederhana tersebut, saya katakan “Maaf!” lalu kusalami tangannya. Hanya itu, dan bapak itu pun berlalu.
Lalu setelahnya, saya berpikir apa yang terjadi jika saya tidak mengucapkan kata tersebut hanya untuk mempertahankan ego, ceritanya tentu akan lebih panjang dan lebih tidak mengenakkan.
Dan kalau bisa selesai dalam waktu singkat dan memberikan efek yang begitu positif mengapa kita tidak melakukannya dengan meredam keangkuhan kita.

BAPAK JUGA BOLEH MEMIJAK KAKI SAYA
Seorang anak tampak berdiri dalam sebuah bis yang padat penumpangnya, tanpa sengaja anak tersebut menginjak kaki seorang bapak duduk di dekatnya. Sang bapak berdiri dengan marah, ia membentak anak tersebut. Sambil tertunduk anak itu meminta maaf, tapi ternyata kemarahan bapak itu masih tidak mereda, kembali dimakinya anak tersebut. Anak itu kembali mengatakan “MAAF”, tapi lagi-lagi sang bapak tidak menanggapinya, malah marahnya makin menjadi-jadi.
Akhirnya anak itu berkata “Pak, sekali lagi Maaf, saya tidak sengaja menginjak kaki bapak, tapi kalau bapak tidak bisa memaafkan saya, bapak boleh menginjak kaki saya juga khok”
Dan “Blink!” Bapak itu tercerahkan.

SALING MEMAAFKAN
Saya pernah membaca sebuah email yang dikirim oleh teman, email itu bercerita tentang kekuatan saling memaafkan di keluarga.
Diceritakan bahwa pada suatu hari karena terburu-buru ke kantor, sang ayah meninggalkan begitu saja racun serangga di meja, tapi terlebih dahulu ia memberitahukan sang istri untuk menyimpannya setelah tugas di dapurnya selesai.
Lalu apa yang terjadi kemudian?
Sang anak yang baru bangun dari tidurnya, tanpa sengaja meminum cairan racun tersebut sementara sang ibu masih sibuk dengan pekerjaannya di dapur.
Ketika Sang ibu menyadarinya, si anak telah terkapar dengan mulut berbusa, lalu dengan singgap anak itu dibawa ke rumah sakit terdekat dan Sang ayah pun diberitahukan agar segera ke rumah sakit tersebut.
Singkat kata, Sang ayah akhirnya bertemu dengan sang ibu, sementara si anak di ruang ICU menjalani pengobatannya.
Jika kita diletakkan pada posisi ayah atau ibu, apa yang akan terjadi kemudian?
Di awal saya membayangkan bahwa cerita itu akan menjadi sumber konflik keluarga, ayah akan menyalahkan ibu karena tidak segera menyimpan racun tersebut padahal bapak sudah memberitahukan kepadanya, lalu ibu tak mau kalah garangnya menyalahkan bapak yang meninggalkan begitu saja racun di meja yang bisa dijangkau anaknya yang kecil itu.
Ternyata, cerita itu tidak mengalir seperti yang saya bayangkan, atau mungkin anda bayangkan (atau yang mungkin akan kita lakukan jika hal ini menimpa kita)

Sang Ayah segera memeluk istrinya berkata, “Maafkan aku Ma, aku teledor meletakkan racun itu di meja yang bisa dijangkau si kecil”, lalu di sela isak tangisnya, Sang ibu juga berkata “Maafkan aku juga Pa, aku tidak segera menyimpannya, aku tak menyangka si kecil bangun sepagi itu.”
Lalu mereka berpelukan menunggu kesembuhan si kecil.

Sungguh indah bukan!
Indah bukan karena peristiwa naas itu terjadi, tapi indah karena reaksi mereka akan peristiwa itu, indah karena mereka dapat mengalahkan ego mereka masing-masing, untuk tidak saling menyalahkan, untuk saling memaafkan.

Peristiwa itu telah terjadi, mereka hanya dapat memilih reaksi terhadap peristiwa tersebut, Indahnya, ketika keduanya memilih untuk tidak menjadikannya sumber konflik, tapi mereka memilih untuk saling menguatkan, saling memaafkan.
Apakah Kita juga akan memiliki pilihan yang sama dengan mereka?


Salam Sukses Selalu

Akulah Pemenangnya

Cerita ini dimulai dari sebuah perlombaan adu diam di sekolah pelatihan mental.

Aturan perlombaan itu pun dibuat :
Pertama, peserta harus berdiam diri (puasa bicara) selama 24 jam dimulai sejak matahari terbit.
Kedua, tempat pelaksanaan adalah di tengah lapangan kota.

Maka, ketika matahari mulai menampakkan wajahnya, perlombaan itu pun dimulai.
Selama lima jam pertama, semua peserta masih dapat menahan diri mereka. Menjelang tengah hari, peluh mulai berjatuhan, terik dan haus mulai menyerang.
Di tengah perlombaan tersebut, lewatlah seorang ibu sambil menjinjing botol aqua.
“Bu, tolong bawa aqua itu kemari, kami kehausan nih” kata peserta pertama, rasa hausnya ternyatanya telah membuatnya lupa akan perlombaan yang sedang diikutinya.
“Sssh, kenapa kamu menegur dia, kita khan masih dalam perlombaan” kata peserta kedua, berusaha mengingatkan temannya.
“Nah, kamu dan kamu telah gugur dalam perlombaan ini, kalian telah melanggar aturan mainnya, kalian telah bicara” kata peserta ketiga.
“Dasar bodoh, kenapa kamu ikut berbicara?” Tanya peserta keempat tak mau kalah.
“Hahahaha, hanya aku yang tidak berbicara” kata peserta terakhir.

Lalu, perlombaan itu berakhir tanpa pemenang.

Kita sering menyibukkan diri kita memperhatikan orang lain, melihat kesalahan orang yang sekecil apapun dengan sebuah mikroskop kesinisan, melihat kekeliruan yang begitu jauh dengan teleskop keingintahuan. Tapi kita lupa melihat diri kita, dan untuk itu kita hanya memerlukan sebuah Cermin kebenaran.

Ingat ! Ketika telunjuk kita tertuju pada orang lain, empat jari tangan lainnya selalu menunjukkan pada diri kita sendiri.
Mari kita bercermin sebelum kita menuding orang lain!


Salam Sukses Selalu

Kampung Suka Vs Kampung Duka

Suatu saat, Tuhan membentuk sekumpulan makhluk baru, species baru ini merupakan turunan dari Homo Sapiens (manusia jaman sekarang), yang membedakannya dengan postur kita saat ini adalah bahwa mulut dari makhluk ini tidak terletak di depan, tapi di belakang kepalanya.

Lalu, Tuhan meletakkan makhluk ciptaanNya itu ke dalam sebuah perkampungan dengan kakayaan alam yang berlimpah, dan membiarkan mereka beranak-pinak di sana. Dan setelahnya, alam mulai bekerjasama dengan waktu membentuk ekosistemnya.

Melalui Seleksi alam (natural Selection) yang memakan waktu yang cukup panjang akhirnya terbentuk dua kelompok utama yang menempati dua daerah yang berbeda. Kelompok pertama menamakan dirinya Kampung Duka, dan kelompok yang lain menamakan dirinya Kampung Suka.

Kampung Duka
Sesuai dengan namanya, penduduk di sana merasa hidupnya selalu dirundung duka, wajah sedih menjadi hiasan keseharian dari penduduk di sana, ditambah dengan tubuhnya yang kurus seperti kekurangan makanan, padahal kekayaan alam Kampung Duka berlimpah ruah.

Kampung Suka
Walau dilahirkan dari species yang sama, dari keturunan yang sama, bahkan dengan kekayaan alam yang lebih minim jika dibandingkan dengan Kampung Duka, anehnya penduduk Kampung Suka selalu tampak bahagia, wajah ceriah menjadi hiasan keseharian penduduk di sana. Mereka tampak gemuk-gemuk dan sehat. Di hampir setiap sudut pemukiman tersebut ditemukan cermin-cermin besar yang ditata dengan rapi dan apik.

Suatu saat, Sang Malaikat penjaga Kampung itu datang mencari tahu apa yang sebenarnya yang terjadi dengan species baru itu, bagaimana kedua kampung itu terbentuk dan kenapa kampung-kampung itu terbentuk? padahal ketika Tuhan menciptakan species itu, Tuhan tidak pernah membeda-bedakan, Tuhan menciptakan satu makhluk yang sama di lingkungan yang sama, pada waktu yang sama.

Di Kampung Duka
Penduduk kampung itu segera berkumpul ketika mengetahui Malaikat mereka datang, mereka tanpa dikomandani mulai menyampaikan keluhan-keluhan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak adil, karena memberikan banyak kekayaan alam tapi mulut mereka di belakang kepala, sehingga untuk makan saja mereka mengalami banyak kesulitan ( pandangan mata mereka tak dapat menjangkaunya), tak mengherankan jika mereka kurus-kurus. Mereka terus mengeluh tentang tanah yang terlalu keras, matahari yang terlalu terik, hujan yang begitu deras, bahkan tanaman yang terlalu lam berbuah juga menjadi salah satu keluhan mereka.

Di Kampung Suka
Penduduk kampung itu juga segera berkumpul ketika mengetahui sang Malaikat mereka datang, mereka menyambut sang Malaikat dengan suka cita, dengan rasa syukur. Mereka mengucapkan terima kasih atas apa yang diberikan Tuhan pada mereka. Walau dengan mulut yang terletak di belakang kepala, mereka yakin Tuhan punya rencana indah untuk mereka. Ternyata benar, dengan keadaan itu, mereka bisa bekerjasama, saling menyuapi satu sama lain. Waktu makan menjadi moment yang indah karena kebersamaan. Walau dengan kondisi alam yang minim kekayaannya, mereka hidup dengan sejahtera dan sehat, mereka tak pernah mengeluh, tapi mencari solusi untuk menyelesaikan problem yang ada.
Banyaknya cermin di hampir setiap sudut kampung mejadi salah satu contoh cara mereka mengatasi kendala yang ada. (Katanya itu digunakan kalau sewaktu-waktu berada dalam kesendirian)

Setelah mengunjungi kedua Kampung itu, Sang Malaikat itu kembali menemui Tuhan, ia melaporkan bahwa semua itu terjadi karena “PILIHAN” mereka sendiri.

Lalu saya kembali teringat dengan tempat parkir mobil di kompleks perumahan kami (yang sebenarnya adalah jalan akses kompleks tersebut), ukuran jalan tersebut hanya sekitar 6 meter, hanya cukup untuk dua mobil saling berselisihan, di sebelah kiri dan kanan jalan itu adalah rumah kami tanpa pekarangan, jadi bisa dipastikan jika setiap rumah memiliki mobil, maka jalan tersebut segera penuh dengan deretan roda empat itu. (sayangnya, kenyataannya adalah demikian, sehingga sering kali kami harus meminta pemilik mobil untuk mengeser mobilnya untuk mengeluarkan mobil yang kebetulan berada di dalam jalan buntu tersebut bahkan lebih sering harus mendorongnya sendiri)
Dan kenyataan ini membuat benturan sering terjadi, percecokan pagi sering tak terhindari.
Pada gilirannya, saya juga menghadapi masalah yang sama (karena memang tinggal di kompeks yang sama), hanya saja, saya memilih untuk menikmatinya, mendorong maju mundur roda empat yang ada, seperti main sebuah puzzle yang memakan waktu lebih dari lima belas menit, tapi itu adalah kenyataan yang harus dihadapi sebelum saya pindah dari kompeks tersebut.

Pegangannya sederhana, “Jika kita bisa mengubah keadaan, maka ubahlah keadaan itu sesuai keinginan kita. Jika tidak, maka terimalah keadaan tersebut, cari solusi untuk membuatnya nyaman”

Saya bisa saja memilih untuk marah karena jalan keluar mobil saya harus terbendung, tapi tidak saya lakukan, karena hal ini akan saya hadapi setiap hari sebelum saya melangkah keluar dari kompeks tersebut, demikian juga semua tetangga kami itu.
Saya memilih untuk tinggal di Kampung Suka, karena pada dasarnya kami semua menghadapi hal yang sama, kita juga dibakar terik matahari yang sama, hanya pilihan kita yang mungkin berbeda.

Dan saya memilihnya sebagai olah raga di pagi hari, di antara belantara Kampung Suka.
Bagaimana dengan Anda?

Salam Sukses Selalu

Terang Ketika Listrik Padam

Saat ini listrik padam bukan lagi hal yang luar biasa bagi kita, pemadaman bergilir di berbagai daerah menjadi pemandangan yang lazim dalam keadaan krisis energi seperti saat ini.
Mungkin kita semua pernah mengalaminya, ketika kita asyik dengan kegiatan dan aktivitas kita, lalu tiba-tiba segalanya gelap. Kita kesal dan marah karena file yang sudah dibuat tidak sempat di-save dan harus memulai dari awal lagi, kita kesal karena pekerjaan kita terhambat karenanya, kita marah karena saat itu pandangan mata kita tidak dapat berkeliaran dengan bebas, sementara kita harus mencari cahaya baru, mungkin dari lilin kecil yang tersimpan entah di mana.

Selanjutnya kita mungkin akan meninggalkan pekerjaan kita yang belum selesai dengan kesal atau kita segera melakukan ritual penyalaan genset (atau malah kita senang, karena itu adalah salah satu alasan bagi kita untuk menghentikan aktivitas kita yang menjengkelkan)
Terlepas dari semua hal tersebut di atas, saya sendiri mempunyai pilihan yang lain, pilihan untuk menemukan penerangan dalam kegelapan, pencerahan dalam krisis global ini (tentunya, sambil menunggu listrik menyala kembali)

Ketika sebatang lilin telah dinyalakan, ada satu pertanyaan muncul dalam benakku, “Khok kita bisa sangat tergantung pada listrik? Mengapa aktivitas harus terhenti gara-gara listrik padam?
Mungkin inilah yang kita sebut dengan “KETERIKATAN”

Ketika kita dilahirkan di dunia ini, kita membentuk keterikatan-keterikatan dengan sekelilingi kita, dengan orang-orang bahkan dengan benda-benda. Akibatnya, ketika kita menjauh darinya, kita merasa kehilangan dan sangat kehilangan, akibat berikutnya sebagai rentetan peristiwa ini adalah kita akan menderita atas kebutuhan yang tak terpenuhi tersebut. Kita sakit karena untuk selang waktu tertentu ketika kita harus berpisah darinya, semacam kecanduan, hanya dalam bentuk kadar yang lebih rendah. Tapi itu saja sudah cukup membuat kita menderita karenanya.

Mari kita flash back kembali beberapa tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali Handphone diperkenalkan kepada kita, tak banyak merasa perlu memilikinya, tapi dengan berjalannya waktu dan atas nama KEMUDAHAN kita menjaring ikatan baru, kita menjadikannya sebagai salah satu kebutuhan, bahkan tidak lagi mengherankan jika kita melihat seorang penjual asongan sedang asyik memakai alat komunikasi yang dimilikinya itu.
Setelah sekian lama kita terikat olehnya, pernahkah suatu hari kita lupa membawanya? Dan apa yang segera muncul di benak kita ketika kita menyadari Handphone tersebut tertinggal di rumah? Apakah kita segera merasa sangat kehilangan, bahkan sering kali kita segera membelokkan arah mobil kita kembali ke rumah untuk mengambil HP yang tertinggal tersebut, padahal jarak yang kita tempuh sudah cukup jauh, padahal dulu kita cukup dengan telephone rumah atau pager. Dan sejauh itu kita tak pernah merasa begitu kehilangan seperti pada kejadian ini.

Inilah KETRIKATAN, selama kita membuat keterikatan-keterikatan baru dan ketika keterikatan itu harus rusak dan berpisah dari kita, kita akan menderita.
Dengan ditemani sebatang lilin dan dalam keheningan itu, saya kembali diingatkan bahwa kita sebenarnya yang memegang kendali untuk hidup ini, kita dapat mengurangi derajat “Kesedihan” kita atau kita membiarkan diri kita terus terjun lebih dalam dalam jurang derita.

Ketika listrik padam, kita dapat mengerutu atau mencari sebuah mesin tik untuk melanjutkan tugas mengetik kita, kita dapat saja kesal tapi kita juga dapat segera mengambil sebatang lilin dan menikmati cahayanya, kita dapat marah karena sinetron di televisi harus diakhiri tapi kita bisa saja cukup terhibur dengan suara merdu di radio.
Pembelajaran berikutnya adalah hal ini segera menyadarkan kita bahwa kita harus segera mencari alternatif sumber energi baru, mungkin saatnya kita memikirkan pemakaian cahaya matahari atau kekuatan air untuk menggantikan bahan bakar fosil yang kian menipis.
Penghematan menjadi salah satu solusi dan ini menyadarkan kita bahwa bumi semakin tua dan rentan, kita mesti menjaganya jangan sampai bumi ini tak kuasa menahan beban dan diekploitasi habis-habisan.

Dalam keheningan itu juga mengalir sebuah cerita lama yang membuatku menyadari bahwa suatu saat kita juga akan mengalami keterpisahan dengan ikatan itu, dan kita harus siap.
Konon, suatu hari seorang murid memecahkan cangkir kesayangan gurunya, segera si murid menemukan cara untuk memberitahukan hal itu kepada sang guru agar sang guru bisa menerima keadaan itu dan tidak memarahinya.
“Guru, apakah benar bahwa semua orang akan mengalami kematian?”
“Benar muridku, setiap yang dilahirkan akan mengalami kematian”
“Apakah berarti kematian itu adalah hal yang terelekan dalam hidup ini ?”
“Benar muridku, kita harus bisa menerimanya sebagai bagian dari kehidupan ini”
“Terima kasih atas bimbingannya guru, murid cuma mau kasih tahu bahwa cangkir guru sudah mengalami kematian tadi.”
Blink ! Blink ! Blink! Sang guru hanya bisa tersenyum kecut.

Pernah juga kudengar dari para bijaksana bahwa dengan praktek MEMBERI dapat mengurangi derajat keterikatan, dan ketika hal ini kulakukan ternyata “Benar”, saya bahkan merasa bahagia karenanya. Mungkin kita bisa mencobanya bersama-sama suatu saat.

Opps, lampu sudah menyala kembali!
Saya sudah harus kembali di depan komputerku, kembali ke dunia penuh keterikatan, yang perlu saya lakukan saat ini adalah menjaga-jaga agar keterikatan tidak sampai membuatku KECANDUAN.
Itu tidak baik untuk kesehatan bathin dan jiwaku.

Selamat mencoba.

Selasa, 09 September 2008

Lampu Merah Harapan

Medan selalu punya cerita, kali tentang lampu lalu lintas yang baru dipasang.
Dari modelnya, tidak ada yang istimewa, lampu lalu lintas itu sama seperti lampu lalu lintas yang sudah ada, masih dengan warna merah, hijau dan kuning, hanya saja kali ini lampu jalan tersebut telah dilengkapi dengan alat penghitung waktu.

Ada pelajaran yang menarik dari lampu lalu lintas baru itu, sesuatu yang cukup menggelitik.
Pertama, sejak lampu lalu lintas itu terpasang, saya lebih santai membawa mobil, saya tahu kapan harus mulai menginjak rem, dan kapan harus mulai menginjak pedal gas, tak ada yang tiba-tiba. (memang dari dulu juga ada lampu kuning yang menandai pertukaran warna dari hijau ke merah, tapi sekarang lebih jelas karena ada hitungan count down yang menandai kedatangannya)


Lalu, apa hubungannya dengan pembelajaran pertama ini?
Masa depan, ya, masa depan adalah sesuatu yang tidak terditeksi keadaanya, kita tak tahu kapan datangnya hari baik (hijau) dan kapan datangnya hari buruk (merah), mungkin kita ada petanda akan datangnya petaka (kuning), tapi tetap tidak bisa kita pastikan dengan tepat kapan datangnya. (Kecuali, “SANG PENCIPTA” lampu lalu lintas tersebut)
Kehadiran alat penghitung waktu membuat saya tidak perlu mengerem mobil secara mendadak, tidak juga harus diingatkan ketika lampu hijau sudah menyala kembali. Tapi, pada kehidupan nyata, alat itu tetaplah tersembunyi dan tidak pernah ditemukan, kerinduan kita atas alat tersebut sering kita lampiaskan dengan mencari “orang pintar” yang tahu kapan waktu-waktu istimewa itu datang (Makanya, sekarang ahli ramal laku keras di negara kita, iklan di media elektronika dan media cetak muncul menjawab kebutuhan itu, sekarang malah diramaikan lewat SMS, belum tentu mereka dapat meramal masa depan orang lain, bahkan untuk diri mereka sendiri saja tetap misteri)
Saya memilih untuk tetap menjadikannya sebagai “RAHASIA ALAM”, yang perlu kita lakukan hanya selalu waspada memperhatikan setiap detik berlalu, waspada memperhatikan langkah kita, mengamati fenomena-fenomena perubahan dan siap menerima perubahan tersebut.

Hidup seperti lampu lalu lintas yang selalu berubah warna, dari merah, hijau dan kuning, lalu kembali ke merah, hijau dan kuning dan seterusnya. Kewaspadaan adalah kunci yang akan membuat kita tetap survival dalam kehidupan ini, kita tidak perlu alat penghitung waktu itu. (Walaupun dalam berlalu lintas di jalan raya, saya masih merasa nyaman dengan kehadirannya), semuanya tergantung kita, walaupun ada alat tersebut, jika kita tetap melanggarnya dengan menerobos lampu merah, kita juga akan celaka.

Kedua, saya ternyata lebih sabar menanti kedatangan lampu hijau setelah adanya alat penghitung waktu itu, bahkan ketika lampu merah saya masih sempat mencari-cari channel radio yang menarik untuk didengar (dan dilakukan dengan santai dan tidak tergesa-gesa)

Apa yang sebenarnya terjadi?
Jawabannya adalah HARAPAN, kita tahu bahwa lampu merah akan segera berubah menjadi lampu hijau, demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, kita tahu bahwa setiap kesulitan akan berakhir, badai pasti akan berlalu, tapi yang tidak kita tahu adalah KAPAN itu akan terjadi.
Sebelumnya, ketika kita dihadang dengan lampu merah, kita kadang menjadi orang yang tidak sabar, setelah menunggu sesaat, kita sering menerobos lampu merah tersebut walaupun kita tahu resiko yang akan kita hadapi nanti.
Kenapa? Kita kadang frustasi dalam menunggu (seperti menunggu lampu merah berlalu), kita tahu semua itu akan berlalu, hanya kita tak tahu kapan, sehingga kita sering merasa waktu itu berlalu begitu lamban, sementara batas kemampuan kita telah terkikis hampir habis. Kita takut kalau-kalau lampu merah itu rusak, sehingga kita akan terhadang lebih lama di bawah lampu merah, bahkan mungkin SELAMANYA.
Dengan adanya alat penghitung itu, kita tahu lampu merah itu berjalan semestinya, kita tahu lampu hijau akan segera menyala, waktu kedatanganya tertulis dengan jelas, HARAPAN menjadi begitu nyata dan akan segera tiba.
Tekanan dalam kehidupan ini kadang membuat kita frustasi, kita merasa kehadirannya begitu lama, kita takut kalau sistem alam ini telah rusak, kita takut lampu merah kehidupan kita terus menyala untuk kita, akibatnya kita sering melakukan tindakan bodoh, bunuh diri misalnya.
Dan kerinduan akan kehadiran alat penghitung waktu itu kembali kita lampiaskan dengan mencari “orang pintar” yang dapat segera menghalau masa gelap itu melalui ritual-ritualnya. (kita merasa system alam harus diperbaiki, dibelokan secara instant, dan seketika hidup kita cerah kembali)
Sekali lagi, saya memilih untuk menjalani “Masa Percobaan” itu, biarkan hukum alam yang bekerja, yang perlu kita lakukan adalah memperkuat diri selama masa percobaan, memperkaya mental, mendirikan kuda-kuda yang kokoh, sehingga ketika masa percobaan itu berlalu kita siap untuk bangkit menjadi Raksasa yang tak terkalahkan. (Tidak juga dengan cara pasrah tanpa melakukan apa-apa, karena kita tidak akan siap ketika lampu hijau menyala kembali, dan kita akan tertinggal jauh karena ketidaksiapan kita tersebut)

Ternyata lampu lalu lintas baru juga dapat menjadi sumber pembelajaran hidup, ternyata “MAWAS DIRI” memperhatikan perubahan warna lampu lalu lintas menjadikan kita survival dalam kehidupan ini, dan lampu merah tidak lagi menjadi momok untuk kita, tapi dibalik itu, ada “HARAPAN” untuk menjadi “BESAR”


Salam Sukses Selalu

Rabu, 03 September 2008

Hanya Satu saja

Inilah yang mungkin ada di benak kita setiap kali kita dihadapan pada keberanian untuk melakukan perubahan. “Hanya aku saja yang berubah, apalah artinya”

Ada satu ilustrasi kecil yang mungkin dapat menjawab tanggapan tersebut, saya pernah memaparkan hal tersebut di sela ceramah saya di sebuah diskusi.

Jika Ada 10 orang yang diminta untuk memindahkan sebuah meja kaca dengan ukuran standart 6 tempat duduk, maka kerja tersebut terasa ringan, bahkan terlampau ringan. Dan jika kita termasuk salah satu di antara 10 orang tersebut, di benak kita segera muncul “Untuk apa tenaga 10 orang untuk mengangkat meja itu” lalu mungkin dilanjutkan dengan pemikiran “Kalau saya pura-pura mengangkatnya, tenaga Sembilan orang saja pasti lebih dari cukup untuk mengangkat meja kecil itu”. Ketika meja terangkat ke atas, apabila pemikiran semacam itu muncul, mungkin pekerjaan itu akan mulus berjalan, tapi yang tidak kita sadari dan tidak kita antisipasi adalah ternyata semua berpikiran seperti itu pada saat yang bersamaan, Apa yang terjadi?
Meja kaca itu akan hancur berantakan.

Kita sering meremehkan kekuatan 1 orang, 1 suara, 1 detik atau 1 miligram. Tapi, disadari atau tidak, tanpa 1 suara sebuah keputusan besar mungkin tidak akan terwujud, dan tanpa 1 miligram, 1 kg tetaplah bukan 1 kg, ukurannya hanya 0,999999 kg.
Jika titik didih air pada suatu tempat adalah 100 derajat celcius, maka tanpa 1 derejat celcius saja air tidak akan mendidih.

Suatu saat, ketika kita menginginkan perubahan, maka perubahan itu harus kita mulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu, walau hanya satu (diri kita sendiri). Tanpa perubahan dari diri kita sendiri, perubahan besar yang lain tidak akan terwujud.
Jika kita ingin Negara ini bersih, maka terlebih dahulu kita harus bersih.
Bayangkan, apa yang terjadi jika kita berpikiran sama “Walau hanya aku saja yang melakukannya, tetap akan aku lakukan demi perubahan yang lebih baik”
Sungguh indah bukan?

Salam Sukses Selalu

Belajar Kungfu (dari) Panda (III)

Martial Art adalah sesuatu yang menarik untuk dipelajari, lebih menarik lagi jika kita mempelajarinya dari seekor PANDA besar bernama Po di Valley of Peace.

Dan pelatihan pun dapat kita mulai......

THE SECRET IS NOT A SECRET

Setelah menjalani serangkai latihan berat, saatnya bagi Po menerima gulungan yang memuat rahasia dari The Dragon Warrior, ketika gulungan itu dibuka, ternyata Po tidak menemukan tulisan apapun di dalam gulungan tersebut. Gulungan itu hanya berupa lempangan logam yang memantulkan wajahnya. Sejenak ia kecewa dan muncul keraguan, kalau-kalau ida tak dapat mengalahkan sang Leopard Salju yang jahat, kalau-kalau ia memang hanya cocok menjadi seorang penjual mie.
Sampai akhirnya ia menemukan Pencerahannya....
Melihat dalam-dalam gulungan itu, pantulan wajah Po akhirnya berkata bahwa rahasia itu ternyata terletak dari dalam diri Po sendiri dan Po menemukan kembali jati dirinya.

Kita sering mencari kekuatan-kekuatan yang berada di luar diri kita untuk menopang diri kita (praktek mencari dukun, ahli nujum, ahli primbon dan sejenisnya adalah salah satu bentuk ketidakyakinan diri kita terhadap kekuatan diri kita sendiri)
Kita semua tahu, rahasia menuju kesuksesan (yang sebenarnya bukan rahasia lagi), yaitu kekuatan dari dalam diri kita sendiri. Diri kita sendirilah yang mampu membuat kita berhasil dalam mengarungi lautan kehidupan ini.
Saya kembali teringat sebuah memory lama ketika masih di bangku Sekolah Menengah Atas di kota Medan, waktu itu salah seorang temanku adalah juara umum di angkatan kami. Seperti biasa, kami mengikuti kegiatan lari di lapangan olahraga, usai berolahraga sang juara umum ini kelihatan sangat gelisah, ada kecemasan luar biasa yang terpancar dari raut mukanya. Ketika kami tanya, ternyata ia kehilangan JIMATnya(dalam arti sebenarnya) ketika sedang berolahraga, dan jimat itu adalah pemberian orang pintar, ia takut dengan hilangnya jimat itu akan mempengaruhi dirinya dalam mempertahankan sabuk juara umumnya, ia takut dengan hilangnya jimat itu akan mempengaruhi kesehatan dan keselamatan dirinya.


Nyatanya....
Teman saya ini tetap juara umum, dan bahkan hari ini ia telah menjadi salah satu dokter di Malaysia.
Lalu, JIMAT itu mungkin seperti Gulungan rahasia itu, kalau saja kita membuka JIMAT tersebut, kita mungkin akan menemukan pantulan wajah kita di sana, kekuatan sesungguhnya dari seorang Dragon Warrior yang tersembunyi dalam diri kita sendiri.
Saatnya untuk membangkitkan ENERGI dari Sang Juara dan itu dimulai dari diri kita sendiri.


HAPPY ENDING
Satu rangkaian cerita telah berjalan mengikuti alurnya, akhirnya Po, si Panda besar berhasil mengalahkan Tai Lung dalam pertarungan yang melelahkan.
Dan Valley of Peace pun kembali dalam kedamaian.

Setiap cerita tentu ada akhirnya (sekaligus permulaan bagi yang baru), demikian juga hidup ini, tidak ada yang kekal (yang kekal adalah ketidakkekalan itu sendiri), setiap peristiwa yang diawali tentu akan diakhirnya.

Ada dua pembelajaran sebagai penutup dalam cerita ini:
1. Pada Saat kita menghadapi kesulitan dan problem
Karena setiap cerita pasti ada akhirnya, maka bagaimanapun kesulitan kita, semua pasti akan usai juga, yang perlu kita lakukan adakan mengasah diri kita agar lebih kuat dan kokoh, dan kita akan tumbuh sebagai Naga setelah cobaan itu telah kita lalui.
2. Pada Saat kita mendapat kejayaan
Karena setiap cerita pasti ada akhirnya, maka bagaimanapun kejayaan yang kita dapatkan, kita jangan sampai lengah dan bersombong diri, kita harus siap kalau-kalau lampu kita mulai redup, sehingga ketika cobaan itu datang, kita telah siap melaluinya.

Dan akhirnya kita juga dapat menaklukkan Tai Lung, Sang Leopard Salju (yang sebenarnya juga diri kita sendiri)