Rabu, 17 Desember 2008

Persepsi Si Mata Satu

Seperti biasa, malam menjelang tidur aku selalu mengambil sebuah buku untuk menemaniku, dan malam itu ternyata terpilih sebuah buku spiritual yang bercerita tentang “Si Mata Satu”. Yang menarik dari cerita ini adalah pada saat alur itu berjalan seketika kisah itu berubah menjadi CERMIN.

Dikisahkan ada sebuah sekolah yang terkenal dalam menanamkan kekayaan mental bagi murid-muridnya. Suatu hari sekolah tersebut kedatangan “Tamu Agung” dari kerajaan tetangga yang hendak mempelajari keunikan ilmu sekolah tersebut. Karena kesibukannya, sang kepala sekolah segera menyerahkan acara penyambutan ini kepada murid junior yang kebetulan bermata satu. Sang kepala sekolah meminta murid itu menemani dan melayani tamu tersebut sampai beliau menyelesaikan kesibukannya.

Tamu Agung yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, murid bermata satu itu segera membungkukan badannya untuk menyambutnya. Bungkukan badan itu segera dibalas sang tamu dengan mengacungkan tiga jarinya ke udara. Tak mau kalah, si mata satu membalasnya dengan acungan dua jari, yang kembali dibalas lagi dengan acungan satu jari oleh sang tamu. Akhirnya si mata satu mendaratkan sebuah tinju ke muka sang tamu, lalu tamu itu berlari meninggalkan tempat tersebut.

Cerita aneh ini membuatku penasaran untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana, lalu kutelususri kembali kisah itu.

Sang tamu dengan mata memar segera pulang menemui gurunya, di hadapan gurunya ia berkata “Guru, saya telah datang ke sekolah itu untuk mewakili guru melihat ilmu mereka, sungguh luar biasa, baru kali pertama saya mendapat pelajaran yang begitu dalam”
“Sebenarnya apa yang terjadi muridku?” Tanya Sang Guru
“Begitu tiba, saya segera disambut dengan bungkukan badan tanda dimulainya acara uji pengetahuan, lalu saya mulai dengan membuka topik dengan menunjukkan tiga jari ke udara, yang menyatakan bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang, lalu ia membalasnya dengan menyatakan bahwa sebenarnya yang penting adalah saat ini dan masa yang akan datang (2 jari), sedangkan masa lalu adalah sejarah yang tak dapat lagi diubah. Saya kembali menjelaskan bahwa sebenarnya masa lalu, kini dan masa yang akan datang adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan (1 jari), lalu sebuah tinju yang mendarat di muka mempertegas dan menyadarkan saya kalau yang terpenting adalah hidup Saat ini”
“Satu pembelajaran yang luar biasa mengenai hidup” katanya sekali lagi dengan terkagum-kagum walau dengan mata memar.

Sedangkan si mata satu, ketika bertemu dengan gurunya ia langsung berkata “Guru, orang itu sungguh kurang ajar, dari awal saya sudah mencoba menghormati dengan membungkukan badanku, ia malah membalasnya dengan mengatakan bahwa di ruangan itu hanya ada tiga mata, mentang-mentang dia memiliki dua mata sedangkan saya hanya memiliki sebuah saja, saya mencoba bersabar dan berkata kalau ia harus bersyukur karena memiliki dua mata, tapi lagi-lagi ia mengejekku dengan mengatakan saya si mata satu, waktu itu kesabaran saya sudah habis, lalu saya meninjunya. Untung ia segera belari meninggalkan sekolah ini, kalau tidak pasti sudah babak belur.”

Bukankah kita sering seperti kedua murid ini? Saling tidak memahami satu sama lain, masing-masing punya persepsinya sendiri.

Dalam suatu kesempatan, di sela ceramah minggu, saya pernah memperlihatkan sebuah kertas kepada audience yang saya klaim sebagai warna “biru”, tapi audience protes, mereka mengatakan kertas itu adalah berwarna “kuning”, masing-masing dari kami berkeras bahwa itulah warna kertas itu sesungguhnya, sampai saya dudukkan salah satu audience itu di sampingku.
Ketika kutanya kepadanya apa warna kertas itu, ia segera mengatakan “Biru”, sementara para audience yang lain masih berkeras dengan keyakinannya, sampai saya mengubah arah duduk saya sendiri, kali ini saya dan para audience duduk menghadap arah yang sama.
Ketika kuperlihatakan kertas itu kembali, mereka akhirnya juga setuju kalau kertas itu berwarna “biru” sekaligus juga “kuning” tergantung di sisi mana kita memandangnya.

Ternyata kertas itu memiliki dua sisi dengan warna yang berbeda.

Inilah yang terjadi pada kehidupan kita, kita sering berbeda pandangan, saling tidak memahami, saling tidak mengerti, sampai kita DUDUK BERDAMPINGAN, mencoba melihat dari kedua perspektif tersebut, mencoba melihat dari cara pandang orang lain.
Pada saat duduk berdampingan, kita menjadi saling memahami satu satu lain, saling mengerti, saling toleransi, dan kita dapat berangkulan dalam perbedaan. Itu yang dibutuhkan Negara kita saat ini.

Salam Pencerahan
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT. Arthamas Konsulindo Medan
PSDM Siddhi Medan
Sekretaris MBI Medan
Penulis Tetap di www.andriewongso.com

Tidak ada komentar: