Jumat, 14 November 2008

Mukzizat Keikhlasan

Apakah Anda pernah punya masalah untuk memiliki anak setelah sekian tahun merindukannya?
Mungkin ini adalah salah satu cara untuk mendapatkannya.

BASED ON TRUE STORY
Pernikahan kami diawali pada bulan Juli 2004, pada saat itu keinginan untuk memomong seorang anak hadir dalam kadar yang masih lemah, walau usia kami bukan lagi tergolong muda.
Kehadiran anak-anak di rumah masih dipertanyakan, suara-suara centil mereka masih terasa mengganggu pendengaran, masih ada kekhawatiran mendekap tubuh kecil yang lemah itu dalam pelukan kami. Kami belum cukup siap menerima keberadaannya di antara kami, belum ada kerinduan yang mendalam.
Ketika waktu terus berjalan dan memasuki dua tahun usia pernikahan kami, kerinduan itu mulai terasakan, bahkan semakin menguat setelahnya, beresonansi dengan pernyataan-pernyataan yang sedikit mengganggu, “Kapan rencana punya anak?” “Kenapa belum mau punya anak?” dan sebagainya, seakan mengingatkan aku tentang desakan menikah dulu.
Kerinduan itu pun mulai berubah menjadi pengharapan dan selanjutnya berevolusi menjadi kekhawatiran atas ketidakmampuan kami memenuhi tuntutan lingkungan. Lalu, kami pun mulai mencari tahu dan berkonsultasi dengan para ahli.
Berikutnya, seperti yang kami duga, serangkaian test dan pengobatan pun dilakukan untuk mengisi program yang disusun oleh para ahli tersebut. Awalnya kami menjalani dengan semangat, tapi rasa frustasi segera menjalar ke dalam hati kami setelah harapan itu tak kunjung datang walau biaya, waktu dan energi telah terkorbankan, dan sebagai klimaksnya, kami divonis untuk menjalankan program Bayi Tabung (yang tingkat keberhasilannya mungkin 20% sampai dengan 30 %), sementara secara financial hal tersebut harus kami perhitungkan masak-masak.
Sebenarnya usaha kami tidak hanya sampai di sana, untuk memastikan vonis tersebut, kami melakukan dianogsa pembanding ke negeri jiran, dan ternyata hasilnya masih tetap sama, kami disarankan melakukan program Bayi Tabung.
Sejenak kami terhenyak, tapi akhirnya kami menemukan PENCERAHAN di balik KEPASRAHAN.
Kami akhirnya menghentikan pencarian program yang ditawarkan dari ahli yang lain, kami sudah ikhlas dengan kenyataan yang harus kami hadapi (Ikhlas dan Pasrah dalam arti aktif), kami pasrah menerima kenyataan bahwa kami harus menjalani Program Bayi Tabung (yang belum tentu dapat berhasil), kami pasrah jika hal itu tidak memungkinkan maka kami akan mengadopsi anak.
Kami pun merencanakan hal ini akan direalisasikan dalam waktu dua tahun mengingat keadaan financial, lalu di saat yang sama kami membungkus diri dalam bingkai KEIKHLASAN dan menyadari kenyataan yang harus kami hadapi.
Ketika kami benar-benar menerimanya, beberapa bulan kemudian MUKZIZAT itu datang, kami mendapat Vonis baru, Istriku dinyatakan telah hamil (tentunya saja setelah melalui 2 kali test urine dan diperkuat dengan pernyataan dokter)
Setelah itu, maka semua pihak pun merasa berjasa akan kehamilan itu, ada yang merasa bahwa suplemen yang mereka tawarkan kepada kami telah berhasil, ada yang merasa karena nasehat merekalah semua ini dapat terjadi, ada juga yang merasa karena obat penguat yang disuguhkan kepada kami, ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah buah dari karma baik yang kami tanamkan, ada yang mengatakan bahwa kami telah siap menerima kehadiran sang bayi dan masih banyak lagi yang lain. Begitu banyak yang merasa bertanggungjawab di sini, yang memang metode yang mereka suguhkan pad kami sudah pernah kami coba dan kami jalani sebelumnya. Lalu ketika hendak diklaim siapa sebenarnya yang telah berhasil memenangkannya, kami katakan SEMUA telah berjasa.
Ketika KEIKHLASAN berkolaborasi dengan semua unsur penunjang ini, maka akan melahirkan sebuah KEAJAIBAN, sebuah MUKZIZAT.
Dan Mukzizat ini telah menghantarkan kami menunggu kehadiran Putra kami yang pertama.


IKHLAS DENGAN AKTIF
Ikhlas dengan aktif berarti menerima keadaan dan kenyataan yang kita hadapi sekaligus berusaha mencari solusi dalam menyelesaikan masalah atau problem yang terjadi, bukan berdiam diri.
Ketika kita tersandung dan terjatuh dalam hidup ini, kita akan merasakan sakit, konsep pemikiran IKHLAS dengan Aktif mengajak kita menyadari bahwa kita telah jatuh dan kita sakit karenanya (bukan malah mengingkarinya, bukan malah menolak sakit tersebut, bukan mencari-cari sebab kejatuhan secara berlebihan, bukan mencari kambing hitam untuk disalahkan atau malah melarikan diri dari tanggungjawab atas permasalahan tersebut), ketika kita menerima kenyataan tersebut sebagai bagian dari kehidupan kita yang tak terpisahkan dari kita, kita menerima kenyataan tersebut dengan tidak meratapinya, maka kepasrahan kita ini akan membuat sakit hanya sebatas SAKIT saja, tidak berkembang menjadi berlipat-lipat akibat penolakan kita, tidak berkembang menjadi berkali-kali akibat ketidakmampuan kita menerima hal tersebut. (Pasrah aktif bukan membiarkan luka kita tanpa diobati dan bernanah kemudian)
Yang perlu kita lakukan setelah menyadari rasa sakit itu hanya satu, OBATI. Berikan obat dan selanjutnya biarkan waktu yang bekerja menyembuhkannya secara alami, tidak dipaksakan. (Ada kalanya satu-satunya obat untuk permasalahan itu adalah PENERIMAAN, Keikhlasan itu sendiri)

Maka sekali lagi, kolaborasi antara Keikhlasan dan aktivitas pengobatan yang kita lakukan akan mendatang Keajaiban, mendatangkan Mukzizat dalam hidup kita.
Mendatangkan Sang buah hati yang kita dambakan.

Selamat Mencoba!

I Love You, Mom

Sebelum kita berbicara lebih panjang lebar tentang Hari Ibu, sebelum kita berbicara lebih lanjut mengenai betapa besarnya kasih bunda, sebelum kita mengklaim betapa kita juga mencintai mama, mari kita lakukan percobaan sederhana di bawah ini.

Kalau kita ditanya “Apakah Anda mencintai Mama?”, maka saya yakin semua akan menjawab dengan lantang, penuh percaya diri “Saya mencintai Mama, bahkan saya sangat mencintai beliau” Nah, sekarang mari kita mulai percobaan ini.

Percobaan “I Love You Mom”
Sekarang coba temui Mama, lihat matanya dengan kasih, lalu katakan “I love You Mom” (Kalau perlu cium pipinya atau peluk dirinya)
Apa yang kita rasakan pada saat itu? Dapatkah kita melakukannya tanpa beban? Apakah Anda malah tertawa karena tak terbiasa dengan adegan yang menurut Anda kesannya “terlalu sentimentil”, atau pada saat ini Anda malah sudah merinding membayangkan untuk melakukan hal itu?. Untuk hal yang sederhana ini, mari kita simpan jawaban ini untuk diri kita masing-masing, kita tak usah mengatakan apa-apa, cukup menyadari bahwa betapa cinta kita tidak sebanding dengan kasih Ibu yang telah membesarkan kita.
Sebagai pembanding, ketika kita dulu berada dipelukkan mama, Mama tak henti-hentinya mencium kita, memeluk kita, menyatakan cintanya tanpa segan-segan, lalu melalui percobaan sederhana ini kita seakan dihadapkan pada sebuah cermin besar yang memantulkan intensitas cinta kita pada Bunda yang penyayang. Redupkah cinta kita?

Sebagai pembanding lain, beberapa waktu lalu saya mendapati sebuah email yang bercerita tentang kasih Ibu, izinkanlah saya membuka email ini untuk kita semua dengan versi yang berbeda.

Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.
Ketika untuk pertama kali kita tampil di dunia ini, Mama telah berjuang keras menahan sakit, mengerang selama beberapa jam bahkan kadang berhari-hari, dan sebagai balasannya kita lahir dengan tangisan keras. Semenjak hari itu, cacatan panjang pengorbanan bunda tertulis dalam sejarah hidup kita, kita kadang kadang lupa bahkan sengaja melupakanya. (Hal ini semakin jelas, ketika kita kelak menantikan kelahiran anak pertama kita, kita akan segera tahu bahwa sungguh satu pengorbanan yang besar ketika seorang ibu mengandung selama 9 bulan lamanya, ada satu perjuangan yang luar biasa untuk menanti kelahiran buah hatinya)
Mari kita flash back dan bandingkan dengan apa yang kita lakukan untuk bunda kita, melalui sebuah cerita kehidupan si kecil yang kini telah bernama Kita.

Ketika bayi kecil itu dilahirkan, Mama dengan welas asih membasuh tubuhnya, membersihkan muntahannya, lalu sebagai balasannya si bayi kecil merengek sepanjang hari, dan sang mama pun harus terjaga dan berusaha meninabobokannya.
Ketika bayi kecil itu bertumbuh dewasa, Kita malah takut dengan muntahan mama, alasannya simple saja “Jijik”, Kta malah menyuruh pembantu untuk membersihkannya untuk Kita.

Selanjutnya mama mulai mengajari si kecil “Bagaimana cara berjalan?”, waktu itu si kecil malah kabur ketika beliau memanggilnya.
Lalu ketika si kecil sudah beranjak dewasa, dan sang mama sudah rentan serta tak mampu untuk berjalan, Kita malah tak punya sedikit pun waktu untuk membawa beliau melihat pemandangan luar, Kita malah mengurungnya di kamar dengan alasan “KESELAMATAN”, Kita malah membiarkannya sendiri dalam kamar.

Si kecil juga kemudian disuapin dengan makanan yang bergizi dengan kasih sayang, sebagai balasannya si kecil yang nakal ini malah membuang piring berisi makanan ke lantai, lalu dengan sabar mama kembali menyuapinya kembali.
Ketika si kecil telah dewasa, dan ketika mama yang telah tua menjatuhkan piringnya tanpa sengaja, Kita segera mengantikan piring-piring kaca itu dengan piring plastik yang paling murah agar tidak pecah berantakan ketika terjatuh kelak, Kita malah membiarkan mama menyuapi diri sendiri dengan tangan gemetaran.

Di usianya yang ke-4, mama memberikan pensil berwarna untuk si kecil, sebagai bentuk kreatifitas si kecil malah mencoret-coreti tembok rumah dan meja makan, berikutnya mama malah memberikan sebuah kamar cantik, lengkap dengan papan tulis di sana.
Lagi-lagi ketika si kecil telah didewasakan oleh waktu, kamar Mama malah tak pernah direnovasi, mama malah harus cukup puas tidur di kamar yang pengap dan gelap.

Di masa kecil kita, Mama juga tak pernah lupa memberikan baju-baju yang mahal dan indah, terutama ketika hari raya atau hari ulang tahun kita, tapi si kecil yang nakal malah memakainya bermain di kubangan lumpur. Mama juga pernah memberikan bola kaki, lalu si kecil malah melemparkannya ke jendela tetangga.
Ketika Kita telah dewasa, Kita malah lupa memberikan kado yang indah pada mama di hari ulang tahunnya, bahkan kalimat “Selamat Ulang Tahun, Ma” pun tak pernah Kita ucapkan padanya.

Di usia ke-6, Mama mengantar si kecil ke sekolah, sebagai balasan si kecil malah berteriak “Nggak Mau”, lalu selanjutnya Mama harus membayar mahal untuk kursus-kursus pendukung pendidikan Kita, sebagai balasannya Kita malah sering bolos dan tidak mau belajar sama sekali.
Anehnya, setelah Kita dewasa, ketika Kita gagal dalam pendidikan, Kita malah menyalahkan Mama yang terlalu mencampuri urusan belajar Kita. Dan ketika berhasil pun Kita sering lupa menyebutkan jasa bunda yang telah menyekolahkan Kita.

Ketika Kita diminta mama membersihkan rumah, menyuci pakaian, melap meja makan, Kita yang mulai beranjak remaja malah menagih BIAYA service selama membantu mama, sebagai balasannya mama lalu memberikan sebuah bon pelunasan atas service-nya selamanya, mama katakan bahwa apa saja yang mama berikan selama ini, termasuk mengandung selama 9 bulan, memasak, memandikan, dan service-service lainnya adalah GRATIS.

Saat Kita remaja, Kita di antar mama ke mana saja, dari kolam renang sampai pesta ulang tahun, sebagai balasannya Kita melompat keluar dari mobil tanpa memberi salam, bahkan sampai saat ini, Kita tak pernah meminta izin mama ketika hendak keluar, Kita tak pernah menyapa Mama ketika pulang.

Bahkan di ulang tahun Kita yang ke-17, Kita malah berpesta pora dengan teman sampai larut malam, sementara mama menunggu dengan cemas, ditemani kue ulang tahun yang belum dinyalakan, padahal tepat 17 tahun lalu Mama berjuang keras dalam proses kelahiran Kita.

Ketika Kita lulus dari SMA, Mama menangis terharu, ia ingin memeluk Kita merayakan kelulusan itu, sebagai balasannya Kita malah berpesta dengan teman-teman sampai pagi, dan ketika untuk kali pertama Mama mengantar Kita ke kampus, Kita malah melarangnya, alasannya “Malu dilihat teman-teman”, Dan celakanya, sampai hari ini pun Kita masih malu ketika bersama dengan Mama.

Setelah Kita lulus dari perguruan tinggi, Mama membantu Kita mencarikan pekerjaan yang baik untuk Kita, sebagai balasannya Kita malah meremehkan pekerjaan tersebut. Kita malah meminta Mama menjual rumah yang “Terlalu Besar“ itu, sebagai gantinya Mama harus pindah ke rumah kecil di pinggiran kota, lalu sisanya dijadikan modal untuk usaha. Kita berjanji akan membelikan Rumah yang lebih megah kalau usahanya berhasil.
Nyatanya, setelah bisnis berjalan lancar, Mama masih tinggal di rumah kecil di pinggiran kota, alasannya dananya telah dialokasikan untuk “Biaya Pernikahan”

Mama pun bersuka cita menyambut pernikahan itu, malah Mama dengan senang hati membantu membiayai pernikahan itu, sebagai balasannya kita malah membeli sebuah rumah baru yang jaraknya lebih 500 km dari rumah Mama.

Pada kelahiran putra pertama, Mama segera menjual rumahnya di pinggiran kota untuk tinggal bersama dan menjaga cucu pertamanya, tapi sebagai balasannya lagi-lagi Kita malah tempatkan beliau di rumah panti jompo, alasannya, “Agar di sana ada yang menemaninya, Kita terlalu sibuk dengan urusan kantor, dan cucunya ada baby sister yang menjaganya”

Suatu hari, Mama yang kesepian menelepon Kita dan memberitahukan kalau ada pesta dari salah satu saudara dekatnya, sebagai balasannya Kita malah pergi sendiri dan membiarkan Mama kembali duduk dalam kesendiriannya.

Di usianya yang kian larut, Mama mulai sakit-sakitan dan memerlukan perawatan khusus, Kita malah tak punya waktu untuk berkunjung karena SIBUK, untuk membawanya ke rumah Kita takut setelah membaca tentang pengaruh negative orang tua yang numpang tinggal di rumah anaknya.
Dan hingga SUATU HARI, dia meninggal dengan tenang, tiba-tiba saja Kita teringat dengan semua yang belum pernah kamu lakukan, dan itu menghantam HATIMU bagaikan pukulan godam

Mari, sekali lagi kita baca riwayat sang Mama dan anaknya yang bernama Kita,
Apa tanggapannya? “Apakah Sang Kita itu GUE BANGET?”
Bukankah si Kita itu hampir mirip dengan kita dalam keseharian? Saudaraku, jangan sempat ketika kita menyadarinya, semuanya telah terlambat, kala itu kita hanya mampu mengucapkan “I Love You, Mom” lewat doa atau mimpi kita saja, pelukan hangat Mama hanya bisa kita rasakan lewat pembayangan saja.

Mungkin ada yang bertanya, suatu hari ketika kita telah berkeluarga, Jika jumlah kasih sayang kita adalah 100%, bagaimana cara kita membagikan kasih sayang kita pada Mama, Papa, Istri dan Anak serta lainnya. Maka jawabannya adalah 100%, 100%, 100%, 100% dan 100%, karena cinta tak akan berkurang sedikitpun ketika dibagikan. Cinta seperti nyala dari sebuah lilin, ketika nyala itu kita bagikan kepada yang lain, intensitasnya tak akan berkurang sedikitpun malah ruang akan semakin bercahaya oleh nyala lilin-lilin tersebut.

So, semasa masih ada waktu, semasa Mama masih di samping kita, katakan padanya saat ini “I Love You, Mom”, dan wujudkan cinta kita tidak hanya dalam kata, tapi juga perbuatan, dan andai Anda seperti saya yang telah lama merindukan Mama (Saya enggan memakai kata kehilangan, karena saya selalu merasa Mama ada di hatiku, dan aku tak merasa telah menghilangkannya), setidaknya kita masih dapat bertemu dengan Mama lewat doa atau mimpi, dan Mama akan hadir dalam setiap langkah kita yang didasari dengan cinta kasih.

Salam peluk dan cium untuk Mama-mama semua.
I Love You, Mom!

Miracle of Love

Keajaiban !
Jika kita bicarakan mengenai keajaiban, maka benak kita akan menerawang jauh ke dunia penuh kejutan. Mungkin di pikiran kita akan segera terisi oleh bayangan seorang ilusionis yang berjalan menembus tembok atau terbang melayang di angkasa. Mungkin juga transformasi seorang nenek menjadi gadis cantik. Ketika kita kumpulan semua yang ada di benak kita saat ini dan bayang-bayang keajaiban yang ada di dalamnya, kita akan segera mengetahui ada keajaiban besar yang terlupakan oleh kita.
Ilustrasi di bawah ini mungkin akan mengingatkan kita kembali pada keajaiban tersebut.

Di sebuah ruang kelas, sekelompok anak sedang mendapat tugas untuk menuliskan 7 keajaiban dunia. Mereka mulai menuliskan satu persatu keajaiban dunia yang mereka dapatkan dari pelajaran geografi, mulai dari Piramida di Mesir sampai dengan The Great Wall di China. Tampak seorang bocah yang sepertinya kebingungan dengan tugas tersebut, Sang Guru pun bertanya padanya “Apakah ada kesulitan dalam daftar itu?” Bocah itu lalu berkata “saya kesulitan untuk memilih 7 dari sekian keajaiban yang ada.”
Lalu Sang Guru kembali bertanya “Apa itu nak?”
Sang Guru terhenyak sejenak, dia sungguh terkejut ketika ia melihat apa yang ada di daftar panjang Bocah kecil itu, ia juga seperti kita melupakan keajaiban-keajaiban kecil.
Di daftar itu tertera hal biasa yang luar biasa, “BISA MELIHAT, BISA MENDENGAR, BISA TERTAWA, BISA TERSENYUM, BISA MERASAKAN, BISA MENGASIHI dan BISA MENCINTAI” adalah keajaiban.

CINTA KASIH adalah salah satu keajaiban kecil yang akan kita bicarakan.

Kasih adalah satu keajaiban Alam terbesar, kekuatannya mengikat dan merekat kita dalam kebersamaan untuk membangun kedamaian dan kebahagian.
Kasih membuat kita saling menghargai dan menghormati, kasih membuat seorang Ibu merelakan dirinya untuk kebahagiaan anaknya, kasih membuat dua kubu yang bermusuhan untuk saling berjabat tangan, Kasih pula yang membuat dunia ini tidak terjerumus dalam perang dunia ke tiga sampai saat ini.
Bayangkan betapa ajaibnya kekuatan Kasih yang tumbuh dalam diri kita untuk membendung datangnya zaman kegelapan.

Syair ini akan mungkin akan membuka mata hati kita.

Janganlah memperdaya orang lain atau menghina siapa pun, di mana pun.
Dalam kemarahan atau kebencian janganlah ia berniat melukai orang lain.
Seperti seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya, Sekalipun mengorbankan hidupnya,
Seperti itu juga, biarlah ia menumbuhkan kasih yang tak terbatas terhadap semua makhluk.
Kasih pada dasarnya adalah proses memberi, suatu proses tanpa pamrih, tanpa memungut bayaran dan tanpa memilih.

Saya pernah melihat “Talk show – Oprah” di sebuah stasiun televisi yang menguak tentang kehidupan para istri muda (karena usianya memang sangat belia, bahkan masih tergolang anak-anak) di Ethopia. Karena kondisi tubuhnya yang masih belia dan faktor fasilitas kesehatan yang kurang, mereka harus menderita suatu penyakit ketika terpaksa harus melahirkan. Mereka kemudian ditelantarkan. Tapi berkat ulurkan tangan beberapa orang para dermawan, mereka akhirnya dirawat di sebuah rumah sakit dan mereka menemukan kebahagiaan mereka kembali. Ada air mata kebahagian ketika mereka dirangkul dalam kebersamaan.
Air mata saya sempat ikut mengalir perlahan menuruni pipi ini, mungkin ada yang mengatakan saya cenggeng, tapi ada perasaan luar biasa yang mengalir bersama kehangatan air mata itu.
Perasaan yang jauh berbeda ketika air mata itu harus jatuh karena kesedihan.
Saya sebut air mata itu, air mata Kasih.
Hanya keajaiban kasih yang mampu membuat air mata ini turun dan menghangatkan perasaanku dengan luar biasa mesranya.
Mungkin kita semua pernah merasakan perasaan ini, mungkin juga banyak di antara kita yang telah melupakannya. Saat ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengingatnya kembali.

Atas nama Cinta, seorang pemuda pecandu rokok dapat membuang kebiasaan jeleknya. Bukankah itu luar biasa indahnya. Sesuatu yang dimulai dengan Cinta, akan berakhir dengan keindahan, kedamaian dan kebahagiaan.
Tapi, berhati-hatilah dengan Cinta Semu (baca Napsu), karena ketika hal ini muncul, ia akan berakhir dengan permasalahan. Pada cinta semu, yang muncul ada EGO.

Ketika kita diberi pertanyaan “Manakah yang kita pilih, lebih baik memberi atau lebih baik menerima?” Jika pilihan kita adalah memberi, kita sesungguhnya adalah insan yang KAYA, karena orang KAYA-lah yang mampu memberi, orang yang kaya akan KASIH yang mampu merelakan bagiannya bagi orang-orang yang di sekitarnya, terutama bagi orang-orang yang dikasihinya. Dan untuk menumbuhkannya, marilah kita mulai dari Rumah. Mari kita tanamkan pada Ayah, Ibu, saudara-saudara kita, pada anak-anak kita, pada pasangan hidup kita.

Sehingga dari sana akan timbul keajaiban-keajaiban kecil, yaitu kebahagian dan kedamaian yang datang terbawa oleh gelombang kasih sayang.

Jika setiap Rumah membuat keajaiban-keajaiban kecil di dalamnya, maka dengan berpegangan tangan, kita akan bersama-sama membuat satu keajaiban besar yang luar biasa indahnya. Kita akan menciptakan SURGA di dunia.

Mimpi?
Ya, tapi akan menjadi KENYATAAN, jika kita semua menginginkannya.

Law of Love

Mari kita kembali bicara mengenai cinta, mengenai Hukum 100 % tentang Cinta.

Jika besarnya Cinta dalam diri kita adalah 100% (kekuatan penuh), maka berapakah komposisi ideal yang harus kita bagi untuk diri kita sendiri dan orang yang kita cintainya (pasangan hidup kita misalnya)

Pilihan pertama kita adalah 80% - 20% (Cinta bagi diri kita sendiri – Cinta untuk pasangan)
Pilihan ini menunjukkan bahwa kita lebih mencintai diri kita sendiri dibandingkan dengan cinta kita pada pasangan kita (atau orang lain yang kita kasihi), komposisi cinta seperti ini kurang ideal karena perasaan egois dan mau menang sendiri akan lebih bermain di sini, cinta yang dibangun dengan komposisi seperti ini cenderung hanya akan mendatangkan konflik. Kita menjadi tak segan-segan menyingkirkan orang lain demi kepentingan kita.

Lalu bagaimana dengan pilihan 20% - 80% ?
Kebalikannya, mencintai orang lain di luar diri kita adalah baik, tapi jika kita tidak mencintai diri kita sendiri juga adalah petaka. Berapa banyak teman kita yang terjerumus dalam Narkoba? Yang harus menderita karenanya, Itu adalah salah satu contoh rendahnya prosentasi cinta pada diri sendiri. (Yang selanjutnya akan meruntuhkan cinta kita kepada orang lain)
Atau seorang ibu (orang tua tunggal) yang tidak memperhatikan kesehatannya berjuang mati-matian untuk menghidupi kedua anak yang dicintainya adalah contoh berikutnya. Lalu apa yang salah? Ketika sang ibu tidak memperhatikan cintanya pada diri sendiri, maka ibarat mesin yang tak pernah diurus, suatu saat akan rusak juga. Akan lebih terasa lagi ketika kerusakan itu terjadi pada saat produktifitas sang ibu ini masih sangat dibutuhkan untuk menopang hidup keluarga tersebut. Pada saat itu, sang ibu bukan saja membuat dirinya sendiri menderita, tapi juga kedua anaknya yang sangat ia kasihi (yang diklaim melebihi kasihi terhadap diri sendiri).

Apakah komposisi ideal itu 50% - 50% ?
Supaya adil, mungkin ini alasan kita memilih komposisi ini.
Lagi-lagi komposisi seperti ini juga tidak ideal, kita tidak maksimal dalam mencurahkan cinta, baik bagi diri kita sendiri ataupun bagi orang lain.

Lilin Cinta
Sebelum kita menemukan komposisi ideal itu, mari kita katup mata kita, kita biarkan diri kita dalam keheningan. Kita bayangkan bahwa saat ini ada kegelapan yang menyelimuti kita, tak ada setitik cahaya pun yang menerjang memasuki ruangan itu. Lalu di tangan kita ada sebuah lilin kecil yang memancarkan cahaya, menerangi ruangan itu.
Jika kita tidak sendirian di ruangan itu, jika di ruangan itu masih ada yang lain dengan masing-masing memegang sebatang lilin kecil, akankah kita membagikan nyala lilin yang ada di tangan kita?
Semua mungkin akan mengatakan YA.
Lalu kenapa kita mau melakukanya?
Alasannya, karena ketika kita membagikan nyala (cahaya) itu kepada yang lain, cahaya lilin kita tidak berkurang itensitasnya, tidak sedikit pun. Bahkan ruangan akan semakin bercahaya dengan nyala lilin-lilin yang lain, ruangan akan semakin terang karena kita telah berbagi dengan sesama.

Seperti cahaya lilin itulah Cinta, cinta tak akan berkurang sedikitpun intensitasnya ketika dibagi dengan sesama, bahkan cinta akan bersemi dan semakin berkembang, jika masing-masing dari diri kita menyalakan lilin-lilin itu dan kembali membagikannya pada yang lain. Maka dunia akan diterangi oleh cahaya Cinta.
Dan ketika kita ditanya kembali, berapa komposisi ideal untuk sebuah Cinta?
Maka dengan mantap kita menyatakan 100% - 100%

Pertanyaan terakhir, berapa komposisi ideal untuk sebuah cinta yang dibagikan untuk diri kita sendiri, ayah kita, ibu kita, suami/istri kita, anak-anak kita, saudara kita, family kita, teman kita bahkan musuh kita.
Maka jawabannya adalah : 100 %, 100 %, 100%, 100%, 100 %, 100 %, 100%, 100%, 100%
Karena Cinta tidak akan berkurang sedikitpun ketika dibagikan untuk yang lain, bahkan ia akan semakin bersemi seperti cahaya lilin yang kita bagikan untuk yang lain, ia akan mencahayai dan menerangi dunia.

Bunuhlah Aku

Benar!
Bunuhlah AKU jika tidak ingin menderita, atau setidaknya lepaskan AKU agar menjadi milik dunia.

Mungkin Anda bingung, tapi mari kita melakukan percobaan sederhana di bawah ini,
Apa reaksi Anda jika ada “Sepeda motor yang hilang ?”
Anda mungkin akan menjawab itu adalah hal biasa, dan terjadi hampir setiap hari di negera ini. Anda bahkan mungkin tidak bereaksi sama sekali.
Tapi, coba Anda lakukan sekali lagi, kali ini tempatkan diri Anda sebagai “Orang pertama tunggal”
Dan sekarang mari kita lihat reaksi kita ketika “Sepeda motor-KU yang hilang”
Apakah Anda masih bisa berkata biasa saja dan tak beraksi?
Saya ragukan hal tersebut, mungkin waktu itu Anda mengutuk habis orang yang telah menghilangkan sepeda motor Anda, menuding semua yang mungkin terlibat di dalamnya.

Satu akhiran yang begitu powerful, setiap benda yang tersentuh oleh akhiran “KU” segera mengikat kita dan menjadi sumber penderitaan kita. Kita sering bertikai gara-gara AKU, memperebutkan kepemilikan sah dari akhiran itu. (bahkan saling melukai karenanya)

Sebuah buku ketika berubah menjadi buku-Ku akan segera meninggalkan luka ketika kelak benda tersebut tergores, hilang atau musnah. (bahkan semua benda, tanpa terkecuali)

Sebaliknya ketika mobilku baru saja dijual kepada orang lain (melepas akhiran-Ku), dan setelahnya mobil itu rusak berat karena tabrakan. Pada saat itu, bukankah kita tidak merasakan derita akibat kerusakan tersebut. (mungkin kita hanya sekedar simpati pada orang lain)

Kesempatan membunuh AKU mungkin tidak kita dapatkan saat ini, tapi setidaknya kita dapat belajar melepaskan Aku, biarkan rumah tetap menjadi rumah, mobil tetap menjadi mobil dan buku tetap menjadi buku, tanpa akhiran Ku.

Mari kita mulai dengan praktek “Memberi”, karena dengan memberi kita belajar melepaskan AKU menjadi milik dunia, bukan milik satu pribadi saja, karena dengan memberi kita belajar untuk mengurangi dosis derita.


(Nb. Uluran tangan kita kepada saudara-saudara yang mengalami bencana alam menjadi salah satu opsi sederhana dalam praktek “Memberi”)

Mari kita belajar “Memberi untuk Dunia ini” karena terlalu banyak yang telah kita ambil darinya.
Dan dunia ini akan indah tanpa AKU (Sang EGO)

Belajar dari Sebuah Bakpau

Inilah letak keindahan hidup ini, ketika kita mengali dan belajar dari hal-hal sederhana seperti dari sebuah bakpau.

Sore itu, istri saya sedang ngidem makan bakpau (maklum, kami memang sedang menunggu kedatangan calon bayi pertama kami, dan sang janin sudah berada di kandungan bundanya sekitar tujuh bulan, ngidem seakan menjadi ritual menjelang kelahirannya), dan kami pun membeli sebuah bakpau untuk memenuhi ritual tersebut.

Bakpau itu kemudian kami bawa pulang dan diletakkan di meja makan sambil menunggu waktu puncak dari ngidem tersebut tiba.
Setelah waktu berlalu sekitar dua jam, istri saya mendengar ada aktivitas di ruang makan, ketakutannya segera muncul, “Jangan-jangan bakpau itu di makan oleh abang” dan ternyata Benar, ketika istri saya ke ruang makan, bakpaunya di tangan abang sudah tinggal setengah.

Sejenak kupikir bakalan terjadi perang dunia ketiga.

Ternyata dugaanku salah, dan aku mensyukurinya.

Istriku dengan enteng mengatakan “Ya, sudahlah, Nanti malam saya minum Milo saja”
Blink ! Blink ! Blink!

Istriku telah berhasil belajar untuk MEMBERI, Istriku telah berhasil mengalahkan rasa ngidemnya yang luar biasa. Istriku telah memilih untuk menjadi orang BAHAGIA.

Tak gampang untuk memberi ketika kita sendiri punya keinginan begitu kuat untuk memilikinya, dan istriku berhasil melakukannya lewat sebuah bakpau.

Mungkin kita bisa mencoba bersama.

Perahuku

Pernah menaiki perahu? Kapal laut atau sejenisnya?
Perahu, dapat digerakkan oleh alam, dapat pula digerakkan oleh kekuatan sang pendayung.
Tak peduli apakah perahu tersebut bergerak oleh salah satu kekuatan itu atau kolaborasi di antaranya, yang jelas perahu itu harus diarahkan oleh seorang nahkoda, atau ia akan kehilangan arah dan tersesat tanpa mencapai tujuannya.

Dalam menyeberangi lautan luas, gelombang laut menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya, kadang ada gelombang besar yang datang, kadang hanya berupa riak-riak kecil yang mengelitik.
Perahu tanpa nahkoda akan terhempas, rusak bahkan karam ketika badai menerpa.

Perahu Tempatnya adalah di Air
Kekuatan Alam seperti badai dan gelombang besar adalah tak terelakan, perahu harus menghadapinya bahkan ketika ia tidak berkeinginan bergerak sama sekali, atau bahkan pada saat berdiam diri di pelabuhan sekalipun. Itulah hukum alam, Perahu tempatnya adalah di Air, dan air selalu mengandung gelombang dan riak-riak kecil.

Alam kadang bertindak sebagai pengerak. Angin dan arus laut akan membuat perahu melaju dengan kencang. Pada saat itu, nahkoda akan membuat perahu tetap terarah dan tidak terbawa arus, kecepatan perahu itu harus dikendalikan, laju yang terlalu kencang tanpa terkendali kadang akan mencampakkannya bahkan meremukannya.

Alam kadang juga bertindak sebagai “Obstacle” Pada saat inilah, kemahiran nahkoda dalam mengendalikan perahu diuji, Kemampuan menggabungkan keahliannya dan pengetahuan alam menjadi sangat penting. Kesalahan yang kecil sekalipun pada saat badai menerpa akan segera menghancurkan perahu itu berkeping-keping.

Metamorphosis
Dengan semakin bertambahnya “Jam terbang”, perahu akan semakin kokoh dan mengalami metamorphosis, perahu kayu yang lemah akan segera menjadi kapal laut yang besar, yang lebih stabil, yang lebih tahan menghadapi gelombang besar, yang lebih mampu menampung impian-impian luar biasa, lengkap dengan alat-alat navigasi yang canggih, dengan baling-baling penggerak, dengan system operasional yang jauh lebih baik. Dan yang tentunya dengan nahkoda yang jauh lebih berpengalaman. Perahu itu akan di-Up grade dari masa ke masa.

Disiplin
Dalam menyeberangi lautan lepas, perahu itu akan membawa penumpangnya. Nahkoda selain mengarahkan perahu tersebut, ia juga harus mampu mengendalikan penumpangnya. Ia harus berhasil menjinakkan penumpang liar, bahkan menurunkan mereka yang tak mau bekerjasama dengan sang nahkoda. Disiplin harus ditegakkan, jika ia tak ingin perahunya oleng dan terbalik oleh keliaran penumpangnya.

Kembali ke dunia nyata, jika perahu itu adalah diri kita maka kita sendiri pula yang menahkodainya, kita diberi kuasa penuh untuk mengendalikan diri kita sendiri, mendisiplinkan diri kita sendiri, dengan memberanikan diri membuang penumpang-penumpang liar yang ada di pikiran kita, membuang energi-energi negatif yang mencoba berkembang.
Agar kita menjadi perahu besar yang kokoh dan kuat dalam mengarungi lautan kehidupan.

Salam Sukses Selalu