Rabu, 17 Desember 2008

Persepsi Si Mata Satu

Seperti biasa, malam menjelang tidur aku selalu mengambil sebuah buku untuk menemaniku, dan malam itu ternyata terpilih sebuah buku spiritual yang bercerita tentang “Si Mata Satu”. Yang menarik dari cerita ini adalah pada saat alur itu berjalan seketika kisah itu berubah menjadi CERMIN.

Dikisahkan ada sebuah sekolah yang terkenal dalam menanamkan kekayaan mental bagi murid-muridnya. Suatu hari sekolah tersebut kedatangan “Tamu Agung” dari kerajaan tetangga yang hendak mempelajari keunikan ilmu sekolah tersebut. Karena kesibukannya, sang kepala sekolah segera menyerahkan acara penyambutan ini kepada murid junior yang kebetulan bermata satu. Sang kepala sekolah meminta murid itu menemani dan melayani tamu tersebut sampai beliau menyelesaikan kesibukannya.

Tamu Agung yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, murid bermata satu itu segera membungkukan badannya untuk menyambutnya. Bungkukan badan itu segera dibalas sang tamu dengan mengacungkan tiga jarinya ke udara. Tak mau kalah, si mata satu membalasnya dengan acungan dua jari, yang kembali dibalas lagi dengan acungan satu jari oleh sang tamu. Akhirnya si mata satu mendaratkan sebuah tinju ke muka sang tamu, lalu tamu itu berlari meninggalkan tempat tersebut.

Cerita aneh ini membuatku penasaran untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana, lalu kutelususri kembali kisah itu.

Sang tamu dengan mata memar segera pulang menemui gurunya, di hadapan gurunya ia berkata “Guru, saya telah datang ke sekolah itu untuk mewakili guru melihat ilmu mereka, sungguh luar biasa, baru kali pertama saya mendapat pelajaran yang begitu dalam”
“Sebenarnya apa yang terjadi muridku?” Tanya Sang Guru
“Begitu tiba, saya segera disambut dengan bungkukan badan tanda dimulainya acara uji pengetahuan, lalu saya mulai dengan membuka topik dengan menunjukkan tiga jari ke udara, yang menyatakan bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang, lalu ia membalasnya dengan menyatakan bahwa sebenarnya yang penting adalah saat ini dan masa yang akan datang (2 jari), sedangkan masa lalu adalah sejarah yang tak dapat lagi diubah. Saya kembali menjelaskan bahwa sebenarnya masa lalu, kini dan masa yang akan datang adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan (1 jari), lalu sebuah tinju yang mendarat di muka mempertegas dan menyadarkan saya kalau yang terpenting adalah hidup Saat ini”
“Satu pembelajaran yang luar biasa mengenai hidup” katanya sekali lagi dengan terkagum-kagum walau dengan mata memar.

Sedangkan si mata satu, ketika bertemu dengan gurunya ia langsung berkata “Guru, orang itu sungguh kurang ajar, dari awal saya sudah mencoba menghormati dengan membungkukan badanku, ia malah membalasnya dengan mengatakan bahwa di ruangan itu hanya ada tiga mata, mentang-mentang dia memiliki dua mata sedangkan saya hanya memiliki sebuah saja, saya mencoba bersabar dan berkata kalau ia harus bersyukur karena memiliki dua mata, tapi lagi-lagi ia mengejekku dengan mengatakan saya si mata satu, waktu itu kesabaran saya sudah habis, lalu saya meninjunya. Untung ia segera belari meninggalkan sekolah ini, kalau tidak pasti sudah babak belur.”

Bukankah kita sering seperti kedua murid ini? Saling tidak memahami satu sama lain, masing-masing punya persepsinya sendiri.

Dalam suatu kesempatan, di sela ceramah minggu, saya pernah memperlihatkan sebuah kertas kepada audience yang saya klaim sebagai warna “biru”, tapi audience protes, mereka mengatakan kertas itu adalah berwarna “kuning”, masing-masing dari kami berkeras bahwa itulah warna kertas itu sesungguhnya, sampai saya dudukkan salah satu audience itu di sampingku.
Ketika kutanya kepadanya apa warna kertas itu, ia segera mengatakan “Biru”, sementara para audience yang lain masih berkeras dengan keyakinannya, sampai saya mengubah arah duduk saya sendiri, kali ini saya dan para audience duduk menghadap arah yang sama.
Ketika kuperlihatakan kertas itu kembali, mereka akhirnya juga setuju kalau kertas itu berwarna “biru” sekaligus juga “kuning” tergantung di sisi mana kita memandangnya.

Ternyata kertas itu memiliki dua sisi dengan warna yang berbeda.

Inilah yang terjadi pada kehidupan kita, kita sering berbeda pandangan, saling tidak memahami, saling tidak mengerti, sampai kita DUDUK BERDAMPINGAN, mencoba melihat dari kedua perspektif tersebut, mencoba melihat dari cara pandang orang lain.
Pada saat duduk berdampingan, kita menjadi saling memahami satu satu lain, saling mengerti, saling toleransi, dan kita dapat berangkulan dalam perbedaan. Itu yang dibutuhkan Negara kita saat ini.

Salam Pencerahan
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT. Arthamas Konsulindo Medan
PSDM Siddhi Medan
Sekretaris MBI Medan
Penulis Tetap di www.andriewongso.com

Ratapan (Curiga) Anak Tiri

Mungkin kita sudah terlalu sering mendengar cerita sedih dari seorang anak yang dibesarkan oleh ibu tirinya. Sepertinya cerita ibu tiri selalu identik dengan KESEDIHAN, KETIDAKADILAN dan air mata.
(Disadari atau tidak, sejak kecil benih-benih “CURIGA” telah ditanamkan pada sosok seorang “Ibu Tiri”. Melalui media cetak maupun media elektronik, benih disusupkan lewat cerita-cerita, lewat sinetron, terlebih lewat berita penyiksaan “anak tiri “yang diekspos bukan oleh satu media saja, tapi hampir oleh seluruh media untuk satu kasus yang sama)
Lalu, cerita Ibu tiri sebagai seorang sosok Ibu yang Penyayang seakan lenyap oleh pemberitaan yang tak berimbang, lalu terciptalah sosok MONSTER atas restu bersama.

Lalu apa selanjutnya?

Apa yang ada dibenak kita, ketika suatu saat kita diberitahukan bahwa kita akan segera memiliki seorang Ibu Tiri? (Khususnya ketika kita masih sangat hijau, masih jauh dari kata mandiri)
Suatu Blokade ketat segera kita dirikan, segala macam perlindungan segera kita kenakan, kita segera memproteksi diri kita, kalau-kalau kita akan terluka nantinya oleh kemunculan seorang MONSTER.
Ketika pikiran kita mengidentifikasikan Ibu itu sebagai seorang Monster, maka sejak detik itu juga kita memperlakukannya seperti kehendak pikiran kita.
Kita segera memutuskan hubungan diplomasi bahkan untuk suatu hubungan yang belum sempat dibangun, tidak ada kata persahabatan, semua ucapannya harus ditantang dan ia tak lebih dari seorang musuh. Sekalipun ia berusaha mencairkan kekakuan, itu hanyalah trik untuk mengelabuhi kita. (Setidaknya itulah menurut kita dan kebanyakan orang)
Inilah beban yang harus kita pikul atas nama “CURIGA”

Ketika kecurigaan yang berlebihan itu datang, kita telah dilukai (secara mental) sebelum semua ketakutan itu terbukti kebenarannya. Anehnya kita lebih senang melukai diri sendiri sebelum orang lain melakukannya terhadap kita.

Seorang teman pernah bercerita tentang kisah “Petani yang kehilangan cangkulnya”
Cerita itu dimulai ketika Pak Tani mendapat tetangga baru, seorang pemuda berkaus oblong dengan wajah sangar, yang tidak pernah tersenyum dan selalu pulang larut malam. Pak Tani selalu memperhatikan gerak-gerik tetangga barunya itu. (Jangan-jangan seorang penjahat, pikirnya), ia selalu berkata pada istrinya “Lihat, tampang orang itu sangat mencurigakan”
Semua “TERBUKTI” ketika Pak Tani kehilangan cangkul barunya dan vonis segera dijatuhkan.
“Benar dugaanku, dialah yang telah mencuri cangkul baruku!”
Hari-hari berikutnya Pak Tani sibuk mengamati “si tertuduh”, ia bertekad menangkap basah sang pencuri cangkulnya. Tapi hari yang ditungu-tunggu tak kunjung datang, ia malah tersandung dan terjatuh ketika sedang asyik menjadi seorang detektif.
Benda yang menjadi sandungannya akhirnya mampu memunculkan bukti baru, bukti yang menyatakan bahwa sang pemuda TIDAK BERSALAH.
Pak Tani baru teringat bahwa ia lupa menyimpan cangkulnya ketika sedang menanam ubi di belakang rumahnya.

Ketika benih curiga ditanamkan, detik itu juga kita telah memperlakukan sang Suspect sebagai pelakunya, si pelaku yang telah dan akan terus melukai kita (pikiran kita segera mendefinisikannya sebagai musuh) Ketika pikiran itu telah menjatuhkan vonisnya, kita akan cenderung bertindak sesuai dengan keputusannya, sang Suspect adalah musuh. (dan musuh akan saling melukai)
Sejak itu pula, disadari atau tidak, kita akan melukai “tersangka” itu, dan ini akan memicu PERCEPATAN sang suspect menjadi musuh yang nyata atau bahkan memunculkan musuh yang sebelumnya tak pernah muncul. (Pikiran segera menarik apa yang kita pikirkan)
Cerita ini segera membungkam semua CURIGA yang ada pada temanku tadi, ia berhasil membangun kepercayaanku padanya.

Walau akhirnya ia juga berhasil melukaiku setelah pintu CURIGA runtuh, ada pelajaran yang menarik untuk direnungi dari kejadian tersebut.
Pertama, Setidaknya aku hanya perlu terluka sekali, yaitu pada saat ia melukaiku. (Daripada terluka dua kali : terluka pada saat curiga muncul dan terluka pada saat curiga menjadi kenyataan)
Kedua, setidaknya aku telah memberikan kesempatan pada sang suspect untuk tetap menjadi temanku, dan kesempatan untuk berubah pikiran, untuk tidak saling melukai.

Saatnya bagi kita untuk membuang rasa curiga di antara kita (ini yang sedang terjadi pada negera kita, kehilangan rasa percaya atas sesama), kita ganti rasa CURIGA menjadi WASPADA, terutama waspada atas tindakan kita terhadap orang lain, bukan orang lain terhadap kita.

Sebuah syair dari satu kitab kehidupan menjelaskan pada kita.
“Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan, maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak terluka. Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat”
Syair itu kembali dipertegas
“Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh sukar dicari”

Mungkin setelah kita mulai menyadarinya, Ratapan Curiga anak tiri tidak perlu ada lagi.

Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI

Pikiran Sehat

Fakta menunjukkan bahwa, Kita hampir tidak pernah lupa untuk menjaga kesehatan Jasmani kita, kita memberikan makan padanya 3 kali sehari, kita mandikan dan bersihkannya setiap hari, kita tahu ketika tubuh ini akan sakit, kita tahu ketika jasmani ini tidak sehat. Bahkan sedikit bau badan saja sudah tercium dan terasa tidak enak.

Tapi, Apakah kita juga tidak pernah lupa menjaga kebersihan Pikiran kita? Tapi, apakah bau amis dan tak enak dari sampah-sampah pikiran tercium dan terasa oleh kita?
Kita sering dihinggapi rasa cemas, cemburu, iri hati, marah, benci dan putus asa, yang menghajar kita tanpa kita MAU mengelaknya, dan bahkan membiarkan hal itu perlahan-lahan mengerogoti pikiran kita. Kita biarkan sampah-sampah itu bertumpuk kian hari kian meninggi.

Dan akibatnya kita menderita, ironisnya kadang penderitaan itu kita transfer kepada yang lain, dengan ikut melukai hati dan perasaan mereka dengan rasa cemas, cemburu, iri hati, marah, benci dan putus asa. Lalu terbentuklah semacam siklus penderitaan yang tiada hentinya, berputar dan terus berputar, sampai ada individu yang memutuskan rantai penderitaan itu dengan energy positif yang dipunyainya.
Dan untuk itu, diperlukan PIKIRAN yang SEHAT.

Salah satu penyebab mengapa penyakit pikiran sekarang ini begitu gampang menyerang pertahanan kita adalah bahwa dalam kondisi mondernisasi ini, hidup kita dipenuhi dengan banyaknya tekanan kebutuhan, berita-berita di TV dan koran pun meluncurkan cerita-cerita sedih yang cenderung negative (kekerasan, kerusuhan, bencana alam dan berita duka lainnya seakan menjadi sarapan pagi kita, tanpa terasa menyusup jauh ke dalam alam bawah sadar kita, menjadi bagian dari diri kita)
Secara perlahan tapi pasti, pikiran kita tergerogoti, kita tumbuh menjadi orang yang menderita penyakit pikiran, fenomena ini hampir seperti perangkap “COMFORT ZONE”, kita tak menyadari bahwa kita telah terjangkit penyakit itu, ketika disadari, kita hampir tak punya kekuatan untuk melawannya, dan segera kita menjadi bagian dari kerusakan itu.
Saatnya untuk berbenah diri, saatnya untuk menjaga kesehatan dari Pikiran kita.
Seperti juga kesehatan jasmani, maka untuk menjaga kesehatan pikiran jika juga harus memberikan makanan yang bergizi dan bervitamin, makanan empat sehat lima sempurna.
Sehat pertama adalah mendengarkan kata-kata indah, kata-kata yang memotivasi, kata-kata yang mencerahkan, inilah obat untuk pikiran yang mampu membendung derasnya arus negatif.
sehat kedua adalah melakukan hal-hal yang mendatangkan kebahagiaan dan melapangkan dada kita, dengan semakin terbiasanya kita melakukan hal tersebut, kita akan segera menerima konsekwensinya yaitu “KEBAHAGIAAN”
sehat ketiga adalah berteman dengan orang-orang yang menjadi sumber pencerahan dan menjauhi sumber kata-kata negatif.
sehat keempat adalah melakukan perenungan, dengan perenungan kita akan semakin dewasa dan sadar.
Dan akan menjadi lima sempurna dengan rasa syukur dan DOA.
Lalu pikiran kita pun akan sebening air, sehat dan menyegarkan, bukan saja menyegarkan diri sendiri, tapi juga menyegarkan bagi orang lain.
Selamat mencoba, semoga kita dapat saling menjaga kebersihan dan kesehatan Pikiran kita.
Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI

Pidato Kemenangan McCain

(Pembelajaran ini diambil pada saat pemilihan Umum di Amerika Seikat)

Anda mungkin mengira ada kesalahan pada judul di atas, karena yang akhirnya berhasil menjadi presiden Amerika Serikat yang ke-44 bukanlah McCain, tapi Barack Obama. Tapi saya yakin, setelah Anda mendengar (atau pada kesempatan ini, membaca) pidato McCain pada tanggal 5 Nop 2008, Anda akan sepakat dengan saya.
Umumnya judul pemberitaannya adalah “Pidato Kekalahan McCain”, tapi saya lebih tertarik dengan memakai judul di atas, alasannya mungkin akan Anda dapatkan kemudian.

Potongan Transkrip Pidato McCain
Potongan pertama, ....... A little while ago, I had the honour of calling Senator Barack Obama to congratulate him. (diikuti suara cemooh dari audience, tapi segera diredam dengan manis oleh McCain)
Please. To congratulate him on being elected the next president of the countray that we both love.

Potongan kedua, ...... Senator Obama and I have had and argued our differences, and he has prevailed. No Doubt many of those differences remain. These are difficult time to our country. And I pledge to him tonight to do all in my power to help him lead us through the many challenges we face.
I urge all Americans... I urge all American who supported me to join me in not just congratulating him, but offering our next president our good will and earnest effort to find ways to come together to find the necessary compromise to bridge our differences and help restore our prosperity, defend our security in a dangerous world, and leave our children and grandchildren a stronger, better country than we inherited.
Whatever our differences, we are fellow Americans, And please believe me when I say no association has ever meant more to me than that. It is natural, It’s natural, tonight, to feel some disappointment. But tomorrow, we must move beyond it and work together to get our country moving again.

Potongan ketiga, ....... I don’t know, I don’t know what more we could have done to try to win this election. I’ll leave that to others to determine. Every candidate makes mistakes, and I’m sure I made my share of them. But I won’t spend a moment of the future regretting what might have been.
This Campaign was and will remain the great honour of my life, and my heart is filled with nothing but gratitude for experience and to the American people for giving me a fair hearing before deciding that Senator Obama and my old friend Senator Joe Biden should have the honour of leading us for the next four years.
(diikuti suara cemooh dari audience, dan kembali segera diredam dengan elegan oleh McCain)
Please. Please. I would not, I would not be an American worthy of the name should I regret a fate that has allowed me the extraordinary privilege of serving this country for half a century. .............

Penggalan pidato John McCain di atas adalah bentuk kebesaran hati seorang pemimpin.
Kita dapat bercermin dari penggalan pidato tersebut, orang boleh menyebutnya pidato kekalahan tapi saya lebih setuju dengan menyebutnya pidato kemenangan.

Di mana letak kemenangannya?
Kemenangan terbesarnya adalah bahwa ia telah memenangkan pertempuran melawan EGOnya, melalui pidatonya yang santun ia memberitakan selamat kepada Barack Obama yang merupakan saingannya dalam perebutan kursi kepresidenan tersebut, melalui pidatonya yang menyejukkan ia mengakui keunggulan pesaingnya, dan mengajak pendukungnya untuk bekerjasam dan mendukung presiden yang baru terpilih itu. (Walau disambut dengan sorakan mencemooh dari pendukungannya kepada sang pesaing tapi McCain berhasil meredamnya dengan elegan, ia berhasil menahan gejolak kecewa dari simpatisannya)

Cermin-Cermin Pembelajaran melalui potongan Transkrip Pidato McCain
Cermin Pertama dari potongan pertama, Di awal pidatonya kandidat presiden dari partai Republik ini segera mengucapkan SELAMAT atas terpilihnya Barack Obama.
Tak gampang bagi seseorang untuk tampil ke depan mengucapkan selamat bagi pesaingnya yang berhasil mengalahkannya, ini adalah ciri pemimpin sejati, untuk tampil ke depan dan mengatakan hal tersebut di depan pendukung fanatiknya, dan ia berhasil melakukannya dengan baik.
Walau kadang itu cukup menyakitkan (terdengar dari suara ketidakpuasan dari pendukungnya)
Lalu bagaimana dengan kita?
Sepertinya kita belum cukup dewasa dalam hal ini, diakui atau tidak tapi fenomena menunjukkan arahnya masih seperti itu.
Banyak pemimpin kita yang yang ketika kalah bersaing malah tidak pernah berani untuk bertatap muka dengan sang pemenang (ini adalah tantangan bagi sang Pemimpin dalam menerima kekalahan itu dengan lapang dada), banyak juga yang malah siap mengugat, tidak puas dan protes dengan hasil yang ada, dan mencari jalan untuk mengagalkan keputusan tersebut (sering kali malah diselangi dengan aksi anarkis dan tindak tidak terpuji lainnya) padahal di awal pertarungan mereka sama-sama berjanji untuk siap menang dan siap kalah. Nyatanya banyak di antara kita yang tidak siap untuk kalah (Ini menandakan bahwa kita juga belum siap menjadi Pemimpin Besar, Pemimpin yang Sejati)

Cermin kedua dari potongan kedua, Sadar bahwa perbedaan itu adalah hal yang lumrah dalam hidup ini, ketika Barack Obama berhasil terpilih menjadi presiden, McCain bukan saja memberikan selamat tapi sekaligus mengajak seluruh simpatisannya untuk ikut mendukung sekuat tenaga dengan itikad baik untuk kemajuan negaranya.
Seorang pemimpin tahu bahwa itulah resiko persaingan, kadang kita harus menghadapi kekalahan, kita tahu bahwa hal itu mengecewakan, tapi itu adalah alami. Seorang pemimpin harus mengesampingkan kekecewaan pribadi atau golongannya demi kepentingan yang jauh lebih besar, kepentingan satu perusahaan atau Negara.
Seorang pemimpin sejati ia harus ikut bersumbangsih dalam kepemimpinan YANG TERPILIH, serta menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada, karena pada dasarnya charisma Leader atau pemimpin sejati bukan terletak pada jabatan yang diembannya saja, tapi terutama pada sikap dan tindakannya sebagai seorang LEADER.

Cermin ketiga dari potongan ketiga, McCain sebagai seorang Leader yang kalah bersaing ternyata mampu mengakui kesalahan yang dibuat (karena pada dasarnya seorang leader sekalipun tidak terlepas dari kesalahan), tapi hal itu tidak disesali terlalu dalam, seorang pemimpin sejati seharusnya berbangga dapat bersaing di tingkat yang tertinggi (walau kalah), karena dipercaya oleh banyak pribadi-pribadi, dan menjadikannya sebagai pengalaman yang berharga dalam kehidupannya.

Ketiga cermin ini, seharusnya menjadi bekal bagi kita untuk melangkah ketika suatu saat, suatu tempat kita lebih kurang mendapat kepercayaan dibandingkan dengan saingan kita.
Saat itu kita diuji untuk terlahir sebagai pemimpin sejati.
Pada saat kita harus duduk sebagai Pemain Pembantu, bukan sebagai Pemain Utama, sebagai seorang leader kita seharusnya menggunakan moment tersebut untuk kembali melakukan pembelajaran, mengoreksi kekurangan yang ada dalam diri kita, membangun pribadi seorang leader yang mampu memberikan contoh teladan bagi semua.

Akhir kata, ketika kita mampu tampil sebagai seorang McCain dalam pidato singkatnya, kita telah membangun benih-benih menjadi Pemimpin yang Sejati, dan sangatnya wajar jika saya sebut pidato itu adalah PIDATO KEMENANGAN McCain, karena ia telah memenangkan pertempuran melawan keegoaannya sendiri.
Kita akan segera bertemu dengan PENCERAHAN dalam hidup ini, Inilah PENAKLUK dan PEMIMPIN SEJATI (yang ketika harus menghadapi keadaan yang tidak diinginkannya dengan lapangan dada dan menyadari KEWAJARAN dalam hidup ini)


Salam Sukses Selalu
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT.Arthamas Konsulindo
PSDM Siddhi Medan
Sekretaris MBI Medan

Pasar Sifat (Area : Ucapan)

Di suatu pasar “Sifat” seorang pemuda sedang mencari jati dirinya, ia tertarik melihat teman-teman yang telah berhasil “membeli” sifat di pasar tersebut.

Pandangannya pertama kali tertuju pada area “Ucapan”, ketika ia memasuki area tersebut, ia segera dihampiri oleh “PEMBOHONG”.
“Jadi Pembohong saja, sobat!” ajak penjaja kebohongan tersebut.
“Bagaimana caranya?”
“Simple” katanya, “Cukup mengatakan hal yang tidak sesuai dengan fakta, kamu akan menjadi Pembohong”

Maka pulanglah pemuda tersebut kembali ke komunitasnya, sehari kemudian ia kembali dengan muka yang memar, dengan nada kesal ia kembali mengatakan “Kenapa kamu bilang menjadi pembohong itu gampang, buktinya saya babak belur dipukuli teman yang marah karena kebohonganku”
“Benar, menjadi pembohong itu memang gampang, buktinya kamu telah berhasil menjadi seorang pembohong, hanya saja kebohonganmu diketahui, dan ini mesti dipelajari agar tidak terbongkar kelak” lanjutnya.
“Jadi bagaimana caranya?”
“Pertama, ketika kita berbohong adalah kita harus kreatif (negatif) mencari fakta baru yang diperkirakan mampu diterima oleh akal sehat sang pendengar, hal ini tidak gampang karena ketika gagal memunculkan fakta tersebut, gelagat ketidakjujuran kita segera tercium oleh sang pendengar dan sang pendengar segera mendirikan pilar-pilar yang menbentengi diri mereka dari kita” katanya.
“Wah, kalau ada pertama, berarti ada langkah berikutnya lagi ya?”
“Benar, langkah kedua, kita harus berusaha mempertahankan fakta palsu itu untuk waktu yang TIDAK TERBATAS, kita harus selalu mengingat kepalsuan yang telah kita ciptakan, hal ini tak gampang karena biasanya hati kecil kita akan segera menolak ketidakjujuran itu berada di sampingnya, kebenaran akan lebih melekat dalam memory kita, terutama ketika kita di hadapkan dengan fakta-fakta lain yang bertentangan dengan hal tersebut”
“WAKTU YANG TIDAK TERBATAS? Mengerikan sekali.” Ucap pemuda itu.
“Belum habis, masih ada yang ketiga, yaitu kita akan selalu was-was mencari-cari alasan-alasan pendukung yang akan muncul secara tiba-tiba jika kita dipertemukan dengan fakta lain yang bertentangan dengan kepalsuan kita dan ....”
“Masih belum habis?” tanya pemuda itu tak sabaran.
“Keempat, kita akan selalu dihantui perasaan bersalah, perasaaan takut akan reaksi orang yang mendengar ketika kebohongan kita terungkap suatu hari”
“Wah, sulit sekali dan tidak mengenakan”
“Makanya, beli saja KEJUJURAN” kata penjaja kejujuran yang kebetulan berada di dekat area tersebut.
“Kenapa aku harus percaya padamu?” tanya pemuda tersebut.
“Sebelum kamu menentukan keputusan, saya bawa Anda pada Pakar RESIKO terlebih dahulu”

Maka dibawalah sang Pemuda tersebut menemui Pakar Resiko, meninggalkan pejaja Kebohongan yang kehilangan pelangannya.
“Saya mau tahu apa resikonya ketika saya membeli KEBOHONGAN?” tanya Pemuda tersebut kepada pakar Resiko.
“Resiko pertama, masyarakat tidak akan mudah mempercayai kita ketika kita telah diberi lebel “PEMBOHONG”, bahkan ketika kita hendak berlaku jujur sekalipun. Karena begitu lebel tersebut diberikan, maka sekeliling kita segera mendirikan radar-radar yang memantau kelakukan kita, mengklarifikasi kembali setiap ucapan yang keluar dari mulut kita”
“Resiko Kedua, Ketika kita telah berhasil dengan mendapatkan lebel “PEMBOHONG” maka kita juga berhasil menjauhkan orang lain dari diri kita, kita juga berhasil menjauhkan KESEMPATAN yang ada untuk kita. Kita akan segera dijauhi dan be alone, kita menjadi bagian yang tidak disukai”
“Resiko ketiga, umumnya ketika KEBOHONGAN itu terbongkar, masalah yang ditimbulkannya sudah jauh lebih dalam, dan jauh lebih sulit dipecahkan”
“Resiko keempat, kita akan mengalami penderitaan bathin dan ketakutan akan selalu menghantui kita, sepanjang hidup kita”
“Lalu, kenapa begitu banyak yang mau membeli KEBOHONGAN, dan dagangan kebohongan selalu laku keras” tanya pemuda tersebut dengan nada penasaran.
“Ini karena kesenangan sesaat, mereka tertarik karena Kemasannya yang menarik, dan penjaja Kebohongan pintar mengelabuhi pembelinya, mereka tidak melihat Efek Samping yang ditimbulkan, yang sebenarnya telah tertera pada kemasan tersebut walau dengan huruf-huruf yang kecil”
“Baiklah, menimbang semua masukan yang ada, saya ambil keputusan untuk membeli KEJUJURAN

Maka pulanglah pemuda tersebut kembali ke komunitasnya dan beberapa hari kemudian ia kembali lagi ke pasar “Sifat” tersebut dan kembali berkonsultasi dengan pejaja Kejujuran.
“Sebenarnya, dengan kejujuran saya menemukan banyak kebahagiaan, tapi pada keadaan tertentu saya mengalami peristiwa yang cukup menganjar hatiku” kata pemuda tersebut.
“Apa itu?”
“Begini ceritanya, ketika saya sedang istirhat di depan rumahku, lewat segerombolan pemburu yang bertanya di mana mereka dapat menemukan kawanan burung bangau di kawasan itu, saya lalu memberitahukan mereka. Tapi setelahnya saya merasa bersalah, karena mereka pulang dengan puluhan nyawa burung bangau di tangan mereka, saya merasa ikut menjadi pembunuhnya”
“Ini adalah bagian dari kehidupan, ini adalah hal yang wajar” kata penjaja Kejujuran.

“Sudahlah, bagusan jadi PENDIAM saja, khan kata orang “Silent is The Gold” ” kata seorang penjaja Diam yang kebetulan mendengar percakapan mereka itu.
“Benar juga” kata pemuda itu, dan ia kembali lagi kepada komunitasnya. Sejak itu ia menjadi Pendiam, beberapa hari kemudian ternyata ia kembali lagi ke pasar tersebut.

“Wah, Diam ternyata juga tak begitu bagus, hidup terlalu sepi, dan kemarin saya telah mencelakai seorang buta karena sifat diamku ini” katanya.
“Sebenarnya, apa yang terjadi?”
“Begini ceritanya, ketika saya duduk di depan rumahku, lewat seorang buta yang berjalan menyeberangi sebuah jembatan, kebetulan jembatan itu ada lubang besar, saya mencoba memperingatinya, tapi teringat telah membeli “DIAM” makanya saya tak bersuara sama sekali, sampai akhirnya si buta itu terjatuh ke dalam lubang itu dan terbawa arus sungai, untungnya ia masih bisa diselamatkan.” Katanya.

“Makanya milikilah KEBIJAKSANAAN” kata seorang kakek tua yang berjalan dengan santai di depan mereka.
“Kalau begitu saya beli KEBIJAKSANAAN itu” kata sang pemuda.
Maaf, saya tidak menjual KEBIJAKSANAAN, tapi ia bisa kamu memiliki dengan berjalannya waktu dan bertambahnya kedewasaan dalam hidupmu, KEBIJAKSANAAN tidak untuk diperjualbelikan” kata kakek tua itu lalu berlalu dari hadapan mereka.

Blink! Blink Blink! Pemuda itu pun terbangun dari tidurnya.

Salam Pencerahan
Seng Guan CPLHI
Regional Manager PT. Arthamas Konsulindo Medan
PSDM Siddhi Medan