Selasa, 21 Oktober 2008

Hanya Empat Huruf dan Satu Detik

Empat huruf yang sederhana dan ketika diucapkan SANGAT TIDAK MEREPOTKAN, hanya memakan waktu 1 detik, tapi huruf-huruf ini sering tertahan di ujung lidah kita, hanya karena EGO.
Lalu efeknya? Luar biasa! Ucapkan 1 detik itu akan meninggalkan bekas yang mendalam selama berjam-jam, berhari-hari, bertahun-tahun bahkan EVERLASTING sepanjang hidup kita.
Apa itu? “MAAF”

Mari kita mulai dengan Meminta “MAAF”
Terlepas apakah maaf kita diterima atau tidak, untuk mengucapkannya saja dibutuhkan keberanian
Suatu hari di tahun 1990an, beberapa jam menjelang pesta pernikahan temanku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor direm secara mendadak tepat di depan roda dua yang saya kenderai, saya terkejut karena secara mendadak saya dikembalikan dari lamunanku di jalan.
Sejenak saya menatap ke arah pengendara sepeda motor tersebut, tak ada senyum yang kulemparkan, hanya tatapan lurus tanpa ekspresi, lalu segera kubawa roda duaku ke dalam lapangan parkir. Sejenak kupikir telah usai.
Ternyata tidak, sang bapak pengendera sepeda motor itu mengejar sampai ke lapangan parkir, dan segera digengamnya tanganku dengan keras sambil berkata, “Kamu tak punya mata ya! Jalan khok tiba-tiba belok dan bla bla bla..”
Selanjutnya, yang saya lakukan adalah hal yang sederhana tersebut, saya katakan “Maaf!” lalu kusalami tangannya. Hanya itu, dan bapak itu pun berlalu.
Lalu setelahnya, saya berpikir apa yang terjadi jika saya tidak mengucapkan kata tersebut hanya untuk mempertahankan ego, ceritanya tentu akan lebih panjang dan lebih tidak mengenakkan.
Dan kalau bisa selesai dalam waktu singkat dan memberikan efek yang begitu positif mengapa kita tidak melakukannya dengan meredam keangkuhan kita.

BAPAK JUGA BOLEH MEMIJAK KAKI SAYA
Seorang anak tampak berdiri dalam sebuah bis yang padat penumpangnya, tanpa sengaja anak tersebut menginjak kaki seorang bapak duduk di dekatnya. Sang bapak berdiri dengan marah, ia membentak anak tersebut. Sambil tertunduk anak itu meminta maaf, tapi ternyata kemarahan bapak itu masih tidak mereda, kembali dimakinya anak tersebut. Anak itu kembali mengatakan “MAAF”, tapi lagi-lagi sang bapak tidak menanggapinya, malah marahnya makin menjadi-jadi.
Akhirnya anak itu berkata “Pak, sekali lagi Maaf, saya tidak sengaja menginjak kaki bapak, tapi kalau bapak tidak bisa memaafkan saya, bapak boleh menginjak kaki saya juga khok”
Dan “Blink!” Bapak itu tercerahkan.

SALING MEMAAFKAN
Saya pernah membaca sebuah email yang dikirim oleh teman, email itu bercerita tentang kekuatan saling memaafkan di keluarga.
Diceritakan bahwa pada suatu hari karena terburu-buru ke kantor, sang ayah meninggalkan begitu saja racun serangga di meja, tapi terlebih dahulu ia memberitahukan sang istri untuk menyimpannya setelah tugas di dapurnya selesai.
Lalu apa yang terjadi kemudian?
Sang anak yang baru bangun dari tidurnya, tanpa sengaja meminum cairan racun tersebut sementara sang ibu masih sibuk dengan pekerjaannya di dapur.
Ketika Sang ibu menyadarinya, si anak telah terkapar dengan mulut berbusa, lalu dengan singgap anak itu dibawa ke rumah sakit terdekat dan Sang ayah pun diberitahukan agar segera ke rumah sakit tersebut.
Singkat kata, Sang ayah akhirnya bertemu dengan sang ibu, sementara si anak di ruang ICU menjalani pengobatannya.
Jika kita diletakkan pada posisi ayah atau ibu, apa yang akan terjadi kemudian?
Di awal saya membayangkan bahwa cerita itu akan menjadi sumber konflik keluarga, ayah akan menyalahkan ibu karena tidak segera menyimpan racun tersebut padahal bapak sudah memberitahukan kepadanya, lalu ibu tak mau kalah garangnya menyalahkan bapak yang meninggalkan begitu saja racun di meja yang bisa dijangkau anaknya yang kecil itu.
Ternyata, cerita itu tidak mengalir seperti yang saya bayangkan, atau mungkin anda bayangkan (atau yang mungkin akan kita lakukan jika hal ini menimpa kita)

Sang Ayah segera memeluk istrinya berkata, “Maafkan aku Ma, aku teledor meletakkan racun itu di meja yang bisa dijangkau si kecil”, lalu di sela isak tangisnya, Sang ibu juga berkata “Maafkan aku juga Pa, aku tidak segera menyimpannya, aku tak menyangka si kecil bangun sepagi itu.”
Lalu mereka berpelukan menunggu kesembuhan si kecil.

Sungguh indah bukan!
Indah bukan karena peristiwa naas itu terjadi, tapi indah karena reaksi mereka akan peristiwa itu, indah karena mereka dapat mengalahkan ego mereka masing-masing, untuk tidak saling menyalahkan, untuk saling memaafkan.

Peristiwa itu telah terjadi, mereka hanya dapat memilih reaksi terhadap peristiwa tersebut, Indahnya, ketika keduanya memilih untuk tidak menjadikannya sumber konflik, tapi mereka memilih untuk saling menguatkan, saling memaafkan.
Apakah Kita juga akan memiliki pilihan yang sama dengan mereka?


Salam Sukses Selalu

Tidak ada komentar: