Selasa, 21 Oktober 2008

Jatuh dengan Gaya

Setiap orang pernah jatuh, setidaknya saat kita masih kecil dulu, ketika kita baru belajar melangkah untuk pertama kalinya.

Adalah hukum alam, jika setiap benda yang naik akan jatuh kembali.
Semakin tinggi titik baliknya, maka semakin besar kerusakan yang akan dialami oleh benda tersebut.
Dan adalah kita salah satu contohnya.

Ketika kita dalam perjalanan ke puncak kejayaan segalanya terasa begitu indah, setiap detik seakan enggan kita lepaskan, dan ingin kita nikmati selamanya.
Tapi ketika titik balik telah tercapai, segalanya berubah, detik-detik kejatuhan pun segera tiba, jatuh adalah hal yang tidak mengenakan sekaligus hal yang tak terelakan. Pada saat itu kesiapan kita diuji.

Bayangkan apa yang akan terjadi jika pada saat kita naik di atas puncak tangga, tanpa sengaja tangga tersebut tersenggol dan kita terjatuh seketika karenanya. Kita mungkin akan terkilir, bahkan mengalami patah tulang. Sekarang, apa yang terjadi jika pada saat tersenggol, tangga masih berada dalam kondisi tidak stabil selama beberapa saat sebelum terjatuh. Kita mungkin tetap akan terjatuh, kita mungkin tetap akan merasa sakit.

Jadi, apa yang membedakanya?
Jawabannya adalah Kesiapan.
Ketika kita diberi waktu untuk menyadari bahwa kita akan jatuh, momentum tersebut memberikan kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan kejatuhan kita, dan pada saat tubuh kita menyentuh tanah, sakit mungkin akan segera menggigit kita, tapi kita telah siap untuk itu, kita telah siap untuk sakit, juga kesiapan untuk bangkit kembali.

Sekalipun kita tidak sempat mempersiapkan kejatuhan kita, itu bukan akhir dari segalanya.
Kita mungkin akan jatuh dengan keras, kita mungkin mengalami kehancuran yang jauh lebih berat, tapi kita masih sanggup untuk bangkit kembali jika kita mau.

Saya teringat akan kejatuhan yang dialami keluarga kami pada tahun 1999, tahun itu kami kehilangan segalanya (bisnis, mobil, rumah bahkan dengan isi-isinya), Orang tua ku ke Pekan Baru, sementara saya masih tetap di Medan menjalankan aktivitasku dengan sebuah sepeda motor yang kudapat dari gajiku sebagai seorang guru. Tapi ternyata kejatuhan itu masih terus berlanjut, beberapa bulan kemudian sepeda motor yang tinggal satu-satunya harus dimalingi orang. Saya sering mengatakan “Sudah jatuh, ditimpa tangga, dan diinjak-injak ke tanah”
Tahun itu, saya kehilangan pegangan, saya kehilangan kepercayaan, sampai suatu saat temanku mengembalikannya padaku.
Ia berkata “Jika engkau memiliki sepatu yang biasa saja, melihat orang yang memakai sepatu bermerek, mungkin kamu merasa iri, tapi kamu harus ingat masih banyak yang tidak sanggup membeli sepatu, mereka hanya memakai sandal jepit saja”
Ia kembali melanjutkan “Jika engkau memiliki sandal jepit saja, melihat orang yang memakai sepatu, mungkin kamu merasa iri, tapi kamu harus ingat masih banyak yang tidak sanggup mimiliki alas kaki” dan “Jika engkau berjalan tanpa alas kaki, mungkin kamu merasa iri dengan mereka yang memiliki sandal jepit, tapi kamu harus ingat ada yang sama sekali tidak memiliki kaki”

Pada saat itu saya benar-benar tidak siap untuk jatuh, kejatuhan itu menjadi begitu menyakitkan. Pada saat itu saya merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia, segalanya seakan telah berakhir, sampai seorang teman mengembalikan dunia ini padaku, lewat ucapannya.”

Kita memang pernah jatuh, mungkin sedang jatuh, atau akan jatuh.
Adalah lumrah jika kita mengalami, adalah lumrah jika kadang kita tidak tahu kapan datangnya, adalah lumrah jika kita sakit dan menangis karenanya.
Pada saat kita jatuh, kita hanya perlu menemukan sebuah tombol yang membangkitkan spirit kita kembali, mungkin seperti “Tombol” yang kutemukan pada untai kata-kata nasehat dari seorang teman.

Dan ketika memang harus jatuh, jatuhlah dengan Gaya. (seperti sebuah iklan rokok yang pernah saya lihat di TV : seorang lelaki terjatuh, kemudian dengan gaya break dance ia berdiri kembali, mungkin ia temukan “Tombol dalam bentuk lain”)


Salam Sukses Selalu

Tidak ada komentar: