Rabu, 17 Desember 2008

Ratapan (Curiga) Anak Tiri

Mungkin kita sudah terlalu sering mendengar cerita sedih dari seorang anak yang dibesarkan oleh ibu tirinya. Sepertinya cerita ibu tiri selalu identik dengan KESEDIHAN, KETIDAKADILAN dan air mata.
(Disadari atau tidak, sejak kecil benih-benih “CURIGA” telah ditanamkan pada sosok seorang “Ibu Tiri”. Melalui media cetak maupun media elektronik, benih disusupkan lewat cerita-cerita, lewat sinetron, terlebih lewat berita penyiksaan “anak tiri “yang diekspos bukan oleh satu media saja, tapi hampir oleh seluruh media untuk satu kasus yang sama)
Lalu, cerita Ibu tiri sebagai seorang sosok Ibu yang Penyayang seakan lenyap oleh pemberitaan yang tak berimbang, lalu terciptalah sosok MONSTER atas restu bersama.

Lalu apa selanjutnya?

Apa yang ada dibenak kita, ketika suatu saat kita diberitahukan bahwa kita akan segera memiliki seorang Ibu Tiri? (Khususnya ketika kita masih sangat hijau, masih jauh dari kata mandiri)
Suatu Blokade ketat segera kita dirikan, segala macam perlindungan segera kita kenakan, kita segera memproteksi diri kita, kalau-kalau kita akan terluka nantinya oleh kemunculan seorang MONSTER.
Ketika pikiran kita mengidentifikasikan Ibu itu sebagai seorang Monster, maka sejak detik itu juga kita memperlakukannya seperti kehendak pikiran kita.
Kita segera memutuskan hubungan diplomasi bahkan untuk suatu hubungan yang belum sempat dibangun, tidak ada kata persahabatan, semua ucapannya harus ditantang dan ia tak lebih dari seorang musuh. Sekalipun ia berusaha mencairkan kekakuan, itu hanyalah trik untuk mengelabuhi kita. (Setidaknya itulah menurut kita dan kebanyakan orang)
Inilah beban yang harus kita pikul atas nama “CURIGA”

Ketika kecurigaan yang berlebihan itu datang, kita telah dilukai (secara mental) sebelum semua ketakutan itu terbukti kebenarannya. Anehnya kita lebih senang melukai diri sendiri sebelum orang lain melakukannya terhadap kita.

Seorang teman pernah bercerita tentang kisah “Petani yang kehilangan cangkulnya”
Cerita itu dimulai ketika Pak Tani mendapat tetangga baru, seorang pemuda berkaus oblong dengan wajah sangar, yang tidak pernah tersenyum dan selalu pulang larut malam. Pak Tani selalu memperhatikan gerak-gerik tetangga barunya itu. (Jangan-jangan seorang penjahat, pikirnya), ia selalu berkata pada istrinya “Lihat, tampang orang itu sangat mencurigakan”
Semua “TERBUKTI” ketika Pak Tani kehilangan cangkul barunya dan vonis segera dijatuhkan.
“Benar dugaanku, dialah yang telah mencuri cangkul baruku!”
Hari-hari berikutnya Pak Tani sibuk mengamati “si tertuduh”, ia bertekad menangkap basah sang pencuri cangkulnya. Tapi hari yang ditungu-tunggu tak kunjung datang, ia malah tersandung dan terjatuh ketika sedang asyik menjadi seorang detektif.
Benda yang menjadi sandungannya akhirnya mampu memunculkan bukti baru, bukti yang menyatakan bahwa sang pemuda TIDAK BERSALAH.
Pak Tani baru teringat bahwa ia lupa menyimpan cangkulnya ketika sedang menanam ubi di belakang rumahnya.

Ketika benih curiga ditanamkan, detik itu juga kita telah memperlakukan sang Suspect sebagai pelakunya, si pelaku yang telah dan akan terus melukai kita (pikiran kita segera mendefinisikannya sebagai musuh) Ketika pikiran itu telah menjatuhkan vonisnya, kita akan cenderung bertindak sesuai dengan keputusannya, sang Suspect adalah musuh. (dan musuh akan saling melukai)
Sejak itu pula, disadari atau tidak, kita akan melukai “tersangka” itu, dan ini akan memicu PERCEPATAN sang suspect menjadi musuh yang nyata atau bahkan memunculkan musuh yang sebelumnya tak pernah muncul. (Pikiran segera menarik apa yang kita pikirkan)
Cerita ini segera membungkam semua CURIGA yang ada pada temanku tadi, ia berhasil membangun kepercayaanku padanya.

Walau akhirnya ia juga berhasil melukaiku setelah pintu CURIGA runtuh, ada pelajaran yang menarik untuk direnungi dari kejadian tersebut.
Pertama, Setidaknya aku hanya perlu terluka sekali, yaitu pada saat ia melukaiku. (Daripada terluka dua kali : terluka pada saat curiga muncul dan terluka pada saat curiga menjadi kenyataan)
Kedua, setidaknya aku telah memberikan kesempatan pada sang suspect untuk tetap menjadi temanku, dan kesempatan untuk berubah pikiran, untuk tidak saling melukai.

Saatnya bagi kita untuk membuang rasa curiga di antara kita (ini yang sedang terjadi pada negera kita, kehilangan rasa percaya atas sesama), kita ganti rasa CURIGA menjadi WASPADA, terutama waspada atas tindakan kita terhadap orang lain, bukan orang lain terhadap kita.

Sebuah syair dari satu kitab kehidupan menjelaskan pada kita.
“Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan, maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak terluka. Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat”
Syair itu kembali dipertegas
“Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh sukar dicari”

Mungkin setelah kita mulai menyadarinya, Ratapan Curiga anak tiri tidak perlu ada lagi.

Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI

Tidak ada komentar: