Selasa, 21 Oktober 2008

Terang Ketika Listrik Padam

Saat ini listrik padam bukan lagi hal yang luar biasa bagi kita, pemadaman bergilir di berbagai daerah menjadi pemandangan yang lazim dalam keadaan krisis energi seperti saat ini.
Mungkin kita semua pernah mengalaminya, ketika kita asyik dengan kegiatan dan aktivitas kita, lalu tiba-tiba segalanya gelap. Kita kesal dan marah karena file yang sudah dibuat tidak sempat di-save dan harus memulai dari awal lagi, kita kesal karena pekerjaan kita terhambat karenanya, kita marah karena saat itu pandangan mata kita tidak dapat berkeliaran dengan bebas, sementara kita harus mencari cahaya baru, mungkin dari lilin kecil yang tersimpan entah di mana.

Selanjutnya kita mungkin akan meninggalkan pekerjaan kita yang belum selesai dengan kesal atau kita segera melakukan ritual penyalaan genset (atau malah kita senang, karena itu adalah salah satu alasan bagi kita untuk menghentikan aktivitas kita yang menjengkelkan)
Terlepas dari semua hal tersebut di atas, saya sendiri mempunyai pilihan yang lain, pilihan untuk menemukan penerangan dalam kegelapan, pencerahan dalam krisis global ini (tentunya, sambil menunggu listrik menyala kembali)

Ketika sebatang lilin telah dinyalakan, ada satu pertanyaan muncul dalam benakku, “Khok kita bisa sangat tergantung pada listrik? Mengapa aktivitas harus terhenti gara-gara listrik padam?
Mungkin inilah yang kita sebut dengan “KETERIKATAN”

Ketika kita dilahirkan di dunia ini, kita membentuk keterikatan-keterikatan dengan sekelilingi kita, dengan orang-orang bahkan dengan benda-benda. Akibatnya, ketika kita menjauh darinya, kita merasa kehilangan dan sangat kehilangan, akibat berikutnya sebagai rentetan peristiwa ini adalah kita akan menderita atas kebutuhan yang tak terpenuhi tersebut. Kita sakit karena untuk selang waktu tertentu ketika kita harus berpisah darinya, semacam kecanduan, hanya dalam bentuk kadar yang lebih rendah. Tapi itu saja sudah cukup membuat kita menderita karenanya.

Mari kita flash back kembali beberapa tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali Handphone diperkenalkan kepada kita, tak banyak merasa perlu memilikinya, tapi dengan berjalannya waktu dan atas nama KEMUDAHAN kita menjaring ikatan baru, kita menjadikannya sebagai salah satu kebutuhan, bahkan tidak lagi mengherankan jika kita melihat seorang penjual asongan sedang asyik memakai alat komunikasi yang dimilikinya itu.
Setelah sekian lama kita terikat olehnya, pernahkah suatu hari kita lupa membawanya? Dan apa yang segera muncul di benak kita ketika kita menyadari Handphone tersebut tertinggal di rumah? Apakah kita segera merasa sangat kehilangan, bahkan sering kali kita segera membelokkan arah mobil kita kembali ke rumah untuk mengambil HP yang tertinggal tersebut, padahal jarak yang kita tempuh sudah cukup jauh, padahal dulu kita cukup dengan telephone rumah atau pager. Dan sejauh itu kita tak pernah merasa begitu kehilangan seperti pada kejadian ini.

Inilah KETRIKATAN, selama kita membuat keterikatan-keterikatan baru dan ketika keterikatan itu harus rusak dan berpisah dari kita, kita akan menderita.
Dengan ditemani sebatang lilin dan dalam keheningan itu, saya kembali diingatkan bahwa kita sebenarnya yang memegang kendali untuk hidup ini, kita dapat mengurangi derajat “Kesedihan” kita atau kita membiarkan diri kita terus terjun lebih dalam dalam jurang derita.

Ketika listrik padam, kita dapat mengerutu atau mencari sebuah mesin tik untuk melanjutkan tugas mengetik kita, kita dapat saja kesal tapi kita juga dapat segera mengambil sebatang lilin dan menikmati cahayanya, kita dapat marah karena sinetron di televisi harus diakhiri tapi kita bisa saja cukup terhibur dengan suara merdu di radio.
Pembelajaran berikutnya adalah hal ini segera menyadarkan kita bahwa kita harus segera mencari alternatif sumber energi baru, mungkin saatnya kita memikirkan pemakaian cahaya matahari atau kekuatan air untuk menggantikan bahan bakar fosil yang kian menipis.
Penghematan menjadi salah satu solusi dan ini menyadarkan kita bahwa bumi semakin tua dan rentan, kita mesti menjaganya jangan sampai bumi ini tak kuasa menahan beban dan diekploitasi habis-habisan.

Dalam keheningan itu juga mengalir sebuah cerita lama yang membuatku menyadari bahwa suatu saat kita juga akan mengalami keterpisahan dengan ikatan itu, dan kita harus siap.
Konon, suatu hari seorang murid memecahkan cangkir kesayangan gurunya, segera si murid menemukan cara untuk memberitahukan hal itu kepada sang guru agar sang guru bisa menerima keadaan itu dan tidak memarahinya.
“Guru, apakah benar bahwa semua orang akan mengalami kematian?”
“Benar muridku, setiap yang dilahirkan akan mengalami kematian”
“Apakah berarti kematian itu adalah hal yang terelekan dalam hidup ini ?”
“Benar muridku, kita harus bisa menerimanya sebagai bagian dari kehidupan ini”
“Terima kasih atas bimbingannya guru, murid cuma mau kasih tahu bahwa cangkir guru sudah mengalami kematian tadi.”
Blink ! Blink ! Blink! Sang guru hanya bisa tersenyum kecut.

Pernah juga kudengar dari para bijaksana bahwa dengan praktek MEMBERI dapat mengurangi derajat keterikatan, dan ketika hal ini kulakukan ternyata “Benar”, saya bahkan merasa bahagia karenanya. Mungkin kita bisa mencobanya bersama-sama suatu saat.

Opps, lampu sudah menyala kembali!
Saya sudah harus kembali di depan komputerku, kembali ke dunia penuh keterikatan, yang perlu saya lakukan saat ini adalah menjaga-jaga agar keterikatan tidak sampai membuatku KECANDUAN.
Itu tidak baik untuk kesehatan bathin dan jiwaku.

Selamat mencoba.

Tidak ada komentar: