Jumat, 14 November 2008

I Love You, Mom

Sebelum kita berbicara lebih panjang lebar tentang Hari Ibu, sebelum kita berbicara lebih lanjut mengenai betapa besarnya kasih bunda, sebelum kita mengklaim betapa kita juga mencintai mama, mari kita lakukan percobaan sederhana di bawah ini.

Kalau kita ditanya “Apakah Anda mencintai Mama?”, maka saya yakin semua akan menjawab dengan lantang, penuh percaya diri “Saya mencintai Mama, bahkan saya sangat mencintai beliau” Nah, sekarang mari kita mulai percobaan ini.

Percobaan “I Love You Mom”
Sekarang coba temui Mama, lihat matanya dengan kasih, lalu katakan “I love You Mom” (Kalau perlu cium pipinya atau peluk dirinya)
Apa yang kita rasakan pada saat itu? Dapatkah kita melakukannya tanpa beban? Apakah Anda malah tertawa karena tak terbiasa dengan adegan yang menurut Anda kesannya “terlalu sentimentil”, atau pada saat ini Anda malah sudah merinding membayangkan untuk melakukan hal itu?. Untuk hal yang sederhana ini, mari kita simpan jawaban ini untuk diri kita masing-masing, kita tak usah mengatakan apa-apa, cukup menyadari bahwa betapa cinta kita tidak sebanding dengan kasih Ibu yang telah membesarkan kita.
Sebagai pembanding, ketika kita dulu berada dipelukkan mama, Mama tak henti-hentinya mencium kita, memeluk kita, menyatakan cintanya tanpa segan-segan, lalu melalui percobaan sederhana ini kita seakan dihadapkan pada sebuah cermin besar yang memantulkan intensitas cinta kita pada Bunda yang penyayang. Redupkah cinta kita?

Sebagai pembanding lain, beberapa waktu lalu saya mendapati sebuah email yang bercerita tentang kasih Ibu, izinkanlah saya membuka email ini untuk kita semua dengan versi yang berbeda.

Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.
Ketika untuk pertama kali kita tampil di dunia ini, Mama telah berjuang keras menahan sakit, mengerang selama beberapa jam bahkan kadang berhari-hari, dan sebagai balasannya kita lahir dengan tangisan keras. Semenjak hari itu, cacatan panjang pengorbanan bunda tertulis dalam sejarah hidup kita, kita kadang kadang lupa bahkan sengaja melupakanya. (Hal ini semakin jelas, ketika kita kelak menantikan kelahiran anak pertama kita, kita akan segera tahu bahwa sungguh satu pengorbanan yang besar ketika seorang ibu mengandung selama 9 bulan lamanya, ada satu perjuangan yang luar biasa untuk menanti kelahiran buah hatinya)
Mari kita flash back dan bandingkan dengan apa yang kita lakukan untuk bunda kita, melalui sebuah cerita kehidupan si kecil yang kini telah bernama Kita.

Ketika bayi kecil itu dilahirkan, Mama dengan welas asih membasuh tubuhnya, membersihkan muntahannya, lalu sebagai balasannya si bayi kecil merengek sepanjang hari, dan sang mama pun harus terjaga dan berusaha meninabobokannya.
Ketika bayi kecil itu bertumbuh dewasa, Kita malah takut dengan muntahan mama, alasannya simple saja “Jijik”, Kta malah menyuruh pembantu untuk membersihkannya untuk Kita.

Selanjutnya mama mulai mengajari si kecil “Bagaimana cara berjalan?”, waktu itu si kecil malah kabur ketika beliau memanggilnya.
Lalu ketika si kecil sudah beranjak dewasa, dan sang mama sudah rentan serta tak mampu untuk berjalan, Kita malah tak punya sedikit pun waktu untuk membawa beliau melihat pemandangan luar, Kita malah mengurungnya di kamar dengan alasan “KESELAMATAN”, Kita malah membiarkannya sendiri dalam kamar.

Si kecil juga kemudian disuapin dengan makanan yang bergizi dengan kasih sayang, sebagai balasannya si kecil yang nakal ini malah membuang piring berisi makanan ke lantai, lalu dengan sabar mama kembali menyuapinya kembali.
Ketika si kecil telah dewasa, dan ketika mama yang telah tua menjatuhkan piringnya tanpa sengaja, Kita segera mengantikan piring-piring kaca itu dengan piring plastik yang paling murah agar tidak pecah berantakan ketika terjatuh kelak, Kita malah membiarkan mama menyuapi diri sendiri dengan tangan gemetaran.

Di usianya yang ke-4, mama memberikan pensil berwarna untuk si kecil, sebagai bentuk kreatifitas si kecil malah mencoret-coreti tembok rumah dan meja makan, berikutnya mama malah memberikan sebuah kamar cantik, lengkap dengan papan tulis di sana.
Lagi-lagi ketika si kecil telah didewasakan oleh waktu, kamar Mama malah tak pernah direnovasi, mama malah harus cukup puas tidur di kamar yang pengap dan gelap.

Di masa kecil kita, Mama juga tak pernah lupa memberikan baju-baju yang mahal dan indah, terutama ketika hari raya atau hari ulang tahun kita, tapi si kecil yang nakal malah memakainya bermain di kubangan lumpur. Mama juga pernah memberikan bola kaki, lalu si kecil malah melemparkannya ke jendela tetangga.
Ketika Kita telah dewasa, Kita malah lupa memberikan kado yang indah pada mama di hari ulang tahunnya, bahkan kalimat “Selamat Ulang Tahun, Ma” pun tak pernah Kita ucapkan padanya.

Di usia ke-6, Mama mengantar si kecil ke sekolah, sebagai balasan si kecil malah berteriak “Nggak Mau”, lalu selanjutnya Mama harus membayar mahal untuk kursus-kursus pendukung pendidikan Kita, sebagai balasannya Kita malah sering bolos dan tidak mau belajar sama sekali.
Anehnya, setelah Kita dewasa, ketika Kita gagal dalam pendidikan, Kita malah menyalahkan Mama yang terlalu mencampuri urusan belajar Kita. Dan ketika berhasil pun Kita sering lupa menyebutkan jasa bunda yang telah menyekolahkan Kita.

Ketika Kita diminta mama membersihkan rumah, menyuci pakaian, melap meja makan, Kita yang mulai beranjak remaja malah menagih BIAYA service selama membantu mama, sebagai balasannya mama lalu memberikan sebuah bon pelunasan atas service-nya selamanya, mama katakan bahwa apa saja yang mama berikan selama ini, termasuk mengandung selama 9 bulan, memasak, memandikan, dan service-service lainnya adalah GRATIS.

Saat Kita remaja, Kita di antar mama ke mana saja, dari kolam renang sampai pesta ulang tahun, sebagai balasannya Kita melompat keluar dari mobil tanpa memberi salam, bahkan sampai saat ini, Kita tak pernah meminta izin mama ketika hendak keluar, Kita tak pernah menyapa Mama ketika pulang.

Bahkan di ulang tahun Kita yang ke-17, Kita malah berpesta pora dengan teman sampai larut malam, sementara mama menunggu dengan cemas, ditemani kue ulang tahun yang belum dinyalakan, padahal tepat 17 tahun lalu Mama berjuang keras dalam proses kelahiran Kita.

Ketika Kita lulus dari SMA, Mama menangis terharu, ia ingin memeluk Kita merayakan kelulusan itu, sebagai balasannya Kita malah berpesta dengan teman-teman sampai pagi, dan ketika untuk kali pertama Mama mengantar Kita ke kampus, Kita malah melarangnya, alasannya “Malu dilihat teman-teman”, Dan celakanya, sampai hari ini pun Kita masih malu ketika bersama dengan Mama.

Setelah Kita lulus dari perguruan tinggi, Mama membantu Kita mencarikan pekerjaan yang baik untuk Kita, sebagai balasannya Kita malah meremehkan pekerjaan tersebut. Kita malah meminta Mama menjual rumah yang “Terlalu Besar“ itu, sebagai gantinya Mama harus pindah ke rumah kecil di pinggiran kota, lalu sisanya dijadikan modal untuk usaha. Kita berjanji akan membelikan Rumah yang lebih megah kalau usahanya berhasil.
Nyatanya, setelah bisnis berjalan lancar, Mama masih tinggal di rumah kecil di pinggiran kota, alasannya dananya telah dialokasikan untuk “Biaya Pernikahan”

Mama pun bersuka cita menyambut pernikahan itu, malah Mama dengan senang hati membantu membiayai pernikahan itu, sebagai balasannya kita malah membeli sebuah rumah baru yang jaraknya lebih 500 km dari rumah Mama.

Pada kelahiran putra pertama, Mama segera menjual rumahnya di pinggiran kota untuk tinggal bersama dan menjaga cucu pertamanya, tapi sebagai balasannya lagi-lagi Kita malah tempatkan beliau di rumah panti jompo, alasannya, “Agar di sana ada yang menemaninya, Kita terlalu sibuk dengan urusan kantor, dan cucunya ada baby sister yang menjaganya”

Suatu hari, Mama yang kesepian menelepon Kita dan memberitahukan kalau ada pesta dari salah satu saudara dekatnya, sebagai balasannya Kita malah pergi sendiri dan membiarkan Mama kembali duduk dalam kesendiriannya.

Di usianya yang kian larut, Mama mulai sakit-sakitan dan memerlukan perawatan khusus, Kita malah tak punya waktu untuk berkunjung karena SIBUK, untuk membawanya ke rumah Kita takut setelah membaca tentang pengaruh negative orang tua yang numpang tinggal di rumah anaknya.
Dan hingga SUATU HARI, dia meninggal dengan tenang, tiba-tiba saja Kita teringat dengan semua yang belum pernah kamu lakukan, dan itu menghantam HATIMU bagaikan pukulan godam

Mari, sekali lagi kita baca riwayat sang Mama dan anaknya yang bernama Kita,
Apa tanggapannya? “Apakah Sang Kita itu GUE BANGET?”
Bukankah si Kita itu hampir mirip dengan kita dalam keseharian? Saudaraku, jangan sempat ketika kita menyadarinya, semuanya telah terlambat, kala itu kita hanya mampu mengucapkan “I Love You, Mom” lewat doa atau mimpi kita saja, pelukan hangat Mama hanya bisa kita rasakan lewat pembayangan saja.

Mungkin ada yang bertanya, suatu hari ketika kita telah berkeluarga, Jika jumlah kasih sayang kita adalah 100%, bagaimana cara kita membagikan kasih sayang kita pada Mama, Papa, Istri dan Anak serta lainnya. Maka jawabannya adalah 100%, 100%, 100%, 100% dan 100%, karena cinta tak akan berkurang sedikitpun ketika dibagikan. Cinta seperti nyala dari sebuah lilin, ketika nyala itu kita bagikan kepada yang lain, intensitasnya tak akan berkurang sedikitpun malah ruang akan semakin bercahaya oleh nyala lilin-lilin tersebut.

So, semasa masih ada waktu, semasa Mama masih di samping kita, katakan padanya saat ini “I Love You, Mom”, dan wujudkan cinta kita tidak hanya dalam kata, tapi juga perbuatan, dan andai Anda seperti saya yang telah lama merindukan Mama (Saya enggan memakai kata kehilangan, karena saya selalu merasa Mama ada di hatiku, dan aku tak merasa telah menghilangkannya), setidaknya kita masih dapat bertemu dengan Mama lewat doa atau mimpi, dan Mama akan hadir dalam setiap langkah kita yang didasari dengan cinta kasih.

Salam peluk dan cium untuk Mama-mama semua.
I Love You, Mom!

1 komentar:

Wiwi Roberts mengatakan...

Gw pernah tuh bilang "I love you, Mom" via hp karena kebetulan gw lagi diluar kota. Dan rasanya ajaib bngt, serta merta mata gw berair, menitikkan air mata. Bener2 kalimat yg sukar diungkapkan tapi mengandung berjuta makna :)