Senin, 01 September 2008

Golden Egg

Kalau Anda pernah ke kota Medan baru-baru ini, Anda mungkin pernah berjumpa dengan seorang anak lelaki penjual telur kampung, umurnya sekitar 10an tahun.
Anda mungkin akan mendengar deretan kata-kata yang selalu dilantunkannya dari hari ke hari, dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya, dari satu warung ke warung yang lain.


“ Ko, Ci, ai be nui o? Cia ye, sui ye” (dalam bahasa hokkien medan), yang artinya “Abang, Kakak, mau beli telur ayam kampung? Yang asli, yang bagus” Lantunanya kata-katanya sekilas terdengar mengiba, diulangnya berkali-kali di hampir setiap meja yang dilaluinya.
Mungkin sepintas Anda akan mengira anak tersebut sengaja minta dikasihani, atau mungkin hanya seorang “pengemis” yang berkedok sebagai penjual telur ayam kampung. Tapi sungguh di luar dugaan jawaban yang Anda akan dapatkan jika Anda memberikan sejumlah uang kepadanya atas dasar kasihan. Ia akan menjawab “Saya bukan pengemis, saya adalah penjual telur ayam kampung” dan ia akan segera berlalu dari hadapan Anda.

Anda mungkin termasuk orang yang pernah mendapat jawaban seperti itu, mungkin juga baru kali ini Anda tahu masih ada anak seperti itu. (Walau saya belum pernah mengalami hal tersebut, setidaknya itulah pengakuan beberapa orang yang pernah mencoba membeli “rasa iba-nya”)
Sebuah DVD keluaran anak Medan berdurasi sekitar 40 menit mengangkat cerita tentang anak ini, beberapa poster ditempelkan pada sejumlah tempat makan, dipromosikan secara terbatas di beberapa sudut kota Medan. Moment yang dipilih pun bertepatan pada kedatangan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada tanggal 7 Pebruari yang lalu.

Film itu dibuat dengan alur yang sederhana, dimainkan oleh beberapa anak muda kota Medan dan diberi judul yang cukup menjual “Golden Egg”
Yang akan dibahas kita saat ini bukanlah seberapa bagus cerita itu digarap, seberapa bagus kesan yang ingin dibangun di sana, atau seberapa bagus karakter yang coba dimainkan, tidak juga tentang seberapa bagus audio visualnya (karena Saya tidak dalam kapasitas menilai kwalitas film tersebut), yang justru akan kita bahas adalah hal-hal sederhana yang dapat kita pelajari di sana.

Hal sederhana pertama yang muncul di benak kita adalah “Apakah film itu hanya dibuat-buat, apa memang benar masih ada orang ( bahkan anak kecil) yang memiliki karakter setegar itu?”
Kita mungkin tidak akan pernah merasakan kenikmatan sebuah mangga sebelum kita sendiri yang mencicipinya.
Sebelumnya, saya sendiri pernah menjumpai anak tersebut, sempat bertanya sedikit tentang dirinya. Ia seperti anak pada umumnya, hanya mungkin tidak seberuntung anak-anak Anda. Ia harus bekerja di malam hanya untuk membantu biaya pendidikannya sendiri di pagi hari.
Ironisnya kita, sebagai makhluk yang lebih dewasa bahkan tidak sanggup memberikan jawaban seperti yang diberikannya pada saat kita tercampak dalam kesulitan. (“Saya bukan pengemis, saya adalah penjual telur ayam kampung”)
Pada saat kita terjun ke dalam jurang derita, kita malah ingin tampil sebagai mahkluk yang paling menderita di dunia, yang perlu dikasihani, yang perlu diberi bantuan, seakan-akan itulah hak kita. Hak yang harus dituntut bahkan kalau perlu dengan kekerasan. Kita sering tampil sebagai seorang “pengemis”, bahkan lebih cenderung “pemeras”, karena kita kadang meminta dengan ngotot untuk dikasihani.
Tidak dengan anak ini, jawabannya telah menelanjangi kita. Dan mahluk berkarakter ini benar-benar ada, hadir sebagai seorang anak lelaki kecil pada UMUMnya.

Hal sederhana kedua adalah, setelah Film tersebut dipromosikan, dan menjadi buah bibir di beberapa sudut kota Medan, anak tersebut seakan jadi selebriti, dicari-cari dan ditunggu-tunggu kedatanganya, mereka juga ingin mencicipi telur kampung yang dijualnya. (Padahal mungkin saja, mereka dulu adalah termasuk orang-orang yang mencemoohkannya, meragukan keaslian telur ayam kampungnya, yang menolak untuk membelinya)
Pada saat Film sederhana ini diperbincangkan, secara ramai-ramai orang mulai “menanamkan Kebaikan” pada bocah kecil itu, masing-masing menonjolkan diri berapa banyak telur ayam kampung yang telah dibeli mereka. Seperti sebuah perlombaan, dengan moment start-nya adalah peluncuran Film itu.
Kenapa harus menunggu moment seperti itu, kalau memang hal sederhana itu dapat kita lakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.
Setidaknya dengan adanya peristiwa ini kita dapat bercermin, setidaknya masih banyak “orang baik” yang mau menanamkan kebaikan.
Intinya, Tak ada kata terlambat untuk sebuah kebaikan.

Hal sederhana ketiga adalah bahwa di Medan ternyata ada orang yang berani memulai sebuah hal baru (terlepas apakah Film tersebut dinilai bagus atau tidak), ada sekelompok anak muda yang berani untuk tampil sebagai “Yang Pertama”, karena menjadi yang pertama tidaklah mudah, perlu satu perjuangan yang luar biasa (terutama perjuangan bathin), karena menjadi yang pertama, ia harus siap menghadapi kelompok “Pencemooh” yang jumlahnya bisa sangat banyak (Kehadiran kelompok kritikus ini sebenarnya bagus untuk kemajuan, asal mereka juga harus berani memberikan input yang membangun)
Menjadi “Yang Pertama” berarti berjalan di depan, membuka jalan, dan siap mendengar kata “Oh, ternyata hal ini gampang, semua orang juga dapat melakukannya” (Saya jadi teringat dengan Telur Columbus). Percayalah, orang sebenarnnya tidak pernah tahu gampang atau sukar sebelum Anda melakukannya pertama kali.

Hal sederhana keempat adalah bahwa cerita sederhana ini dapat menggelitik banyak orang, untuk menceritakan kembali kesan-kesan positif yang didapat, setidaknya saya tergerak untuk bercerita sedikit tentang kota Medan, tentang si bocah penjual telur ayam kampung, tentang sebuah Film yang berjudul “Golden Egg”

Ini Medan Bung!
Ternyata masih banyak mengandung “Insan-insan lembut” yang berkarakter.

Tidak ada komentar: