Sabtu, 17 Januari 2009

Renungan Akhir Tahun

Waktu adalah sesuatu yang tak terbendung, ia akan terus bergerak sekalipun kita telah lelah untuk beranjak dari tempat kita berdiri, ia akan terus melangkah ke depan sekalipun kita telah kehilangan semangat dalam mengarungi kehidupan ini.
Tapi inilah realitas dari kehidupan, ketika kita merasa telah berjuang begitu keras, ternyata masih banyak kerikil tajam yang masih mengganjar di setiap langkah kita, ketika kita telah berupaya, masih ada kegagalan yang menghampiri kita, masih ada tangis yang mengiringi jalan kita, masih banyak hal yang tidak sesuai dengan harapan kita, apalagi ketika kita memasuki tahun-tahun penuh tantangan seperti ini.
Di keluarga, ketika kita didudukan sebagai anak, kita merasa kurang mendapat perhatian dari orang tua, dan sebaliknya sebagai orang tua, kita merasa anak zaman sekarang sangat sulit dididik, walaupun kita telah berupaya melakukan terbaik untuknya, lalu ketika usia kita beranjak senja, sebagai opa dan oma, kita merasa ditinggali dan terabaikan, kita kesepian.
Di pekerjaan, ketika kita didudukan sebagai karyawan, kita merasa tenaga kita telah diperas habis oleh perusahaan dan sebaliknya sebagai pemilik perusahaan, kita merasa karyawan kita kurang berdedikasi dan tidak bertanggungjawab, dan hanya pintar menuntut.
Dan ketika hal itu terjadi pada diri kita, ketika kita dibenturkan dengan masalah-masalah tersebut, kita merasa sebagai makhluk yang paling malang, sebagai insan yang paling menderita di dunia.
Kita pun segera bertanya-tanya, mengapa alam begitu tidak adil, mengapa kita harus terlahir menanggung derita-derita yang berkepanjangan ini?

Ketika rentetan peristiwa datang bertubi-tubi dan pertanyaan itu tak terjawabkan, kita dilanda rasa frustasi yang teramat sangat, kita merasa begitu lelah, kita merasa terabaikan, tubuh kita seakan mati rasa, denyut nadi kita berhenti sesaat, kita segera terjebak dalam ruang gelap yang tidak pernah kita tahu kapan berakhirnya.
Lalu, sebelum semuanya semakin kelam, mari kita katup mata kita dan buka hati kita, mari kita manfaatkan waktu ini untuk merenung, menelaah dan mencari pencerahan dari cerita kecil ini, sang tukang kayu dalam kisah ini mungkin akan membangunkan hati kita.

Dikisahkan, seorang tukang kayu yang telah kelelahan berkarya ingin segera menjalani kehidupan pensiunnya, sejak awal dia adalah tukang kayu yang berbakat, tukang kayu yang berdedikasi tinggi atas pekerjaannya, tukang kayu yang bertanggung jawab penuh.
Ketika ia menyampaikan keinginannya kepada Sang Tuan, ia malah diberi tugas terakhir sebelum pensiun, sang Tuan ingin ia membuat sebuah rumah megah untuknya.
Tukang kayu yang berbakat itu tiba-tiba berubah, ia menjadi tukang kayu yang sembrono, tukang kayu yang asal-asalan. Pukulan palu yang harus ia ayunkan tiga kali, hanya ia ayunkan satu kali, itu pun ia lakukan dengan tidak sepenuh hati. Dengan terpaksa ia menyelesaikan tugas terakhirnya, ia merasa Sang Tuan tidak lagi berpihak padanya, ia sungguh kecewa. Dan kekecewaannya ia lampiaskan pada pekerjaanya. Sebuah “Rumah Mewah” yang jauh dari arti “Mewah ” akhirnya selesai tepat waktu.
Ketika hari pensiun tiba, sang tukang kayu akhirnya mendapat sebuah amplop yang berisi sejumlah uang pensiun dan sebuah “KUNCI” rumah. Ketika ia menerimanya segera ia tersadar, ternyata kunci yang digenggamnya adalah kunci dari “Rumah Mewah” yang baru selesai dibangunnya.
“Hadiah special ini dipersembahkan padamu, karena kerjamu yang luar biasa dan berdedikasi selama bekerja di sini.” Kata Sang Tuan.
Lalu, sang tukang kayu hanya mampu melihat kunci rumah itu dengan “PENYESALAN”.

Bukankah kita seperti tukang kayu ini, kita kadang-kadang lupa bahwa kita adalah pembuat rumah untuk diri kita sendiri.
Ketika kita membangun rumah masa depan kita dengan sembrono, kita akan mendapatkan rumah yang mungkin kita tidak sukai, tapi itulah rumah yang harus kita tempati, rumah yang kita bangun dengan ayunan tangan kita.

Kita boleh merasa kecewa ketika kita mendapati kenyataan bahwa rumah kita tidak seindah yang kita impikan, bahkan reok. Kita boleh merasa kecewa ketika kita harus melalui kehidupan yang tidak menyenangkan, tapi inilah realitas hidup, sedih yang berkepanjangan tidak akan mengubah rumah yang telah kita bangun dengan tangan kita sendiri, oleh karma yang telah kita tanamkan.
Lalu, mari kita kembali pada kehidupan kita yang keras, yang penuh tantangan, ketika segalanya berubah menjadi kacau dan tidak terkendali, ketika kita begitu frustasi.
Ingatlah, ketika kegelapan itu datang, Buddha Dharma masih memberikan telau harapan bagi kita, memberikan cahaya dalam langkah panjang kita dalam kehidupan ini, karena tidak ada yang abadi, demikian juga dengan masalah, semuanya pasti akan berlalu.
Saat ini, kita masih diberi waktu untuk mengubah rumah masa depan kita, kita masih diberi waktu untuk memperindah setiap sudut ruangan hati kita.

Mari kita kembali renungkan apa yang telah kita perbuat selama ini, bagaimana kita membangun rumah kita, seberapa baik kita telah membangun masa depan kita?
Disadari atau tidak, kita dapat membangun rumah kecil kita melalui hal-hal sederhana, kita dapat membangunnya melalui pelukan kita pada mama, melalui secangkir kopi yang kita suguhkan pada papa, melalui kecupan selamat pagi untuk pasangan kita, atau melalui aluran tangan kita untuk menuntun bocah-bocah kecil kita.
Ketika damai dalam rumah kecil itu tercipta, kita akan mampu memancarkan cahaya kasih yang terbentuk dari rumah ini melalui uluran tangan kita bagi mereka yang membutuhkannya, kita juga akan mampu membangun kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, kesempatan untuk membangun rumah yang jauh lebih besar dan megah, yang dapat memberikan kehangatan kasih bagi insan-insan yang mendiaminya. Ketika hal itu tercipta, semua akan terasa indah, masalah yang datang bertubi-tubi akan menjadi batu asah dalam memperindah kualitas hidup kita. Beban berat yang kita pikul akan menjadi lebih ringan, karena tangan-tangan kasih dari ayah bunda, saudara, kerabat dan teman akan membantu kita melaluinya. Dan kita pun akan menjadi kokoh.

Melalui kesempatan ini, ketika kita masih ada waktu, selama kita masih diberi kesempatan untuk berbagi kasih, mari kita lakukan hal-hal sederhana itu sekali lagi. Mari peluk Mama yang di samping kita dan nyatakanlah cinta kita, mari kita kecup kening bocah kecil kita, mari kita genggam tangan pasangan kita dengan mesra, mari kita jabati teman kita dan katakan betapa kita menghargai persahabatan itu dan mari kita maafkan mereka yang pernah menyakiti kita.
Yakinlah, bahwa rumah kita akan semakin ceria dan penuh kasih, rumah kita akan semakin indah di tahun baru ini.
Ketika kita telah mampu membangun rumah kecil kita dengan indah, kita juga akan dapat membangun keindahan dunia ini, kita akan mampu menghadirkan surga untuk kita semua.

Sabbe satta bhavanthu sukhi tatha.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia,




Salam pencerahan

Seni Berucap

Apa yang kita rindukan dari setiap lantunan kata-kata yang terdengar oleh telinga kita?
Kita semua mungkin setuju jika kata-kata yang kita rindukan itu adalah kata-kata yang indah pada awalnya, indah pada pertengahan dan indah pada akhirnya, yang selanjutnya mendatangkan rasa kebahagiaan dalam diri kita. (Karena keindahan selalu memberikan rasa sejuk dan kenyaman bagi yang menikmatinya)

Jika kita setuju bahwa kerinduan akan kata-kata indah adalah kerinduan kita semua, maka langkah berikutnya adalah kita harus sering mendengarkan kata-kata indah itu, terutama dari mulut kita sendiri, dari ucapan kita sendiri (bukan malah memaksa orang lain untuk mengeluarkan kata-kata indah itu untuk kita)
Ada dua alasan mengapa harus dimulai dari mulut kita sendiri.
Pertama, karena mulut yang paling dekat dengan pendengaran kita dan selalu mengikuti kemana kita berada adalah mulut kita sendiri.
Kedua, karena keindahan kata-kata kita akan mengundangkan kehadiran kata-kata indah dari mulut orang lain, bahkan dari musuh kita sekalipun.

Pada sebuah kitab kuno berbahasa pali disebutkan bahwa dalam Seni Berucap setiap kata-kata yang terlantun harus melewati 4 (empat) saringan Utama.
Saringan pertama adalah saringan KEBOHONGAN
Ketika kata-kata melewati saringan ini, maka yang keluar hanyalah Kejujuran, yang menjadi dasar dari KEPERCAYAAN.
Saringan kedua adalah saringan FITNAH
Ketika kata-kata melewati saringan ini, maka racun-racun perselisihan dan hasutan akan tersaring, dan kita akan mendengar PENGHIBURAN.
Saringan ketiga adalah saringan KATA KASAR
Ketika kata-kata melewati saringan ini, maka yang keluar hanyalah kata-kata halus yang menyejukan, tidak ada kata yang terasa pahit dan menyakitkan hati.
Saringan keempat adalah saringan OMONG KOSONG (tak bermanfaat)
Ketika kata-kata melewati saringan ini, gosip dan ngerumpi akan tersaring, kita akan mendengar kata-kata yang bermanfaat, yang membangkitkan semangat, yang me-MOTIVASI.

Setelah melewati 4 saringan besar ini, kata-kata kembali harus melewati saringan halus.
Saringan halus pertama adalah Saringan SASARAN
Kata-kata harus ditujukan pada pendengar yang tepat, sebagai contoh ketika bahasa tingkat Kuliah diberikan kepada anak TK maka kata-kata itu menjadi tiada arti, atau sebaliknya.
Saringan halus kedua adalah Saringan WAKTU
Kata-kata harus diucapkan pada saat dan moment yang tepat, sebagai contoh ketika meminta sesuatu kepada seseorang yang sedang emosi, cenderung permintaan kita akan sulit dikabulkan.
Saringan halus ketiga adalah Saringan TEMPAT
Kata-kata harus diucapkan pada tempat yang tepat, sebagai contoh mari kita bayangkan jika masalah keluarga kita ucapan di forum meeting perusahaan, hal ini tentu saja akan menjadi tertawaan orang.

Saringan berikutnynya adalah Saringan tambahan, yang membuat Kata-kata semakin Indah terdengar dan lebih bermakna.
Saringan tambahan pertama adalah Saringan BAHASA TUBUH
Bahasa tubuh menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pendengar (kecuali pendengarnya adalah buta), sikap tubuh kita ketika sedang meminta tidak akan sama dengan sikap tubuh kita ketika hendak memberikan sesuatu. (ketika hal itu dilakukan, cenderung permintaan kita tidak akan terkabulkan)
Saringan tambahan kedua adalah Saringan INTONASI
Nada pengucapan juga memegang peranan tak kalah pentingnya, seperti contoh di atas, ketika dalam posisi meminta intonasi kita cenderung lebih rendah.

Setelah melewati 4 Saringan Utama, 3 Saringan Halus dan 2 Saringan Tambahan, kata-kata akan mengalir dengan Indah, inilah letak seni Berucap.

Transformasi ke Alam Bawah Sadar

Dalam berbagai kesempatan saya sering mendengar bahwa kita hanya menggunakan 10 % dari seluruh kekuatan kita, 90% lainnya tertidur di alam bawah sadar.

Lalu pertanyaan muncul, bagaimana kita memanfaatkan 90% lagi kekuatan kita yang berada di alam bawah sadar? Kadang-kadang kekuatan itu muncul dipicu oleh daya yang super kuat dari luar, sering kali kekuatan itu menstimulasi organ-organ tubuh kita menjadi perkasa dan dalam banyak kasus pemicu itu berasal dari Dorongan PRIMITIF, yaitu “Insting untuk mempertahankan Hidup”
Seorang nenek tiba-tiba saja mampu mengangkat TV tinggi-tinggi dan menyelamatkannya dari kobaran api dalam bencana kebakaran atau seorang bocah yang tiba-tiba mampu melewati pagar setinggi 2 meter ketika dikejar oleh segerombolan anjing galak adalah bentuk contoh Pengaktifan kekuatan bawah sadar oleh insting primitif kita, insting untuk mempertahankan hidup.

Secara fisik, sering kali hal tersebut mampu memancing bangkitnya kekuatan dari alam bawah sadar kita, insting ini segera mengaktifkan tombol-tombol dalam system pertahanan diri ketika merasa terancam, yang segera mengumpulkan energinya dan menjadikan diri kita menjadi kuat.
Sebenarnya kita juga dapat mengaktifkan tombol-tombol itu secara sadar melalui tahapan pembelajaran, kita dapat memindahkan informasi-informasi yang ada ke alam bawah sadar, dan dijalankan di sana sehingga energi Alam SADAR kita masih bisa kita manfaatakan untuk hal lain.

Transformasi Data Base ke dalam alam bawah sadar
Pada proses ini kita mengenal 4 tahapan :

Tahapan pertama kita sebut sebagai tahap Belenggu Kebodohan, yaitu tahapan KETIDAKSADARAN atas ketidaktahuan. Sering kali pada tahapan ini kita merasa serba tahu, kita merasa hebat, kita tak menyadari ketidaktahuan kita, kita tak menyadari kebodohan kita, sering kali pada tahapan ini kita tidak mau bersinggungan dengan apa yang kita sebut BELAJAR, kita enggan mencari tahu hal-hal di luar dari pengetahuan kita, sampai akhirnya kita menemukan tahapan kedua.
Seperti pada saat kita pertama kali mengenal mobil, kita merasa telah mampu mengendarainya, ketika kita telah mencoba dan ternyata tidak mampu, kita akhirnya memasuki tahap kedua.

Tahapan ini merupakan tahap Awal Pembelajaran yaitu tahapan SADAR atas ketidaktahuan. Pada saat ini kita sudah mengetahui bahwa banyak hal yang kita tidak tahu, dan kita mulai mencari informasi dan mau mencoba terjun dalam proses BELAJAR.
Seperti pada saat kita tahu kita mesti belajar mengendarai mobil, kita segera mencari guru untuk mengajari kita, kita segera melakukan serangkaian latihan sampai kita mampu menjalankannya dan memasuki tahap ketiga.

Tahapan berikutnya adalah tahap Pengisian Kecerdasan yaitu tahapan SADAR memiliki pengetahuan. Pada saat ini kita telah menyadari bahwa kita telah mengetahui pembelajaran tersebut, kita mampu memanfaatkan secara sadar pengetahuan kita dalam setiap langkah yang kita ambil.
Seperti pada saat kita telah mampu mengendarai mobil untuk pertama kali, perhatian kita segera tersita untuk mengkoordinasi gerakan untuk mengeram, untuk menginjak pedal gas, untuk memindahkan gigi, melihat kaca spion, dan semua ini lakukan dengan kesadaran untuk memastikan mobil tersebut berjalan benar. Lalu pada saat itu semua terasa kaku, kita harus berpeluh ketika memindahkan gerakan menginjak pedal gas, ke pedal pengereman. Ketegangan hampir menyelimuti kita dimulai pada saat mobil itu bergerak sampai mobil itu dihentikan, sampai kita memasuki tahapan terakhir dari pembelajaran.

Tahapan terakhir dari proses ini adalah tahap Transformasi alam bawah sadar, yaitu SADAR atas ketidaksadaran memiliki pengetahuan kita. Kita tidak lagi menghabiskan banyak energy dan perhatian dalam mengolah data-data yang terekam, secara otomatis semua berjalan dengan begitu saja, alam bawah sadar kita telah mengambil peranan dalam proses ini. Data-data segera ditransformasi setelah mengalami PEMATANGAN melalui serangkai aktivitas yang dilakukan berulang-ulang, rutinitas ini membentuk suatu Kebiasaan yang dicatat dalam alam bawah sadar, yang selanjutnya dipergunakan mengikuti kode pencatatan, mengikuti program yang telah tersusun, tanpa harus menguras terlalu banyak energy dari kesadaran kita.
Seperti pada saat kita telah mahir mengendarai mobil, kita tidak lagi memperhatikan gerakan menginjak pedal gas dan rem, kita tidak lagi memperhatikan gerakan menyalakan lampu tangan, semua dilakukan secara alami, kita sadar kapan harus melakukan gerakan pemindahan gigi, tapi kita perlu lagi memperhatikan gerakan itu seperti pada saat kita belajar pertama kali, semuanya telah diambil alih oleh Alam bawah sadar kita. (Dan kita tetap hidup berKESADARAN)

Bayangkan, betapa banyak energi yang dapat kita hemat, jika kita mampu memindahkan sedikit demi sedikit date base kita ke alam bawah sadar kita, seperti halnya saat kita mengetik, ketika tahapan itu telah tercapai, tangan kita secara otomatis menekan tombol huruf yang ada, menerjemahkannya dalam kata-kata tertulis.

Tapi ada kalanya, data-data tersebut dapat dirusak oleh virus ketakutan, ketika kita terancam secara mental, virus ini akan menyebar dalam tubuh kita, acap kali hal ini bukan hanya membuat kita tak mampu memunculkan kekuatan dalam alam bawah sadar, tapi juga sering mengagalkan penggunaan akal sehat kita, dan membuat kita tidak sadar. Sebagai contoh, lihatlah seorang ibu yang terperangkap dalam lautan api, ia mengalami kesulitan ketika hendak membuka pintu rumah yang sudah ia lakukan ratusan bahkan ribuan kali, tangannya gementaran, dan ia bahkan tak mampu mengontrol organ-organ tubuhnya. Atau saat kita kehilangan suara ketika melihat api sedang menjalar dengan ganasnya di depan batang hidung kita.
Sebelum saat itu menghampiri kita, maka pembelajaran harus kita lanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu menuju kesadaran tertinggi yaitu PENCERAHAN.

Pada fase ini kita akan tampil lebih elegan, tahapan ini membuat kita mampu menghadapi masalah lebih tenang, kita dapat menggunakan kekuatan alam bawah sadar dan tidak kehilangan kendali atas alam sadarnya. Dan tahapan ini akan tercapai saat kita telah mampu menjalankan moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan (Sila, Samadhi dan Panna) secara berkesinambungan dalam kehidupan ini.
Saat itu, kita telah menjadi Pengemudi yang mahir, yang mampu memberdayakan kekuatan alam bawah sadar kita, yang mampu mengemudikan diri kita dalam jalan raya kehidupan ini, menuju ke dalam Kesadaran tertinggi yaitu PENCERAHAN, menuju sukses dunia dan Akhirat.

Suatu Hari di Kelas Hynotherapy

Ini adalah kali pertama saya mengikuti seminar hypnotherapy , ada rasa penasaran yang luar biasa untuk mengetahui bagaimana rasanya terjun ke masa lalu, kembali menjadi muda bahkan menjadi sang janin yang berdiam di kandungan sang bunda. Lalu dengan melewati terowongan waktu, saya dapat menikmati kehidupan masa lalu, mencari alasan keberadaanku saat ini. (Setidaknya itu yang terbayang olehku ketika diajak untuk menghadiri sebuah seminar hypnotherapy di Medan, kita akan dibawa menerusuri jejak masa lalu)

Acara pun dimulai, kebetulan saya duduk di barisan terdepan, ada harapan untuk terpanggil sebagai salah satu peserta yang mengalami fenomena tersebut, tapi kelihatannya saya harus cukup puas sebagai penonton saja, karena melalui dua kali test ternyata saya tidak cocok untuk terpilih sebagai salah satu peserta yang akan menjalani perjalanan waktu itu.

Akhirnya terpilih lima orang untuk mengikuti ritual penelusuran lorong waktu itu, yang menarik adalah ketika mereka mulai ditidurkan dalam keadaan sadar dan memasuki dunia kanak-kanak mereka. Salah satu peserta seperti tertawa sendiri, lalu kemudian ia menangis karena melihat bayangan bunda, terutama ketika ia memasuki dunia janin, ia merasa begitu terlindungi oleh bunda tapi ia merasa belum cukup memberikan cintanya pada beliau (Aku sungguh sudah melupakan kata-kata yang keluar dari peserta itu, karena pada saat itu aku malah lebih fokus dengan bayangan Bundaku sendiri, ada air mata yang juga ikut turun dari sudut-sudut mataku, aku tiba-tiba merindukan pelukan Bunda, rasanya menyusup jauh ke dalam sum-sum tulangku, mungkin aku juga terlibat secara emosional memasuki lorong waktu itu, bertemu dengan bayangan Bunda)
Dan untuk penelusuran lebih jauh melewati masa janin, saya tidak mau ambil bagian untuk membahasnya, karena selalu ada saja opini-opini kontroversial yang akan bermain di sana, saya biarkan saja tetap seperti kata guru ku. Setelah mengikuti seminar ini, saya menjadi “TAHU” kalau saya “TIDAK TAHU” dari mana saya berasal dan saya juga “TIDAK TAHU” hendak kemana nantinya. Biarlah waktu yang akan memberitahukan aku nantinya.

Tetapi selalu ada pembelajaran di dalamnya, terutama seperti saat ini, saat menerima input baru, ada persepsi-persepsi baru yang akan segera mengisi pundi pikiran ini.
Dari kelas itu kita dapat belajar me-reframe persepsi lama yang merugikan, catatan yang sudah terlanjur tertanam di dalam alam bawah sadar kita dibawa keluar dan diberi bingkai baru yang positip sehingga pundi pikiran kita segera terisi dan bersinar oleh energi positip.

Terlepas dari percaya atau tidaknya dengan perjalanan lorong waktu itu, saya selalu setuju dengan ritual hypnotist ini pada saat dilakukan untuk penyembuhan batin, karena selalu menarik untuk diikuti, karena selalu ada pencerahan dalam setiap penelusurannya, sehingga hati dapat menerima keadaan, memaklumi dan memaafkan. Walau dalam perjalanannya kadang ada tangis yang memilukan, tapi pelepasan itu merupakan ritual dari penyembuhan yang melegakan.

Bahkan ketika kita hanya sebagai penonton saja, saya melihat sejumlah mata tampak berkaca-kaca ketika para penjelajah lorong waktu kembali ke masa muda bertemu dengan bunda, saya sendiri menikmati moment tersebut, kerinduan akan bunda yang penyayang membuat kita terharu, tapi ingatan semacam itu justru lebih mengingatkan kita untuk memberikan kasih kita selama masih sempat kita berikan. Pelajaran ini seharusnya tidak membuat kita berandai-andai lagi, kita tak seharusnya lagi berkata “Andai aku diberi kekayaan, tentu aku akan membahagiakan bundaku”, “Andai aku ada waktu, aku tentu akan menemani ibuku” atau “Andai mamaku masih ada, tentu aku akan menyayanginya sepenuh hati, memberikan pelayanan yang terbaik, menjaganya dan merawatnya dengan kasih sayang.”
Pelajaran ini seharusnya mengingatkan kita tentang HIDUP HARI INI, ketika kita ada saat ini, ketika Bunda ada di samping kita saat ini. Mengapa kita tak memberikan cinta kita saat ini juga? Mengapa kita tidak segera bersujud di bawah kaki bunda, menciumnya dan lalu mengatakan “Aku mencintaimu Mama” (Jangan sampai kita hanya bisa mengucapkannya KEMUDIAN, di saat Bunda yang pengasih tidak ada di samping kita, di saat kita hanya mampu mengucapkannya melalui mimpi, dalam tidur yang sadar seperti di kelas ini atau melalui DOA)

Mungkin saat ini Anda seperti saya, kesempatan untuk mengatakannya memang harus melalui alternatif dunia bawah sadar, mengali persepsi tentang Bunda yang welas asih dari catatan-catatan masa lalu kita, tapi setidaknya kita masih memiliki ayah, saudara, atau orang-orang terkasih lainnya yang merupakan ladang bagi kita menanamkan bibit kasih. Sehingga kelak kita tak lagi berandai-andai dengan tindakan kita.

Saya yakin mama di atas sana setuju dan akan tersenyum untuk kita semua.
Saya juga yakin kalau mama menemaniku tadi, saat mengikuti kelas hypnotherapy itu.
“ I Love You Mom “

Six Direction of Honour

Memang baik menjadi orang terhormat, tapi lebih terhormat menjadi orang yang baik.

Dan cerita ini dimulai dari sebuah buku pelajaran hidup yang telah berumur ratusan tahun lamanya.
Konon, hiduplah seorang pemuda yang bernama Sigala, pagi-pagi sekali pemuda desa ini telah berangkat dari rumahnya menuju sebuah tempat persembahan, sesampainya di sana ia segera merapatkan kedua tangannya dan melakukan penghormatan ke setiap penjuru mata angin utama, ke Timur, Selatan, Barat dan Utara serta ke atas dan ke bawah.
Pada kesempatan yang sama, Sang Guru melewati kawasan tersebut dan melihat aktivitas menarik yang dilakukan pemuda Sigala itu, lalu Sang Guru bertanya pada Sigala mengapa ia melakukan aktivitas itu?
Si Pemuda lalu berkata bahwa itu adalah pesan dari orang tuanya sebelum meninggal, “Sebagai anak yang baik, engkau harus menyembah berbagai arah bumi dan langit!” Karena menghormati kata-kata ayahnya, mengindahkannya, menjunjungnya dan menganggap suci, maka si Pemuda melaksanakan petuah tersebut.
Sambil tersenyum, sang guru berkata bahwa ke-enam arah itu tidak seharusnya dihormati dengan cara demikian, ada pesan yang moral yang disampaikan sang ayah kepadanya melalui perumpamaan dari ke-enam arah tersebut.

Timur selalu dilambangkan sebagai “Pendahulu”, seperti hari yang dimulai dengan terbitnya matahari dari timur, ayah dan ibu dipandang sebagai awal dari kehidupan. Dari kasih sayang mereka maka kita dilahirkan di dunia ini, selanjutnya dirawat dan dibimbing sampai mandiri.

Seperti arah pergerakan matahari, arah Barat berada di belakang dari Timur. Setelah matahari mencapai tengah hari, ia akan kembali ke peraduannya di Barat, demikian juga anak dan istri yang mengikuti dari belakang, pada akhirnya mereka akan menemani kita.

Jika kita menghadap ke arah timur, maka arah Selatan adalah berada di tangan kanan kita, dengan tangan inilah kita dituntun, dibimbing oleh guru-guru kita.

Arah Utara melambangkan Sahabat dan sanak keluarga yang siap membantu kita mengatasi kesulitan yang ada dalam kehidupan ini.

Atas (Arah Zenith) melambangkan guru-guru spiritual (rohaniawan) yang kita junjung tinggi, yang memberikan pencerahan spiritual dalam kehidupan ini dan

Arah bawah (Nadir) melambangkan pelayan dan karyawan yang juga harus dihargai, karena telah membantu kita dalam usaha dan kerja.

Sang Guru kemudian mengatakan bahwa inilah ke-enam arah penghormatan yang harus kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Lalu, sudahkan kita melakukan penghormatan itu?

Sudahkah kita menghormati orang tua kita? Atau malah kita menganggapnya sebagai beban dari hidup kita? Cerita lama di bawah ini mungkin dapat mengingatkan kita kembali akan arti sebuah penghormatan kepada orang tua kita.
Cerita ini mengenai seorang kakek yang tinggal bersama sang anak dan menantunya. Karena sudah tua dan sakit-sakitan, kakek ini dianggap hanya menambah beban keluarga ini saja, maka setelah melalui diskusi panjang, suami istri ini akhirnya berencana melenyapkan kakek itu, dengan membawanya ke hutan dan membiarkannya tinggal di sana bersama kumpulan orang-orang jompo yang terbuang.
Disiapkanlah sebuah keranjang rotan yang akan membawa sang kakek itu ke hutan, ketika kakek tua itu hendak diangkut ke dengan keranjang itu, sang cucu tiba-tiba muncul dan berkata. “Pa, Ma, jangan lupa bawa pulang keranjang rotan itu ya”
Suami istri itu sempat terkejut dan berkata “Untuk apa keranjang itu Nak?”
Sang cucu itu menjawab dengan enteng “Untuk ayah dan Ibu kelak!”
Sontak, Suami istri ini tercerahkan.
Ada kalanya ketika kita melakukan penghormatan pada arah Barat (anak-istri(suami)) , kita malah melupakan penghormatan pada arah Timur, yang merupakan awal dari kehidupan kita.

Ke-enam arah penghormatan adalah sama pentingnya dalam kehidupan ini, kita tidak bisa hanya menghormati arah tertentu saja, keselarasan terjadi ketika kita mampu menyeimbangi penghormatan kita pada arah-arah tersebut.

Kita menghormati orangtua kita, anak dan istri(suami), guru, sahabat dan sanak keluarga, rohaniawan dan pelayan kita dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Dalam kehidupan sosial kita saat ini, penghormatan pada arah NADIR lebih sering kita lupakan, pelayan dan karyawan sering kita anggap hanya seperti sapi perah, padahal dalam satu organisasi perusahaan, pelayan dan karyawan adalah ujung tombok dalam keberhasilan perusahaan, perusahaan tak mungkin berjalan tanpa mereka. Ketika kita membangun karyawan, kita telah membangun perusahaan.

Dan pada saat kita telah mampu menghormati Six Direction of Honour tersebut, kita sendiri akan menjadi orang yang terhormat, orang yang Honourable.
Karena pada dunia ini ada HUKUM AKSI-REAKSI yang berjalan.


Salam Pencerahan

Rabu, 17 Desember 2008

Persepsi Si Mata Satu

Seperti biasa, malam menjelang tidur aku selalu mengambil sebuah buku untuk menemaniku, dan malam itu ternyata terpilih sebuah buku spiritual yang bercerita tentang “Si Mata Satu”. Yang menarik dari cerita ini adalah pada saat alur itu berjalan seketika kisah itu berubah menjadi CERMIN.

Dikisahkan ada sebuah sekolah yang terkenal dalam menanamkan kekayaan mental bagi murid-muridnya. Suatu hari sekolah tersebut kedatangan “Tamu Agung” dari kerajaan tetangga yang hendak mempelajari keunikan ilmu sekolah tersebut. Karena kesibukannya, sang kepala sekolah segera menyerahkan acara penyambutan ini kepada murid junior yang kebetulan bermata satu. Sang kepala sekolah meminta murid itu menemani dan melayani tamu tersebut sampai beliau menyelesaikan kesibukannya.

Tamu Agung yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, murid bermata satu itu segera membungkukan badannya untuk menyambutnya. Bungkukan badan itu segera dibalas sang tamu dengan mengacungkan tiga jarinya ke udara. Tak mau kalah, si mata satu membalasnya dengan acungan dua jari, yang kembali dibalas lagi dengan acungan satu jari oleh sang tamu. Akhirnya si mata satu mendaratkan sebuah tinju ke muka sang tamu, lalu tamu itu berlari meninggalkan tempat tersebut.

Cerita aneh ini membuatku penasaran untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana, lalu kutelususri kembali kisah itu.

Sang tamu dengan mata memar segera pulang menemui gurunya, di hadapan gurunya ia berkata “Guru, saya telah datang ke sekolah itu untuk mewakili guru melihat ilmu mereka, sungguh luar biasa, baru kali pertama saya mendapat pelajaran yang begitu dalam”
“Sebenarnya apa yang terjadi muridku?” Tanya Sang Guru
“Begitu tiba, saya segera disambut dengan bungkukan badan tanda dimulainya acara uji pengetahuan, lalu saya mulai dengan membuka topik dengan menunjukkan tiga jari ke udara, yang menyatakan bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang, lalu ia membalasnya dengan menyatakan bahwa sebenarnya yang penting adalah saat ini dan masa yang akan datang (2 jari), sedangkan masa lalu adalah sejarah yang tak dapat lagi diubah. Saya kembali menjelaskan bahwa sebenarnya masa lalu, kini dan masa yang akan datang adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan (1 jari), lalu sebuah tinju yang mendarat di muka mempertegas dan menyadarkan saya kalau yang terpenting adalah hidup Saat ini”
“Satu pembelajaran yang luar biasa mengenai hidup” katanya sekali lagi dengan terkagum-kagum walau dengan mata memar.

Sedangkan si mata satu, ketika bertemu dengan gurunya ia langsung berkata “Guru, orang itu sungguh kurang ajar, dari awal saya sudah mencoba menghormati dengan membungkukan badanku, ia malah membalasnya dengan mengatakan bahwa di ruangan itu hanya ada tiga mata, mentang-mentang dia memiliki dua mata sedangkan saya hanya memiliki sebuah saja, saya mencoba bersabar dan berkata kalau ia harus bersyukur karena memiliki dua mata, tapi lagi-lagi ia mengejekku dengan mengatakan saya si mata satu, waktu itu kesabaran saya sudah habis, lalu saya meninjunya. Untung ia segera belari meninggalkan sekolah ini, kalau tidak pasti sudah babak belur.”

Bukankah kita sering seperti kedua murid ini? Saling tidak memahami satu sama lain, masing-masing punya persepsinya sendiri.

Dalam suatu kesempatan, di sela ceramah minggu, saya pernah memperlihatkan sebuah kertas kepada audience yang saya klaim sebagai warna “biru”, tapi audience protes, mereka mengatakan kertas itu adalah berwarna “kuning”, masing-masing dari kami berkeras bahwa itulah warna kertas itu sesungguhnya, sampai saya dudukkan salah satu audience itu di sampingku.
Ketika kutanya kepadanya apa warna kertas itu, ia segera mengatakan “Biru”, sementara para audience yang lain masih berkeras dengan keyakinannya, sampai saya mengubah arah duduk saya sendiri, kali ini saya dan para audience duduk menghadap arah yang sama.
Ketika kuperlihatakan kertas itu kembali, mereka akhirnya juga setuju kalau kertas itu berwarna “biru” sekaligus juga “kuning” tergantung di sisi mana kita memandangnya.

Ternyata kertas itu memiliki dua sisi dengan warna yang berbeda.

Inilah yang terjadi pada kehidupan kita, kita sering berbeda pandangan, saling tidak memahami, saling tidak mengerti, sampai kita DUDUK BERDAMPINGAN, mencoba melihat dari kedua perspektif tersebut, mencoba melihat dari cara pandang orang lain.
Pada saat duduk berdampingan, kita menjadi saling memahami satu satu lain, saling mengerti, saling toleransi, dan kita dapat berangkulan dalam perbedaan. Itu yang dibutuhkan Negara kita saat ini.

Salam Pencerahan
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT. Arthamas Konsulindo Medan
PSDM Siddhi Medan
Sekretaris MBI Medan
Penulis Tetap di www.andriewongso.com

Ratapan (Curiga) Anak Tiri

Mungkin kita sudah terlalu sering mendengar cerita sedih dari seorang anak yang dibesarkan oleh ibu tirinya. Sepertinya cerita ibu tiri selalu identik dengan KESEDIHAN, KETIDAKADILAN dan air mata.
(Disadari atau tidak, sejak kecil benih-benih “CURIGA” telah ditanamkan pada sosok seorang “Ibu Tiri”. Melalui media cetak maupun media elektronik, benih disusupkan lewat cerita-cerita, lewat sinetron, terlebih lewat berita penyiksaan “anak tiri “yang diekspos bukan oleh satu media saja, tapi hampir oleh seluruh media untuk satu kasus yang sama)
Lalu, cerita Ibu tiri sebagai seorang sosok Ibu yang Penyayang seakan lenyap oleh pemberitaan yang tak berimbang, lalu terciptalah sosok MONSTER atas restu bersama.

Lalu apa selanjutnya?

Apa yang ada dibenak kita, ketika suatu saat kita diberitahukan bahwa kita akan segera memiliki seorang Ibu Tiri? (Khususnya ketika kita masih sangat hijau, masih jauh dari kata mandiri)
Suatu Blokade ketat segera kita dirikan, segala macam perlindungan segera kita kenakan, kita segera memproteksi diri kita, kalau-kalau kita akan terluka nantinya oleh kemunculan seorang MONSTER.
Ketika pikiran kita mengidentifikasikan Ibu itu sebagai seorang Monster, maka sejak detik itu juga kita memperlakukannya seperti kehendak pikiran kita.
Kita segera memutuskan hubungan diplomasi bahkan untuk suatu hubungan yang belum sempat dibangun, tidak ada kata persahabatan, semua ucapannya harus ditantang dan ia tak lebih dari seorang musuh. Sekalipun ia berusaha mencairkan kekakuan, itu hanyalah trik untuk mengelabuhi kita. (Setidaknya itulah menurut kita dan kebanyakan orang)
Inilah beban yang harus kita pikul atas nama “CURIGA”

Ketika kecurigaan yang berlebihan itu datang, kita telah dilukai (secara mental) sebelum semua ketakutan itu terbukti kebenarannya. Anehnya kita lebih senang melukai diri sendiri sebelum orang lain melakukannya terhadap kita.

Seorang teman pernah bercerita tentang kisah “Petani yang kehilangan cangkulnya”
Cerita itu dimulai ketika Pak Tani mendapat tetangga baru, seorang pemuda berkaus oblong dengan wajah sangar, yang tidak pernah tersenyum dan selalu pulang larut malam. Pak Tani selalu memperhatikan gerak-gerik tetangga barunya itu. (Jangan-jangan seorang penjahat, pikirnya), ia selalu berkata pada istrinya “Lihat, tampang orang itu sangat mencurigakan”
Semua “TERBUKTI” ketika Pak Tani kehilangan cangkul barunya dan vonis segera dijatuhkan.
“Benar dugaanku, dialah yang telah mencuri cangkul baruku!”
Hari-hari berikutnya Pak Tani sibuk mengamati “si tertuduh”, ia bertekad menangkap basah sang pencuri cangkulnya. Tapi hari yang ditungu-tunggu tak kunjung datang, ia malah tersandung dan terjatuh ketika sedang asyik menjadi seorang detektif.
Benda yang menjadi sandungannya akhirnya mampu memunculkan bukti baru, bukti yang menyatakan bahwa sang pemuda TIDAK BERSALAH.
Pak Tani baru teringat bahwa ia lupa menyimpan cangkulnya ketika sedang menanam ubi di belakang rumahnya.

Ketika benih curiga ditanamkan, detik itu juga kita telah memperlakukan sang Suspect sebagai pelakunya, si pelaku yang telah dan akan terus melukai kita (pikiran kita segera mendefinisikannya sebagai musuh) Ketika pikiran itu telah menjatuhkan vonisnya, kita akan cenderung bertindak sesuai dengan keputusannya, sang Suspect adalah musuh. (dan musuh akan saling melukai)
Sejak itu pula, disadari atau tidak, kita akan melukai “tersangka” itu, dan ini akan memicu PERCEPATAN sang suspect menjadi musuh yang nyata atau bahkan memunculkan musuh yang sebelumnya tak pernah muncul. (Pikiran segera menarik apa yang kita pikirkan)
Cerita ini segera membungkam semua CURIGA yang ada pada temanku tadi, ia berhasil membangun kepercayaanku padanya.

Walau akhirnya ia juga berhasil melukaiku setelah pintu CURIGA runtuh, ada pelajaran yang menarik untuk direnungi dari kejadian tersebut.
Pertama, Setidaknya aku hanya perlu terluka sekali, yaitu pada saat ia melukaiku. (Daripada terluka dua kali : terluka pada saat curiga muncul dan terluka pada saat curiga menjadi kenyataan)
Kedua, setidaknya aku telah memberikan kesempatan pada sang suspect untuk tetap menjadi temanku, dan kesempatan untuk berubah pikiran, untuk tidak saling melukai.

Saatnya bagi kita untuk membuang rasa curiga di antara kita (ini yang sedang terjadi pada negera kita, kehilangan rasa percaya atas sesama), kita ganti rasa CURIGA menjadi WASPADA, terutama waspada atas tindakan kita terhadap orang lain, bukan orang lain terhadap kita.

Sebuah syair dari satu kitab kehidupan menjelaskan pada kita.
“Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan, maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak terluka. Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat”
Syair itu kembali dipertegas
“Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh sukar dicari”

Mungkin setelah kita mulai menyadarinya, Ratapan Curiga anak tiri tidak perlu ada lagi.

Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI