Minggu, 31 Agustus 2008

DOA

Pada sebuah kelas, sekelompok murid-murid berkumpul untuk “belajar berdoa”

Mulailah doa pertama dilantunkan.
“Oh, Tuhan berikanlah kami kekayaan yang berlimpah, berikanlah kami kesehataan, kebahagiaan, kemakmuran dan umur panjang.”
Sang Guru berkata “Bagus, tapi jangan lupa untuk berterima kasih”


Lalu meluncurkan doa kedua.
“Oh, Tuhan terima kasih atas karuniaMu selama ini, terima kasih atas semua berkah yang Tuhan berikan kepada keluarga kami, terima kasih atas kesehatan, kebahagiaan, kemakmuran dan kekayaan yang kami nikmati selama ini. Berkahilah keluarga kami ini, jagalah agar kami tetap berada dalam karuniaMu.”
Sang Guru kembali berkata “Bagus”

Dilanjutkan dengan doa ketiga.
“Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa, Sang maha Adil dan maha Penyayang, terima kasih atas karuniaMu kepada kami selama ini, bimbinglah kami agar tetap berada dalam jalanMu.”

Semakin dilatih, doa itu semakin indah, murid-murid semakin tahu bagaimana cara berdoa, berucap syukur dan memuji kebesaranNya.

Bahkan dalam doa sederhana yang sekalipun
“Terpujilah Tuhan, terima kasih atas Karuniamu, berikanlah kekuatan untukku untuk dapat menjadi orang baik dan dapat senantiasa berbuat kebaikan”

“Bagus, sungguh bagus” kata Sang Guru

Sampai pada saat giliran terakhir, seorang murid muda maju ke depan dengan wajah berbalut peluh, ia nampak gugup dan gelisah.
Setelah lama ditunggu, akhirnya ia juga berdoa.
“a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k,l,m,n,o,p,q,r,s,tu,v,w,x,y,z, Tuhan aku tak pintar berdoa, tolong bantu aku susun huruf-huruf ini menjadi doa, karena Tuhan pasti tahu apa kata hatiku.”

Seisi kelas segera menertawainya, ia nampak makin gelisah dan gugup.
Sang Guru pun berkata “Doa yang terindah”

Seberapa sering ktia berdoa? Seberapa sering kita berucap syukur dan memuji kebesaranNya?
Yang pasti, pada saat kita diterjang masalah, kita tak pernah lupa untuk berdoa, memohon ampun dan meminta belas kasihNya. Bahkan pada saat itu, mereka-mereka yang tak pernah berdoa pun dapat menjadi seorang yang mahir dalam berkata-kata pada Tuhan. Kita sering muncul seperti seorang “Pengemis” yang meminta-minta penuh pengharapan.

Lalu, pada kita berada dalam kebahagiaan?
Kita sering lupa akan doa, kita lupa berucap syukur dan terima kasih padaNya.

Dan keindahan doa kadang hadir dalam bahasa-bahasa yang sederhana, bahasa-bahasa yang muncul secara spontanitas dari kedalaman jiwa, bukan dari seberapa pintar kita menyusun kata-kata, karena Tuhan akan mendengar dari hati kita, bukan dari mulut kita.

Don't Ask, Just Do it?

Don’t Ask, Just do it?
Ini bukan merupakan statement, karena dibelakang kalimat ini ada tanda tanya besar.

Pada berbagai kesempatan, kita sering melakukan sesuatu tanpa mempertanyakan kenapa hal tersebut harus dilakukan? Dapatkah hal itu tidak dilakukan? Dasar-dasar apa saja yang menjadi alasannya? Atau kadang-kadang pertanyaan itu malah harus dilempar jauh-jauh dari list yang akan dipertanyakan karena dianggap tabu.

Pada tradisi timur sering ditemukan “pantangan” dan “mitos” yang dibawa sampai generasi saat ini, sering kali ketika sebuah pertanyaan menyinggung kedua daerah itu, para penjaga tradisi itu akan segera mempertahankannya dengan alasan demi kebaikan kita sebaiknya hal itu jangan dilanggar kalau dilanggar bisa terjadi ini dan itu (yang kadang harus ditelan begitu saja, walau secara logika hal itu sulit diterima, tapi ketakutan akan hal-hal yang tidak diinginkan akhirnya memaksa kita mengikutinya juga)
Ketika mitos dan pantangan itu didengar dalam suatu statement, maka penyataan itu segera menyusup ke alam bawah sadar kita, suka atau tidak suka ketika hal itu terjadi, benih ketakutan segera tertanam dan pikiran kita segera meresponnya dalam bentuk pemagaran diri, takut akan terlukai kelak. Maka, selanjutnya kita akan dengan suka rela mengikuti aturan itu tanpa mempertanyakan lebih dalam lagi kenapa hal tersebut tidak boleh dilakukan atau kenapa hal tersebut harus dilakukan.

Tapi, kadang kala dari lubuk hati kita yang terdalam, ada keingintahuan yang sulit kita bendung, dan ada kalanya hal itu harus diketahui untuk mengubah sebuah paradigma lama yang sudah tidak cocok lagi dengan keadaan saat ini, seperti pada saat cerita kecil ini.

TIM AYAM
Temanku, Shelly memiliki kebiasaan unik ketika sedang membuat “tim ayam” specialnya, hal unik ini tidak terletak pada ramuan herbal yang digunakannya atau jenis ayam yang akan dimasaknya, hal unik ini justru terletak pada ritual yang dilakukan pada saat memasak tim ayam tersebut.
Setiap kali, ketika ayam itu hendak dimasukkan ke dalam ramuan, maka kedua paha ayam itu akan dipisahkan dari kesatuannya, dan dimasak secara terpisah dengan ramuan yang sama.
Ketika ia kutanya mengapa ia memasaknya secara terpisah, ia menjawab “Itu sudah menjadi kebiasaan keluarga kami, Shelly hanya mengikuti cara memasak ibunya dan mungkin inilah yang merupakan rahasia kenapa ‘tim ayam’ kami terasa istimewa”
Karena tidak puas dengan jawaban itu, saya pun menanyakan hal yang sama kepada ibunya, dan jawaban yang saya peroleh juga hampir sama, “Ibu kurang tahu kenapa Nak!, tapi itulah yang dilakukan oleh nenek Shelly”
Lalu, kutemui nenek Shelly untuk kembali mengajukan pertanyaan itu, baru dari mulut oma inilah ditemukan pencerahan.
“Dulu, waktu nenek masak, periuk yang nenek gunakan tidak cukup besar, makanya nenek terpaksa harus memisahkannya menjadi dua bagian. Kalau sekarang sih nggak usah repot-repot, cukup satu kali masak saja.”
Akhirnya semua ini terjawab, tapi sampai hari ini Shelly masih memasak dengan cara lamanya, kali ini ia menganggapnya sebagai bagian dari ritual memasak yang mengasyikkan. (Ya, setidaknya ia sudah tahu kenapa ia melakukannya)

Lalu cerita klasik ini ternyata cukup mengelitik untuk dibaca kembali,
Di sebuah tempat pelatihan spiritual, seorang guru sedang melakukan acara perenungan bersama murid-muridnya. Di tengah renungan itu, kucing yang yang dipelihara sang guru ternyata membuat ulah, ia berlari mengelilingi ruangan, mengacaukan letak barang-barang yang ada di sana, dan membuat sejumlah keributan. Suasana yang hening pun berubah menjadi hiruk pikuk.
Untuk menghindari kekacauan lebih lanjut, maka sang guru kemudian mengikat kucing itu di samping ruangan perenungan sampai acara itu selesai.
Maka sejak hari itu, sang kucing selalu diikat di samping ruangan tempat acara renungan itu berlangsung sebagai antisipasinya. Setelah sang guru wafat, ritual ini kembali dilanjutkan oleh murid-muridnya. Anehnya, tradisi mengikat kucing ini terus dilanjutkan, walaupun sang kucing itu telah mangkat menyusul majikannya. Mereka malah sengaja mencari seekor kucing pengganti untuk diikat di samping ruangan tempat acara renungan itu dilaksanakan, turun-temurun bertahun-tahun sampai saat ini, tanpa berani untuk bertanya kenapa hal tersebut dilakukan.

Dalam banyak hal kita sering menemukan ritual-ritual ini dalam kehidupan kita sehari-hari, ada kalanya kita perlu keberanian untuk mengubahnya kalau menganggap hal tersebut sudah usang dan tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman.
Ada kalanya, jawaban itu kita dapatkan dari orang-orang yang memang tidak mengerti kenapa hal tersebut dilakukan dan terus dilakukan, hanya untuk menutupi ketidaktahuan mereka, dengan menganggapnya sebagai satu kebiasaan yang tak perlu dipertanyakan.
Seperti yang pernah saya alami dulu ketika bekerja di sebuah konsultant bangunan, ketika saya bertanya kepada senior saya, kenapa jumlah tulangan besinya harus sekian buah dengan diameter sekian milimeter, saya malah mendapat jawaban yang mengejutkan untuk ukuran seorang insiyur “Itu sudah kebiasaan kita di lapangan.”
Dalam hal ini, kita harus memberanikan diri untuk tidak tinggal diam. “CARI TAHU” apa yang jawaban sesungguhnya.

Seperti Shelly yang tetap melanjutkan ritual memasaknya dan menganggapnya sebagai bagian dari seni yang mengasyikan. (Seperti pada beberapa ritual keagamaan atau kebudayaan yang ada di penjuru negeri ini)
Maka, ada kalanya kita perlu membiarkan ritual-ritual itu tetap berlangsung, sebagai warna dalam kehidupan berbudaya, sebagai bagian dari keindahan hidup ini.

Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI

Jumat, 29 Agustus 2008

Menjadi Bahagia ?

Bahagia bukan suatu pengharapkan, bukan sesuatu yang diminta-minta, Bahagia adalah suatu pilihan yang kita lakukan. Kita dapat memilih bahagia atau kesedihan, Ketika kita diberi suatu kondisi yang sama, ada yang memilih bahagia, tapi ada yang memilih untuk tidak.

Tapi anehnya ketika pilihan itu telah kita lakukan, kita tidak siap untuk bersedih... Aneh, tapi coba pikirkan contoh ini,
Ketika kita memilih untuk tidak belajar pada saat ujian, kita tidak siap untuk mendapatkan nilai jelek. Ketika kita memilih marah dan benci, kita tidak siap untuk merasakan perasaan sakit tersebut.

Hidup ini pilihan, Ketika sebuah kondisi yang sama diberikan kepada sejumlah orang, hasil dari kondisi tersebut sangat tergantung pada reaksi orang tersebut, sangat tergantung pada pilihan mereka.
Mereka dapat memilih untuk menerimanya sebagai anugerah, sebagai kesempatan untuk memperkuat diri. Atau mereka dapat juga memilih untuk menerimanya sebagai sumber derita atau kesialan.
Jadi pilihlah bahagia, jika kita memilih bahagia maka setiap tindakan dan gagasan kita adalah kebahagiaan, dan kita bisa BELAJAR untuk memilih yang baik, BELAJAR menjadi Bahagia.

Kita belajar untuk mengasihi, kita belajar untuk mensyukuri, kita belajar untuk berbagi, kita belajar untuk saling melengkapi, kita belajar dalam kondisi di mana "Universal Love" menyertai langkah kita.
Dengan Pilihan untuk Bahagia, dan kita berani belajar untuk bahagia, maka pilihan yang kita lakukan akan menghasilkan konsekwensinya yaitu "KEBAHAGIAAN".

Comfort Zone, Why Not!

Comfort zone, ungkapan familiar ini acap kali saya dengar di sela-sela seminar motivasi.
Dan anjurannya hampir semua sama “Tinggalkan Zona nyaman Anda!”
Mungkin kita semua setuju dengan anjuran itu, tapi beberapa hari yang lalu hati kecilku berkata lain, katanya “Untuk apa ditinggalkan Zona nyaman itu?” tanyanya. “Nikmati saja!” katanya lagi.
Aku sempat marah, karena hati kecil ini berselisih paham denganku,ia seakan memungkiri sesuatu yang telah disepaki bersama, sesuatu yang juga saya jadikan sebagai panutan dalam melangkah.

Lalu aku bertanya padanya, kenapa ia berkata demikian.
“Tak ada yang salah ketika kita berada atau terlahir di Zona nyaman, zona nyaman bukan momok yang menakutkan, bahkan satu kesempatan baik untuk mensyukuri hidup ini. Yang perlu kita lakukan hanyalah sesekali keluar mencari hal yang baru dan belajar darinya, sehingga kenyamanan tidak membuat otaknya menjadi enggan bekerja.” Jawabnya.
“Zona kenyamanan adalah Anugerah, karenanya harus dimanfaatkan dengan baik, tidak semua orang bisa berada dalam zona nyaman”

Aku sebenarnya setuju dengan anjuran “Tinggalkan Comfort Zone Anda” karena sering kali kita terhanyut oleh kenyamanan, sering kali kita terlena dalam kemanjaan. Di area ini kedewasaan sering tertidur dengan nyenyak, dan kemajuan sekan berjalan di tempat.
Dan atas nama “KEMAJUAN” saya setuju untuk meninggalkan comfort zone, karena akan membuat kita menjadi waspada, kokoh, kuat, dewasa dan BESAR.

Cerita “katak rebus” selalu mengingatkan hal itu padaku.
Suatu ketika oleh ayahnya, Bravery dibawa mengelilingi kebun teh, melihat dari dekat kehidupan para buruh tani di sana. Ada sesuatu yang menarik perhatian Bravery di sana. Mereka baru saja menangkap 2 ekor katak besar.
Ayah tiba-tiba mengajukan satu pertanyaan menarik padanya.
“Jika kita masukan salah satu katak itu ke dalam baskom yang berisi air panas, kira-kira apa yang akan terjadi?”
“Saya yakin katak itu akan sangat terkejut dan berusaha sekuat dirinya keluar dari air panas tersebut”
“Bagaimana jika satunya lagi kita masukkan dalam baskom yang berisi air kolam itu dan perlahan-lahan kita panaskan air sampai mendidih?”
Bravery terdiam sejenak, sepertinya kali ini ia menemukan jalan buntu untuk jawaban tersebut.
“Jika katak itu kita masukkan dalam baskom berisi air kolam, dan perlahan kita panaskan airnya, katak tersebut akan merasa nyaman dalam baskom itu, dan ketika ia mulai digigit rasa panas dan nyadarinya, semua sudah terlambat, ia sudah tidak cukup tenaga untuk keluar dari baskom tersebut.”
“Itulah yang akan terjadi pada kita jika terlena dalam kenyamanan, sementara kenyamanan tidak selamanya mau bersahabat dengan kita.” Ungkap sang ayah.

Baru beberapa hari lalu, aku mendapati kalau hati keciku punya opini lain, sang hati kecil setuju kalau “Comfort Zone adalah anugerah, karenanya harus dimanfaatkan dengan baik, tidak semua orang bisa berada dalam zona nyaman itu”
Hati kecilku berkata, “Untuk apa, kita selalu keluar dari Zona kenyamanan, apa sih tujuan hidup ini? Apakah kita ingin selamanya selalu berjalan dalam “KETIDAK-NYAMANAN”, bukankah itu sungguh menderita.


Cerita “Seorang Yang NANTI akan menikmati hidupnya” sungguh mengejutkanku.
Dikisahkan, ada seorang pemuda yang memiliki tekad besar untuk sukses, baginya hidup adalah perjuangan yang tiada henti, untuk bersenang-senang adalah hal yang tak pernah terpikir olehnya.
Pada saat ia bekerja, ia tak pernah benar-benar menikmati hasil jerih payahnya, hidupnya hanya untuk bekerja dan bekerja, ketika hal itu dipertanyakan, ia mengatakan”Sekarang, bukan saatnya menikmati hidup, kerja keras dulu, saya harus berhasil menjadi manager dulu” katanya.
Ketika ia telah menjadi menager, ia masih dengan argument yang sama “Sekarang, bukan saatnya untuk menikmati hidup, saya harus menyiapkan dana untuk menikah nantinya”, ketika ia telah menikah, ia mengatakan bahwa ia harus menyiapkan biaya kelahiran anaknya, setelahnya ia harus menyiapkan pendidikan anaknya, lalu persiapkan pernikahan anaknya, lalu biaya usaha untuk anaknya dan seterusnya.
Akhirnya, di pusaranya tertulis sebuah kalimat “Telah terbaring dengan damai seorang yang NANTI akan menikmati hidupnya”

Aku sempat terhenyak, lalu kuajak hati kecilku berdiskusi, kami akhirnya mengambil JALAN TENGAH
Kami tahu, untuk berada di JALAN TENGAH selalu dibutuhkan Kebijaksanaan.

Comfort Zone bukan untuk ditakuti, asal kita tidak terlena oleh kenyamanan, yang penting kita harus berani keluar dari lingkaran kenyaman itu jika diperlukan, bukan lari meninggalkannya.

Lalu kami sepakat untuk memakai istilah “EXPEND YOUR COMFORTABLE ZONE”
Ya, kami lebih setuju untuk “Memperluas Zona Kenyamanan”
Bagaimana dengan Anda?

Salam Sukses Selalu

Keberanian saja tidak CUKUP

Sudah cukup lama saya tidak melihat film-film silat, pada kebanyakan film silat tempo dulu, cerita itu biasanya diawali dengan kisah seorang tokoh anak muda yang tak punya keahlian kungfu sama sekali, teraniaya, lalu akhirnya tampil sebagai super hero. Dalam prosesnya, kadang-kadang sang tokoh harus babak belur dihajar penjahat karena kemampuannya belum cukup mampu menandingi lawannya, setelah berguru dan berlatih keras ia akhirnya menemukan ritmenya dan menang sebagai jagoan.

Pada kesempatan yang lain, di sebuah tempat pelatihan kungfu ditemukan satu hal menakjubkan. Konon, para murid lulusan tempat tersebut punya kemampuan berjalan di atas air, menyeberangi sungai yang ada di sana.
Seorang pemuda, karena keingintahuannya segera mendaftarkan diri menjadi salah satu murid di sana. Awalnya, para murid baru ini dibawa ke tepi sungai melihat demonstrasi yang menakjubkan itu, lalu dilanjutkan dengan pelatihan yang memakan waktu 3 tahun lamanya dan akan dipilih satu orang yang akan mewarisi ilmu tersebut.
Setelah melalui berbagai rintangan, sang pemuda itu berhasil menjadi MURID PILIHAN, ia akhirnya bergabung dengan komunitas barunya dan mulai mempelajari ilmu berjalan di atas air.
Di hari pertama, sang pemuda itu terkagum-kagum melihat senior-seniornya melakukan atraksi tersebut, rasa ingin tahunya yang kuat membuatnya segera ingin mempraktekkan ilmu tersebut.
Maka dengan antusias ia pun melangkah memasuki sungai tersebut, dan Byuuuuur! Tubuhnya basah kuyub, dan ia terhanyut cukup jauh di tengah derasnya air sungai.
Melihat hal itu, salah satu senior yang kasihan padanya berkata pada yang lain, “Apakah tak lebih baik kita katakan saja di mana letak batu-batu pijakan tersebut padanya?”

Karena emosi, kadang-kadang kita tidak memperhitungkan kemampuan kita dalam melakukan sesuatu, keberanian yang membuta ini sering membuat kita celaka. Seperti seorang murid kungfu yang belum mahir, apabila berhadapan dengan seorang AHLI kungfu, maka murid itu hanya akan menjadi bulan-bulanan sang ahli kungfu tersebut.
Karena Ego, kita kadang-kadang terlalu memberanikan diri melakukan sesuatu tanpa pijakan yang jelas, sering kali kita harus terjatuh dan terhanyut cukup jauh karena keberanian yang tidak dibarengi dengan pengetahuan dan kebijaksanaan.

Dalam kehidupan nyata, Seorang sales kadang-kadang ingin segera melakukan aktivitasnya dalam menjual, ia ingin cepat-cepat melakukan “closing”. Tanpa persiapan yang matang, tanpa pengetahuan yang cukup memadai, sering kali keberanian semacam itu hanya akan mendatangkan kekecewaan.
Demikian juga dalam membuat “Goal Setting”, adalah baik jika goal setting dibuat sebesar-besarnya.
Tetapi “Goal” yang terlalu besar, yang tidak diukur dengan kemampuan, malah akan mendemotivasi kita, Goal yang tidak realistis cenderung akan membuat kita sakit dan kecewa.

Saya setuju bahwa keberanian dalam usaha adalah penting, keberanian dalam mengambil RISK adalah salah satu faktor keberhasilan seorang pengusaha, tapi alangkah baiknya jika pengambilan keputusan yang berani itu dibarengi dengan data-data dan riset, sehingga menurunkan persentase resiko yang akan terjadi.
Saya yakin seorang pengusaha sukses yang terkenal dengan Risk taker-nya, tidak bermain hanya dengan keberaniannya saja. Semua ada perhitungannya, ketika mereka menemukan formulanya dan yakin akan berhasil, mereka akan menjalaninya walaupun yang lain menganggap hal itu adalah hal yang GILA dan tidak masuk akal.


Berani adalah keharusan dalam mencapai kesuksesan.
Tapi keberanian yang membuta sering membuat kita jatuh dengan sia-sia.


Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT. Arthamas Konsulindo Medan
PSDM Siddhi Medan
sengguanjr@yahoo.com

Kamis, 28 Agustus 2008

Bodyguard Dunia

Pagi ini aku masih dapat melihat burung-burung kecil yang bersarang di dekat jendela rumahku, kicauannya masih merdu terdengar, dan dari jendela yang sama itu masih terasa hangatnya cahaya matahari pagi yang merayap masuk ke dalam kamarku. Dunia ini masih indah, anak-anak masih mengandeng tangannya ibunya, ayah masih mengecup manis kening sang istri, dan peluk hangat masih saja terasa dalam kehidupan ini, walau ia semakin langka.
Setidaknya masih ada dan keindahan-keindahan ini bertahan sampai saat sekarang.

Lalu timbul pertanyaan pada benakku, “Siapa yang melindungi keindahan dan keharmonisan ini?”
Waktu kecil aku berpikir, sang “Superman” yang melakukannya, sang superman yang menjaga keadilan, sang superman yang membasmi kejahatan, sang superman menetramkan kekacauan.
Waktu pun berjalan, aku berpikir “Mungkin Sang superman semakin tua dan tak berdaya” karena keindahan itu telah memudar dan berkurang, kekacauan bahkan sering bangkit merenggut kebahagiaan dunia ini. Walau demikian, aku masih optimis, dunia ini masih indah.

Suatu hari, aku didatangi “Bodyguard dunia”, semula kukira “Sang Superman”, tapi ternyata ia bukan sosok dari dunia fantasi, ia adalah teman bermain ku sejak kecil, sejak aku pertama kali berhadapan dalam pilihan baik dan buruk. Tepatnya aku sebut “mereka”, karena mereka adalah sepasang pelindung.

Mereka adalah pasangan “Perasaan TAKUT dan MALU” melanggar sila (aturan), mereka lah sesungguhnya Bodyguard dari dunia ini.

Bayangkan apa yang terjadi jika kita tidak lagi TAKUT melanggar aturan yang ada, bayangkan apa yang akan terjadi jika kita tidak lagi takut akan konsekwensi dari pelanggaran tersebut.
Maka penegak hukum di dunia dan akhirat tidak lagi berfungsi, orang akan seenaknya saja membunuh, mencuri, merampok atau kejahatan lainnya.

Bayangkan pula apa yang akan terjadi jika kita tidak lagi MALU melanggar aturan yang ada, maka ramai-ramailah kita menceburkan diri dalam kenistaan, bahkan mungkin dengan bangga mempromosikan setiap pelanggaran yang kita lakukan.

Saat ini, ada fenomena yang menunjukkan bahwa kedua bodyguard kita sedang sakit keras(untung belum sekarat atau sampai “wafat”), perang saudara, peningkatan kriminalitas, konflik SARA adalah gejala-gejalanya.

“Lewati saja lampu merah itu, paling-paling kita ditilang, toh ada ‘orang’ yang bakal mengurusnya untuk kita nanti.” (Sang Takut sedang sakit) dan “Tadi pagi, saya baru berhasil membohongi guru tua itu, ternyata ia gampang dikerjai.” (Sang Malu juga sedang sakit)
Kedua kalimat itu sering kita dengar dalam versi-versi yang lain, itu bukti keterlibatan kita dan kita biarkan kedua bodyguard itu sakit tanpa diobati.

Hati-hati ! Ketika bodyguard “TAKUT dan MALU melanggar sila“ wafat, maka kiamat akan segera dimulai.
Sesuatu Sederhana, tapi dampaknya mengerikan bukan?

Kabar baiknya, kita masih ada waktu.
Sesuai Hukum Aksi-Reaksi, Ketika kita menjaga mereka, mereka juga akan menjaga kita.
Dan saat ini adalah waktu yang tepat memulainya, selagi masih bisa diobati.

Dengkur Yang Indah

Dengkur adalah sesuatu yang menjengkelkan, terlebih jika yang mendengkur itu bertubuh gemuk dan dalam keadaan lelah berat. Suara dengkuran akan segera menemani malam panjang Anda, membuat Anda terus terjaga, mungkin hingga pagi.
Saat itu, mungkin Anda berharap dapat membungkamnya, setidaknya menutup telinga Anda sendiri dalam-dalam agar suara yang sangat mengganggu itu tidak terdengar lagi.

Tapi dengkur sesungguhnya cukup mengasyikan, setidaknya itulah yang dirasakan oleh mereka yang mendengkur, tidur yang begitu lelap. Dan bagiku, dengkur adalah suatu bencana menjelang tidur, tapi suatu ketika dengkur itu berubah menjadi anugerah, suatu keajaiban, suatu pengharapan, mungkin itu juga yang Anda akan rasakan jika mendengar Dengkur Yang Indah.
Buddha adalah suatu gelar kesempurnaan, suatu ketika dengkurnya pernah kurasakan, sekali saja, tapi sangat menyentuh dan membuatku tertidur lelap dalam rasa syukur yang mendalam.

Malam itu, ketika Mama harus terbaring lemah di rumah sakit Pekan Baru beberapa tahun lalu, serangan kanker otak membuat beliau tanpa daya, dengan sisa kekuatannya beliau masih sempat bercerita tentang masa kecil kami. Di sampingnya, ada Papa yang masih teguh menemani, walau raut wajah tuanya sudah sangat kelelahan. Sudah beberapa hari mereka tak dapat tidur, Mama mengeluh tentang sakit di kepalanya, sementara Papa meringis kesakitan, kata Mama “Papamu kena smack down Mama kemarin malam”
Malam itu, kami bercerita panjang tentang segala hal yang masih dapat dikenang oleh memorinya yang kian rapuh digerogoti kanker jahat itu. Setelah malam panjang yang melelahkan, sayup-sayup saya mendengar dengkuran yang begitu indah, begitu menyejukkan. Bukan satu, tapi dua dengkuran sekaligus, sahut menyahut. Malam itu aku mendengar Dengkur Yang Indah.
Malam itu, aku memilih untuk menjadikan dengkur sebagai nyanyian yang indah, aku memilih untuk menikmatinya, aku memilih untuk mensyukurinya, karena kedua orang tua itu akhirnya dapat tertidur lelap.

Sebenarnya dengkuran tetaplah sebuah dengkuran, yang membuatnya menarik adalah pilihan yang kita lakukan, dan lebih menarik lagi adalah bahwa multiple choice yang ada jumlahnya tak terbatas, ratusan, ribuan bahkan jutaan, tergantung kepada jumlah yang diinginkan pemilihnya. Bahkan sang pemilih dapat ber-inovatif, berkreasi menetapkan pilihan-pilihan baru yang ia ciptakan sendiri.
Sungguh luar biasa, dengkuran sederhana itu mengambil berbagai peran hanya karena keinginan Sang pemilih bukan karena sifat dasar dari dengkuran itu sendiri. Peran sebagai suara yang sangat menjengkelkan atau sebagai satu nyanyian merdu menjelang tidur mutlak menjadi tanggung jawab sang pemilih.

Kadang-kadang kita hanya perlu disadarkan dan diingatkan mengenai hal ini, seperti sebuah kisah Zen ini misalnya.
Diceritakan, Seorang Ibu tua memiliki 2 orang anak, anak pertamanya berjualan jas hujan dan anak keduanya berjualan es krim, sepanjang hari Ibu tua ini selalu menangis.
Pada saat matahari sedang terik-teriknya, ia menangis. Ketika ia ditanya “mengapa?” ia mengatakan bahwa ia khawatir akan nasib anak pertamanya yang berjualan jas hujan, jualannya pasti tidak akan laku dalam cuaca seperti itu.
Pada saat hujan pun ia menangis. Ketika ia ditanya “mengapa?” ia mengatakan bahwa ia khawatir akan nasib anak keduanya yang berjualan es krim, jualannya pasti tidak akan laku dalam cuaca seperti itu.
Suatu saat ibu tua ini bertemu dengan “orang bijak”, ia mendapat bisikan darinya, dan sejak itu ia tersenyum sepanjang waktu.


Apa yang dibisikannya?
Pikirkanlah, bahwa pada musim kemarau anak kedua ibu akan mendapat banyak rezeki, es krimnya akan laku pada saat seperti itu, dan pada musim hujan anak pertama ibu juga akan mendapat rezeki banyak, jas hujannya akan laris manis.

Hidup adalah proses pembelajaran, dan pencerahan dapat kita dapatkan bahkan dari hal-hal yang sederhana seperti sebuah “Dengkur”

Four Gate of LOVE

Kita akan kembali bicara tentang Cinta, kali ini tentang bagaimana Cinta itu harus dibagikan kepada yang lain?

Suatu saat, ada seorang anak yang bertanya kepada ibunya tentang Cinta (LOVE), bagaimana ia dapat membagikan cintanya pada orang-orang yang di sekitarnya, kepada ayah, ibu, saudara dan orang-orang yang dikasihi, kepada orang-orang yang tidak dikenalnya bahkan kepada orang yang menjengkelkan dan menyakiti hatinya.

Sang Ibu lalu membawa anaknya ke sebuah taman dan memintanya untuk melewati 4 GERBANG CINTA yang terletak di sana, maka dengan perasaan ingin tahu si anak mulai menapaki gerbang itu satu persatu.

Gerbang pertama bernama “Gate of Loving-Kindness”
Ketika Sang Anak mulai memasuki gerbang pertama, dirinya seakan dihadapkan pada kemunculan orang-orang yang dikasihinya, ada wajah sang ibu, ada wajah ayah, ada wajah opa dan oma, ada wajah saudara-saudaranya tercinta, ada wajah-wajah yang dikasihi.
Lalu berikutnya ia melihat sebuah gambaran dari opa dan oma yang tersenyum sambil memeluk dirinya, di sampingnya ada papa dan mama yang saling berangkulan, lalu tampak juga si “doggy”, ajing kecilnya yang periang sedang mengoyangkan ekornya dengan lincah.
Inilah wajah Cinta pada gerbang pertama, ketika cinta bertemu dengan orang-orang yang terkasih (bahkan pada binatang peliharaan kita sekalipun) cinta akan muncul dalam pelukan, dalam kehangatan yang menyejukkan, cinta akan berseri tanpa batas.

Ketika si anak keluar dari gebang pertama, ia langsung menghampiri ibunya dan memeluknya dengan mesra, itulah wajah cinta pada gerbang pertama, cinta yang tak terlukiskan dengan kata-kata pada orang-orang yang terkasih.

Gerbang kedua bernama “Gate of Compassion”
Ketika gerbang kedua terbuka, muncullah wajah pengemis yang biasanya mangkal di persimpangan jalan raya dekat rumahnya, lalu muncul anak-anak dengan wajah memeras sambil memegangi perutnya yang lapar, kemudian muncul lagi wajah korban-korban perang dan pertikaian beserta erangan mereka yang memilukan, tak ketinggalan juga raut wajah seekor kucing kecil yang berjalan tertatih-tatih setelah ditabrak sebuah mobil yang melaju dengan kencang.
Lalu berikutnya ia melihat sebuah gambaran dari “Mother Teresa” yang dengan wajah welas asih membelai anak-anak kecil yang sedang dibalut luka, di sampingnya tampak seorang ibu yang memberikan makanan bagi kaum tak punya serta seorang anak kecil yang sedang membersihkan luka pada seekor anjing yang terluka.
Inilah wajah Cinta pada gerbang kedua, ketika cinta bertemu dengan orang-orang yang dikasihani (termasuk juga pada binatang-binatang), cinta akan muncul dalam perasaan iba, cinta akan muncul dalam belas kasih, cinta akan muncul dalam sosok Mother Teresa yang menentramkan.
Cinta akan muncul dalam uluran tangan yang indah, saling berbagi dengan sesama, melindungi, menganyomi dan menuntun mereka-mereka yang terluka oleh kehidupan ini.

Ketika si anak keluar dari gerbang kedua, ia menghampiri seekor kucing yang terluka, digendongnya dan dibersihkan luka-lukanya serta disuapinnya, itulah wajah cinta pada gerbang kedua, cinta dalam bentuk BELAS KASIH tanpa batas.

Gerbang Ketiga bernama “Gate of Sympathetic Joy”
Ketika gerbang ketiga terbuka, muncullah wajah Verrill, abang pertamanya yang baru mendapatkan gelar Sarjana lengkap, lalu senyum teman sekelasnya yang berhasil menjadi juara satu umum, berikutnya ia melihat tawa dan canda dari segerombolan anak-anak serta kicau riang burung di pohon dekat rumahnya.
Berikutnya ia melihat sebuah gambaran dari dirinya yang tawa bersama teman-temannya, di tengah barisan itu berdiri “Miracle”, teman sekelasnya yang berhasil menjadi juara kelas, lalu di sampingnya ada “Willy” yang sedang merayakan ulang tahunnya, kemudian di paling pojok ia tampak sedang mengangkat tangannya tinggi-tinggi, bergembira bersama temannya yang mendapat sepeda baru.
Inilah wajah Cinta pada gerbang ketiga, ketika cinta bertemu dengan orang-orang yang sedang bergembira (termasuk juga pada binatang-binatang tentunya), cinta akan muncul dalam perasaan gembira, ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain (bukan malah merasa iri).
Cinta akan muncul dalam gandengan tangan, dalam tawa dan kegembiraan bersama di atas kebahagiaan yang lain.

Ketika si anak keluar dari gerbang ketiga, ia menghampiri kakaknya yang sedang ulang tahun, ia lalu mengandeng tangan kakaknya dan bernyanyi bersama-sama, itulah wajah cinta pda gerbang ketiga, cinta dalam bentuk Ikut bergembira atas kegembiraan orang lain.

Gerbang keempat bernama “Gate of Equanimity”
Ketika gerbang keempat berhasil dicapainya, ia melihat wajah orang-orang yang pernah menyakitinya, preman yang duduk di warung dekat rumahnya, guru yang pemarah, anjing yang galak dan wajah-wajah yang menjengkelkan.
Lalu muncul gambaran seorang guru spiritual yang tanpa ekspresi, tidak ada wajah marah yang tampak ketika harus berhadapan orang-orang yang beringas, ada ketenangan di sana, walau wajah-wajah menjengkelkan berdiri di sampingnnya.
Inilah wajah Cinta pada gerbang keempat, ketika cinta bertemu dengan orang-orang yang tidak disukai, yang menyakiti hati, cinta muncul dalam keseimbangn bathin, melihat semua ini sebagai bagian dari kehidupan yang tak terhindari, melihat hal ini sebagai pembelajaran hidup. (bukan malah membalasnya dengan amarah yang membakar)
Cinta akan muncul dalam penerimaan dan maaf.

Ketika si anak keluar dari gerbang keempat, si anak belajar memaafkan temannya yang telah menyakiti dirinya, itulah wajah cinta pada gerbang keempat, cinta dalam bentuk keseimbangan bathin.

Dan Ketika kita telah memasuki keempat Gerbang Cinta itu, ada pesona yang dipancarkan dari diri kita, ada keagungan, ketulusan dan kewajaran yang berdiam dalam diri kita. Ada cinta yang siap kita semaikan pada dunia ini.


Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT. Arthamas Konsulindo Medan
PSDM Siddhi Medan
sengguanjr@yahoo.com

Berdiri di Luar alur Cerita

Bayangkan, kali ini Anda adalah seorang Petugas Keamanan yang sedang memperhatikan gerak-gerik pengunjung sebuah pameran keramik bernilai jutaan dollar. Melalui kamera pengintai, Anda mengamati sebuah kejadian menarik yang seterusnya akan menjadi bahan kajian kita kali ini.

Di sebuah sudut pameran, yang pada saat itu jauh dari keramaian, ada seorang pemuda yang tengah melihat sebuah keramik berbentuk guci besar. Awalnya ia hanya sekedar mengamati, tapi keingintahuannya membuat ia melakukan lebih jauh lagi, ia mulai menyentuh guci tersebut (padahal telah tertulis dengan jelas di depan guci itu “JANGAN DISENTUH”), Semakin lama ia semakin ayik mengamati dan menyentuh setiap inchi dari guci besar itu, sampai akhirnya......
Tanpa disengaja ia menyenggol guci itu, terjatuh dan pecah berantakan. Di antara pecahan keramik tersebut secarik kertas putih tampil secara menyolok, di atasnya tertera USD 1.000.000. Ya, itulah harga yang telah melayang oleh kecerobohan pemuda itu.
Sejenak ia terkejut, tapi hanya sesaat, lalu dengan tenang, sang pemuda mengeluarkan sebuah tabung kecil bertuliskan “LEM AJAIB” (di tabung kecil itu tertulis : lem ini akan melekat dengan sempurna tanpa cacat seperti baru, benda yang telah dilem akan kembali hancur apabila tersentuh setelah melewati 1 jam) Lalu, sim sala bim, guci besar itu kembali dengan sempurna. (Harap tidak ditanyakan di mana dapat dibeli lem jenis tersebut, karena penulis dengan otoritasnya, memungkinkan hal tersebut terjadi)
Satu jam telah berlalu, pemuda tersebut masih dengan santai berkeliaran di arena pameran itu, sesekali mengamati hasil maha karyanya, lalu sesuatu terjadi lagi.
Seorang Nenek tua tertangkap basah memecahkan sebuah guci besar senilai satu juga dollar, dan kali ini di tengah-tengah keramaian.
Sang Nenek dengan gemetaran diselingi isak tangis berkata “Saya hanya menyentuhnya, tiba-tiba pecah begitu saja.” (Lem ajaib sang pemuda ternyata sekerja sebagaimana mestinya)

Kita kembali ke ruang kontrol, di mana Anda duduk di depan kamera pengintai dan mengamati peristiwa itu sampai detik terakhir. APA YANG ANDA LAKUKAN?

Kemungkinan besar jawaban Anda akan seperti kebanyakan teman-temanku yang lain, yang dengan lantang mengatakan “Saya akan segera turun ke ruang pameran, menjelaskan kejadian yang sebenarnya, dan menangkap pemuda itu dengan menggunakan rekaman kamera pengintai sebagai buktinya. Karena pada dasarnya nenek tersebut tidak bersalah, pemuda itu yang memecahkannya” (mungkin saja nenek itu yang akan memecahkannya kalau tidak dipecahkan terlebih dahulu oleh pemuda tersebut)

Ya, itulah yang seharusnya kita lakukan, membela keadilan dan kebenaran. Itulah yang diajari guru-guru agung kita.

Tidak seru seandainya cerita ini hanya berhenti sampai di sini saja, sekarang mari kita ganti perannya, Kali ini sang nenek malang itu ternyata nenek Anda, Apa Yang Anda Lakukan?

Anda mungkin bak orang edan, berlari sekencang-kencangnya, turun ke ruang pameran, membela nenek Anda mati-matian, dan kalau perlu menghajar sang pemuda itu sampai mengaku.

Ya, itulah yang seharusnya kita lakukan, membela keadilan dan kebenaran. Hanya kali ini Anda jauh lebih antusias. Apalagi itu nenek Anda, jelas harus dibela.

Mari kita membuat permainan ini menjadi lebih menarik lagi dan lebih menantang.
Kali ini Anda menyaksikan Saudara Anda sendiri atau Anda sendiri yang berperan sebagai pemuda nakal itu, dan sang nenek itu hanyalah korban yang berada di waktu dan tempat yang salah.

Apakah Anda masih dapat bertindak seperti dua contoh situasi di awal?
Apakah Anda masih dengan antusias menceritakan kebenaran itu, atau sebaliknya? Anda segera merusak rekaman kamera pengintai itu selama kejadian untuk menutupi jejak saudara Anda atau Anda sendiri.
(Jika tampilan Sang nenek adalah seorang nenek kaya, Anda mungkin segera menjadikannya sebagai alasan membenarkan tindakan Anda ketika Opsi kedua diambil, bagaimana jika sang nenek adalah seorang nenek yang miskin yang hanya ingin melihat-lihat saja? Di sanalah pertarungan kembali terjadi, apakah Anda masih setega itu?)

Saatnya kita mengkaji dari bawah.
Ketika kita melibatkan orang-orang kita dalam pengambilan keputusan, cenderung kita menjadi emosional dan tidak objektif. Sering kali kita cenderung berada di pihak “kita”, bukan dalam pihak yang benar. Dan kita akan mencari alasan-alasan yang mengizinkan kita lakukan pembenaran atas keputusan kita itu.

Pada contoh pertama, ketika kita benar-benar berada di LUAR alur cerita, kita dapat melihat lebih objektif, pada saat itu kita dapat berpihak pada kebenaran.

Dan Berikutnya, inilah tantangan terbesar dalam hidup kita, ketika KITA ikut terlibat di dalam alur cerita, masih dapatkah kita bertindak seperti keadaan pertama, SEWAJARNYA. Karena sesungguhnya “Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri”

Di saat kita masih dapat bertindak SEWAJARNYA ketika keputusan tersebut melibatkan KITA, saat itulah kita menjadi PEMENANG SEJATI.