Selasa, 21 Oktober 2008

Empat Penjara Hati

Seorang lelaki dengan wajah tertunduk lesu berjalan meninggalkan ruang sidang, ketukan palu sang Hakim telah mengantarnya pergi jauh dari kebebasan, ia akan segera menikmati hari-hari panjangnya di PENJARA.
Ini adalah gambaran keseharian dari sebuah peradilan, gambaran keseharian dari sebuah fenomena kehidupan sosial yang mulai terkontaminasi oleh kuman-kuman kehidupan.
Ada kalanya keahlian berkelit dari “Sang Tersangka” melepaskannya dari jeratan PENJARA Jasmani, tapi “Sang Pelaku” tidak akan pernah lepas dari Empat PENJARA Hati.

Penjara Pertama adalah Jail of Hatred
Penjara pertama adalah kebencian, Ketika hati kita dipenjara oleh kebencian kita akan cenderung menjadi ganas, ada luapan emosi yang membara, tak terkendali, menunggu waktu letupan.
Penjara pertama ini membuat kita menderita lebih dari yang kita perhitungkan, Penjara ini malah membuat kita melukai diri sendiri dengan gambaran yang berulang-ulang di benak kita, gambaran dari sumber kebencian kita, gambaran yang sesungguhnya hanya dari alam MAYA, dari alam bawah sadar kita. Ada sakit yang luar biasa, ketika seorang atau sesuatu yang kita benci melewati jarak pandang kita, radar ngilu di hati segera berbunyi walau seseorang atau sesuatu itu tidak menyentuh kita sedikit pun, bahkan mungkin tak mengetahui keberadaan kita. Rekaman rasa sakit segera diputar berulang-ulang di benak kita, kita akan mengalami penyiksaan bathin berkali-kali untuk satu peristiwa yang sama.
Kala Penjara ini menutup hati kita, kita akan menerima bola-bola lumpur yang siap kita lemparkan kepada mereka yang berada dalam list “MUSUH”. Ketika kita meluncurkan bola itu, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, yang dilempar tidak mengelak dan menerima bola lumpur itu sekaligus ikut menemani kita dalam perjara pertama atau yang kedua, ia mengelak bahkan tak pernah menganggap bola lumpur itu ada.
Dari dua alternatif di atas, yang pasti kita menjadi korban pertama dari bola lumpur itu, karena bola lumpur itu telah mengotori tangan kita, kita telah masuk ke dalam penjara itu dan teraniaya di sana.
Oleh berlalunya waktu dan penerimaan atas kondisi serta kekuatan memaafkan, penjara ini akan terbuka secara perlahan-lahan, kita akan dibebaskan kembali ke alam netral.

Penjara Kedua adalah Jail of Greed
Penjara kedua adalah Ketamakan, ketika mata kita hijau, semua seakan tak pernah tercukupi, kita akan menjadi orang TERMISKIN di dunia, kita cenderung akan mengambil bagian yang bukan menjadi hak kita, kita cenderung merampas hanya untuk memenuhi keinginan yang pada akhirnya tak akan pernah terpenuhi.
Kala Penjara ini menutup hati kita, kita sepertinya terlahir sebagai raksasa dalam dunia kurcaci, tidak ada rasa kecukupan dalam segala hal, kerakusan membawa kita tidak pernah bisa menikmati hidup, selalu ada derita karena merasa tak pernah puas.
Mari kita lihat dunia nyata saat ini, berapa banyak orang yang ingin segera kaya, lalu setelah kaya pingin lebih kaya lagi, padahal orang kaya tanpa kepuasaan sebenarnya adalah orang miskin yang punya banyak uang, fenomena inilah yang membuat kita sering mendengar banyak kasus korupsi yang mewabah bak penyakit menular.
Penjara kedua akan terbuka dan kita akan dibebaskan jika kita telah siap menerima keadaan, merasa puas (bukan pasif tapi aktif, dalam arti tidak tinggal diam) serta mensyukurinya apa yang didapatnya saat ini.

Penjara Ketiga adalah Jail of Jealous
Penjara ketiga adalah Iri hati, ketika benih iri tertanam, kita cenderung tak pernah dapat melihat kebahagiaan orang lain, kita merasa tersaingi, ego kita seakan terhina oleh keberhasilannya, ironisnya kita merasa menderita untuk kebahagiaan itu.
Kala Penjara ini menutup hati kita, kita segera dikenakan kacamata yang membuat kita selalu melihat seolah-olah rumput tetangga selalu lebih hijau dari milik kita. Lalu kita pun merasa alam tidak adil terhadap kita, kita akan segera mempersalahkan sekelilingi kita untuk hal yang tidak kita dapatkan.
Yang mengejutkan malah terjadi pada saat kita mendengar kesuksesan orang yang bermil-mil jauhnya dari kita, apa yang kita rasakan pada saat itu sungguh ironis, kita malah merasa iri (padahal apa hubungannya dengan kita? Kadang malah tidak ada hubungan sama sekali dengan aktivitas kita, lebih parah lagi kita malah iri dengan teman kita sendiri, dengan saudara kita sendiri, dengan orang-orang yang kita kenal) Hasilnya? Hanyalah penderitaan, ada perasaan tidak mengenakkan di hati.
Penjara ini terbuka ketika hati kita menyadari atas ketidakkekalan (baik kesuksesan atau kegagalan), dan kita dapat menerima keberhasilan orang lain sebagai pemicu keberhasilan kita.

Penjara Keempat adalah Jail of Ignorance
Penjara keempat adalah kebodohan, kebocoran pengetahuan ini membuat kita melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bukan hanya merugikan orang lain, tapi lebih terutama merugikan diri kita sendiri.
Kala Penjara ini menutup hati kita, kabut kebodohan menyelimuti kita, membuat kita tak menyadari bahwa kita telah merusak diri kita sendiri, perlahan tapi pasti kita terjerumus dalam jurang “Ketagihan” yang luar biasa.
Bentuk yang paling sering kita lihat dalam kehidupan ini adalah kecanduan bahan-bahan narkotika, ketika kita terpikat olehnya, kabut kebodohan secara perlahan mengerogoti kita, kita kehilangan harta benda, kita kehilangan kesadaran, kita kehilagan persaudaraan, kita kehilangan segalanya, lalu apa yang kita dapat? Kenikmatan sesaat yang hanya bersifat semu, dan ketika kita kembali ke dunia nyata, sejumlah persoalan nyata telah siap menerkam kita bahkan mungkin dengan kekuatan yang sepuluh kali lipat dari kekuatan semula.
Penjara ini membuat kita kehilangan akal sehat, merokok merupakan contoh dalam bentuk sederhananya (sebelum berkembang menjadi kronis).
Lalu, penjara ini akan terbuka jika kita isi hati dan pikiran kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang berguna, terutama pengetahuan MORAL dan AGAMA.

Keempat penjara ini ada dan terus ada di samping kita, kita hanya perlu menjaga hati ini agar tidak terpenjara di dalamnya. Benar kata AA Gym, “Jagalah hati, jangan kau kotorin. Jagalah hati, lentera hidup ini. Jagalah Hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, cahaya illahi”

“Janganlah berbuat kejahatan, perbanyak berbuat kebajikan, sucikan hati dan pikiran, itulah ajaran semua Guru” Petuah-petuah ini mungkin akan membuat kita terhindar dari empat penjara hati.

Selamat mencoba.

Jatuh dengan Gaya

Setiap orang pernah jatuh, setidaknya saat kita masih kecil dulu, ketika kita baru belajar melangkah untuk pertama kalinya.

Adalah hukum alam, jika setiap benda yang naik akan jatuh kembali.
Semakin tinggi titik baliknya, maka semakin besar kerusakan yang akan dialami oleh benda tersebut.
Dan adalah kita salah satu contohnya.

Ketika kita dalam perjalanan ke puncak kejayaan segalanya terasa begitu indah, setiap detik seakan enggan kita lepaskan, dan ingin kita nikmati selamanya.
Tapi ketika titik balik telah tercapai, segalanya berubah, detik-detik kejatuhan pun segera tiba, jatuh adalah hal yang tidak mengenakan sekaligus hal yang tak terelakan. Pada saat itu kesiapan kita diuji.

Bayangkan apa yang akan terjadi jika pada saat kita naik di atas puncak tangga, tanpa sengaja tangga tersebut tersenggol dan kita terjatuh seketika karenanya. Kita mungkin akan terkilir, bahkan mengalami patah tulang. Sekarang, apa yang terjadi jika pada saat tersenggol, tangga masih berada dalam kondisi tidak stabil selama beberapa saat sebelum terjatuh. Kita mungkin tetap akan terjatuh, kita mungkin tetap akan merasa sakit.

Jadi, apa yang membedakanya?
Jawabannya adalah Kesiapan.
Ketika kita diberi waktu untuk menyadari bahwa kita akan jatuh, momentum tersebut memberikan kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan kejatuhan kita, dan pada saat tubuh kita menyentuh tanah, sakit mungkin akan segera menggigit kita, tapi kita telah siap untuk itu, kita telah siap untuk sakit, juga kesiapan untuk bangkit kembali.

Sekalipun kita tidak sempat mempersiapkan kejatuhan kita, itu bukan akhir dari segalanya.
Kita mungkin akan jatuh dengan keras, kita mungkin mengalami kehancuran yang jauh lebih berat, tapi kita masih sanggup untuk bangkit kembali jika kita mau.

Saya teringat akan kejatuhan yang dialami keluarga kami pada tahun 1999, tahun itu kami kehilangan segalanya (bisnis, mobil, rumah bahkan dengan isi-isinya), Orang tua ku ke Pekan Baru, sementara saya masih tetap di Medan menjalankan aktivitasku dengan sebuah sepeda motor yang kudapat dari gajiku sebagai seorang guru. Tapi ternyata kejatuhan itu masih terus berlanjut, beberapa bulan kemudian sepeda motor yang tinggal satu-satunya harus dimalingi orang. Saya sering mengatakan “Sudah jatuh, ditimpa tangga, dan diinjak-injak ke tanah”
Tahun itu, saya kehilangan pegangan, saya kehilangan kepercayaan, sampai suatu saat temanku mengembalikannya padaku.
Ia berkata “Jika engkau memiliki sepatu yang biasa saja, melihat orang yang memakai sepatu bermerek, mungkin kamu merasa iri, tapi kamu harus ingat masih banyak yang tidak sanggup membeli sepatu, mereka hanya memakai sandal jepit saja”
Ia kembali melanjutkan “Jika engkau memiliki sandal jepit saja, melihat orang yang memakai sepatu, mungkin kamu merasa iri, tapi kamu harus ingat masih banyak yang tidak sanggup mimiliki alas kaki” dan “Jika engkau berjalan tanpa alas kaki, mungkin kamu merasa iri dengan mereka yang memiliki sandal jepit, tapi kamu harus ingat ada yang sama sekali tidak memiliki kaki”

Pada saat itu saya benar-benar tidak siap untuk jatuh, kejatuhan itu menjadi begitu menyakitkan. Pada saat itu saya merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia, segalanya seakan telah berakhir, sampai seorang teman mengembalikan dunia ini padaku, lewat ucapannya.”

Kita memang pernah jatuh, mungkin sedang jatuh, atau akan jatuh.
Adalah lumrah jika kita mengalami, adalah lumrah jika kadang kita tidak tahu kapan datangnya, adalah lumrah jika kita sakit dan menangis karenanya.
Pada saat kita jatuh, kita hanya perlu menemukan sebuah tombol yang membangkitkan spirit kita kembali, mungkin seperti “Tombol” yang kutemukan pada untai kata-kata nasehat dari seorang teman.

Dan ketika memang harus jatuh, jatuhlah dengan Gaya. (seperti sebuah iklan rokok yang pernah saya lihat di TV : seorang lelaki terjatuh, kemudian dengan gaya break dance ia berdiri kembali, mungkin ia temukan “Tombol dalam bentuk lain”)


Salam Sukses Selalu

Hanya Empat Huruf dan Satu Detik

Empat huruf yang sederhana dan ketika diucapkan SANGAT TIDAK MEREPOTKAN, hanya memakan waktu 1 detik, tapi huruf-huruf ini sering tertahan di ujung lidah kita, hanya karena EGO.
Lalu efeknya? Luar biasa! Ucapkan 1 detik itu akan meninggalkan bekas yang mendalam selama berjam-jam, berhari-hari, bertahun-tahun bahkan EVERLASTING sepanjang hidup kita.
Apa itu? “MAAF”

Mari kita mulai dengan Meminta “MAAF”
Terlepas apakah maaf kita diterima atau tidak, untuk mengucapkannya saja dibutuhkan keberanian
Suatu hari di tahun 1990an, beberapa jam menjelang pesta pernikahan temanku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor direm secara mendadak tepat di depan roda dua yang saya kenderai, saya terkejut karena secara mendadak saya dikembalikan dari lamunanku di jalan.
Sejenak saya menatap ke arah pengendara sepeda motor tersebut, tak ada senyum yang kulemparkan, hanya tatapan lurus tanpa ekspresi, lalu segera kubawa roda duaku ke dalam lapangan parkir. Sejenak kupikir telah usai.
Ternyata tidak, sang bapak pengendera sepeda motor itu mengejar sampai ke lapangan parkir, dan segera digengamnya tanganku dengan keras sambil berkata, “Kamu tak punya mata ya! Jalan khok tiba-tiba belok dan bla bla bla..”
Selanjutnya, yang saya lakukan adalah hal yang sederhana tersebut, saya katakan “Maaf!” lalu kusalami tangannya. Hanya itu, dan bapak itu pun berlalu.
Lalu setelahnya, saya berpikir apa yang terjadi jika saya tidak mengucapkan kata tersebut hanya untuk mempertahankan ego, ceritanya tentu akan lebih panjang dan lebih tidak mengenakkan.
Dan kalau bisa selesai dalam waktu singkat dan memberikan efek yang begitu positif mengapa kita tidak melakukannya dengan meredam keangkuhan kita.

BAPAK JUGA BOLEH MEMIJAK KAKI SAYA
Seorang anak tampak berdiri dalam sebuah bis yang padat penumpangnya, tanpa sengaja anak tersebut menginjak kaki seorang bapak duduk di dekatnya. Sang bapak berdiri dengan marah, ia membentak anak tersebut. Sambil tertunduk anak itu meminta maaf, tapi ternyata kemarahan bapak itu masih tidak mereda, kembali dimakinya anak tersebut. Anak itu kembali mengatakan “MAAF”, tapi lagi-lagi sang bapak tidak menanggapinya, malah marahnya makin menjadi-jadi.
Akhirnya anak itu berkata “Pak, sekali lagi Maaf, saya tidak sengaja menginjak kaki bapak, tapi kalau bapak tidak bisa memaafkan saya, bapak boleh menginjak kaki saya juga khok”
Dan “Blink!” Bapak itu tercerahkan.

SALING MEMAAFKAN
Saya pernah membaca sebuah email yang dikirim oleh teman, email itu bercerita tentang kekuatan saling memaafkan di keluarga.
Diceritakan bahwa pada suatu hari karena terburu-buru ke kantor, sang ayah meninggalkan begitu saja racun serangga di meja, tapi terlebih dahulu ia memberitahukan sang istri untuk menyimpannya setelah tugas di dapurnya selesai.
Lalu apa yang terjadi kemudian?
Sang anak yang baru bangun dari tidurnya, tanpa sengaja meminum cairan racun tersebut sementara sang ibu masih sibuk dengan pekerjaannya di dapur.
Ketika Sang ibu menyadarinya, si anak telah terkapar dengan mulut berbusa, lalu dengan singgap anak itu dibawa ke rumah sakit terdekat dan Sang ayah pun diberitahukan agar segera ke rumah sakit tersebut.
Singkat kata, Sang ayah akhirnya bertemu dengan sang ibu, sementara si anak di ruang ICU menjalani pengobatannya.
Jika kita diletakkan pada posisi ayah atau ibu, apa yang akan terjadi kemudian?
Di awal saya membayangkan bahwa cerita itu akan menjadi sumber konflik keluarga, ayah akan menyalahkan ibu karena tidak segera menyimpan racun tersebut padahal bapak sudah memberitahukan kepadanya, lalu ibu tak mau kalah garangnya menyalahkan bapak yang meninggalkan begitu saja racun di meja yang bisa dijangkau anaknya yang kecil itu.
Ternyata, cerita itu tidak mengalir seperti yang saya bayangkan, atau mungkin anda bayangkan (atau yang mungkin akan kita lakukan jika hal ini menimpa kita)

Sang Ayah segera memeluk istrinya berkata, “Maafkan aku Ma, aku teledor meletakkan racun itu di meja yang bisa dijangkau si kecil”, lalu di sela isak tangisnya, Sang ibu juga berkata “Maafkan aku juga Pa, aku tidak segera menyimpannya, aku tak menyangka si kecil bangun sepagi itu.”
Lalu mereka berpelukan menunggu kesembuhan si kecil.

Sungguh indah bukan!
Indah bukan karena peristiwa naas itu terjadi, tapi indah karena reaksi mereka akan peristiwa itu, indah karena mereka dapat mengalahkan ego mereka masing-masing, untuk tidak saling menyalahkan, untuk saling memaafkan.

Peristiwa itu telah terjadi, mereka hanya dapat memilih reaksi terhadap peristiwa tersebut, Indahnya, ketika keduanya memilih untuk tidak menjadikannya sumber konflik, tapi mereka memilih untuk saling menguatkan, saling memaafkan.
Apakah Kita juga akan memiliki pilihan yang sama dengan mereka?


Salam Sukses Selalu

Akulah Pemenangnya

Cerita ini dimulai dari sebuah perlombaan adu diam di sekolah pelatihan mental.

Aturan perlombaan itu pun dibuat :
Pertama, peserta harus berdiam diri (puasa bicara) selama 24 jam dimulai sejak matahari terbit.
Kedua, tempat pelaksanaan adalah di tengah lapangan kota.

Maka, ketika matahari mulai menampakkan wajahnya, perlombaan itu pun dimulai.
Selama lima jam pertama, semua peserta masih dapat menahan diri mereka. Menjelang tengah hari, peluh mulai berjatuhan, terik dan haus mulai menyerang.
Di tengah perlombaan tersebut, lewatlah seorang ibu sambil menjinjing botol aqua.
“Bu, tolong bawa aqua itu kemari, kami kehausan nih” kata peserta pertama, rasa hausnya ternyatanya telah membuatnya lupa akan perlombaan yang sedang diikutinya.
“Sssh, kenapa kamu menegur dia, kita khan masih dalam perlombaan” kata peserta kedua, berusaha mengingatkan temannya.
“Nah, kamu dan kamu telah gugur dalam perlombaan ini, kalian telah melanggar aturan mainnya, kalian telah bicara” kata peserta ketiga.
“Dasar bodoh, kenapa kamu ikut berbicara?” Tanya peserta keempat tak mau kalah.
“Hahahaha, hanya aku yang tidak berbicara” kata peserta terakhir.

Lalu, perlombaan itu berakhir tanpa pemenang.

Kita sering menyibukkan diri kita memperhatikan orang lain, melihat kesalahan orang yang sekecil apapun dengan sebuah mikroskop kesinisan, melihat kekeliruan yang begitu jauh dengan teleskop keingintahuan. Tapi kita lupa melihat diri kita, dan untuk itu kita hanya memerlukan sebuah Cermin kebenaran.

Ingat ! Ketika telunjuk kita tertuju pada orang lain, empat jari tangan lainnya selalu menunjukkan pada diri kita sendiri.
Mari kita bercermin sebelum kita menuding orang lain!


Salam Sukses Selalu

Kampung Suka Vs Kampung Duka

Suatu saat, Tuhan membentuk sekumpulan makhluk baru, species baru ini merupakan turunan dari Homo Sapiens (manusia jaman sekarang), yang membedakannya dengan postur kita saat ini adalah bahwa mulut dari makhluk ini tidak terletak di depan, tapi di belakang kepalanya.

Lalu, Tuhan meletakkan makhluk ciptaanNya itu ke dalam sebuah perkampungan dengan kakayaan alam yang berlimpah, dan membiarkan mereka beranak-pinak di sana. Dan setelahnya, alam mulai bekerjasama dengan waktu membentuk ekosistemnya.

Melalui Seleksi alam (natural Selection) yang memakan waktu yang cukup panjang akhirnya terbentuk dua kelompok utama yang menempati dua daerah yang berbeda. Kelompok pertama menamakan dirinya Kampung Duka, dan kelompok yang lain menamakan dirinya Kampung Suka.

Kampung Duka
Sesuai dengan namanya, penduduk di sana merasa hidupnya selalu dirundung duka, wajah sedih menjadi hiasan keseharian dari penduduk di sana, ditambah dengan tubuhnya yang kurus seperti kekurangan makanan, padahal kekayaan alam Kampung Duka berlimpah ruah.

Kampung Suka
Walau dilahirkan dari species yang sama, dari keturunan yang sama, bahkan dengan kekayaan alam yang lebih minim jika dibandingkan dengan Kampung Duka, anehnya penduduk Kampung Suka selalu tampak bahagia, wajah ceriah menjadi hiasan keseharian penduduk di sana. Mereka tampak gemuk-gemuk dan sehat. Di hampir setiap sudut pemukiman tersebut ditemukan cermin-cermin besar yang ditata dengan rapi dan apik.

Suatu saat, Sang Malaikat penjaga Kampung itu datang mencari tahu apa yang sebenarnya yang terjadi dengan species baru itu, bagaimana kedua kampung itu terbentuk dan kenapa kampung-kampung itu terbentuk? padahal ketika Tuhan menciptakan species itu, Tuhan tidak pernah membeda-bedakan, Tuhan menciptakan satu makhluk yang sama di lingkungan yang sama, pada waktu yang sama.

Di Kampung Duka
Penduduk kampung itu segera berkumpul ketika mengetahui Malaikat mereka datang, mereka tanpa dikomandani mulai menyampaikan keluhan-keluhan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak adil, karena memberikan banyak kekayaan alam tapi mulut mereka di belakang kepala, sehingga untuk makan saja mereka mengalami banyak kesulitan ( pandangan mata mereka tak dapat menjangkaunya), tak mengherankan jika mereka kurus-kurus. Mereka terus mengeluh tentang tanah yang terlalu keras, matahari yang terlalu terik, hujan yang begitu deras, bahkan tanaman yang terlalu lam berbuah juga menjadi salah satu keluhan mereka.

Di Kampung Suka
Penduduk kampung itu juga segera berkumpul ketika mengetahui sang Malaikat mereka datang, mereka menyambut sang Malaikat dengan suka cita, dengan rasa syukur. Mereka mengucapkan terima kasih atas apa yang diberikan Tuhan pada mereka. Walau dengan mulut yang terletak di belakang kepala, mereka yakin Tuhan punya rencana indah untuk mereka. Ternyata benar, dengan keadaan itu, mereka bisa bekerjasama, saling menyuapi satu sama lain. Waktu makan menjadi moment yang indah karena kebersamaan. Walau dengan kondisi alam yang minim kekayaannya, mereka hidup dengan sejahtera dan sehat, mereka tak pernah mengeluh, tapi mencari solusi untuk menyelesaikan problem yang ada.
Banyaknya cermin di hampir setiap sudut kampung mejadi salah satu contoh cara mereka mengatasi kendala yang ada. (Katanya itu digunakan kalau sewaktu-waktu berada dalam kesendirian)

Setelah mengunjungi kedua Kampung itu, Sang Malaikat itu kembali menemui Tuhan, ia melaporkan bahwa semua itu terjadi karena “PILIHAN” mereka sendiri.

Lalu saya kembali teringat dengan tempat parkir mobil di kompleks perumahan kami (yang sebenarnya adalah jalan akses kompleks tersebut), ukuran jalan tersebut hanya sekitar 6 meter, hanya cukup untuk dua mobil saling berselisihan, di sebelah kiri dan kanan jalan itu adalah rumah kami tanpa pekarangan, jadi bisa dipastikan jika setiap rumah memiliki mobil, maka jalan tersebut segera penuh dengan deretan roda empat itu. (sayangnya, kenyataannya adalah demikian, sehingga sering kali kami harus meminta pemilik mobil untuk mengeser mobilnya untuk mengeluarkan mobil yang kebetulan berada di dalam jalan buntu tersebut bahkan lebih sering harus mendorongnya sendiri)
Dan kenyataan ini membuat benturan sering terjadi, percecokan pagi sering tak terhindari.
Pada gilirannya, saya juga menghadapi masalah yang sama (karena memang tinggal di kompeks yang sama), hanya saja, saya memilih untuk menikmatinya, mendorong maju mundur roda empat yang ada, seperti main sebuah puzzle yang memakan waktu lebih dari lima belas menit, tapi itu adalah kenyataan yang harus dihadapi sebelum saya pindah dari kompeks tersebut.

Pegangannya sederhana, “Jika kita bisa mengubah keadaan, maka ubahlah keadaan itu sesuai keinginan kita. Jika tidak, maka terimalah keadaan tersebut, cari solusi untuk membuatnya nyaman”

Saya bisa saja memilih untuk marah karena jalan keluar mobil saya harus terbendung, tapi tidak saya lakukan, karena hal ini akan saya hadapi setiap hari sebelum saya melangkah keluar dari kompeks tersebut, demikian juga semua tetangga kami itu.
Saya memilih untuk tinggal di Kampung Suka, karena pada dasarnya kami semua menghadapi hal yang sama, kita juga dibakar terik matahari yang sama, hanya pilihan kita yang mungkin berbeda.

Dan saya memilihnya sebagai olah raga di pagi hari, di antara belantara Kampung Suka.
Bagaimana dengan Anda?

Salam Sukses Selalu

Terang Ketika Listrik Padam

Saat ini listrik padam bukan lagi hal yang luar biasa bagi kita, pemadaman bergilir di berbagai daerah menjadi pemandangan yang lazim dalam keadaan krisis energi seperti saat ini.
Mungkin kita semua pernah mengalaminya, ketika kita asyik dengan kegiatan dan aktivitas kita, lalu tiba-tiba segalanya gelap. Kita kesal dan marah karena file yang sudah dibuat tidak sempat di-save dan harus memulai dari awal lagi, kita kesal karena pekerjaan kita terhambat karenanya, kita marah karena saat itu pandangan mata kita tidak dapat berkeliaran dengan bebas, sementara kita harus mencari cahaya baru, mungkin dari lilin kecil yang tersimpan entah di mana.

Selanjutnya kita mungkin akan meninggalkan pekerjaan kita yang belum selesai dengan kesal atau kita segera melakukan ritual penyalaan genset (atau malah kita senang, karena itu adalah salah satu alasan bagi kita untuk menghentikan aktivitas kita yang menjengkelkan)
Terlepas dari semua hal tersebut di atas, saya sendiri mempunyai pilihan yang lain, pilihan untuk menemukan penerangan dalam kegelapan, pencerahan dalam krisis global ini (tentunya, sambil menunggu listrik menyala kembali)

Ketika sebatang lilin telah dinyalakan, ada satu pertanyaan muncul dalam benakku, “Khok kita bisa sangat tergantung pada listrik? Mengapa aktivitas harus terhenti gara-gara listrik padam?
Mungkin inilah yang kita sebut dengan “KETERIKATAN”

Ketika kita dilahirkan di dunia ini, kita membentuk keterikatan-keterikatan dengan sekelilingi kita, dengan orang-orang bahkan dengan benda-benda. Akibatnya, ketika kita menjauh darinya, kita merasa kehilangan dan sangat kehilangan, akibat berikutnya sebagai rentetan peristiwa ini adalah kita akan menderita atas kebutuhan yang tak terpenuhi tersebut. Kita sakit karena untuk selang waktu tertentu ketika kita harus berpisah darinya, semacam kecanduan, hanya dalam bentuk kadar yang lebih rendah. Tapi itu saja sudah cukup membuat kita menderita karenanya.

Mari kita flash back kembali beberapa tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali Handphone diperkenalkan kepada kita, tak banyak merasa perlu memilikinya, tapi dengan berjalannya waktu dan atas nama KEMUDAHAN kita menjaring ikatan baru, kita menjadikannya sebagai salah satu kebutuhan, bahkan tidak lagi mengherankan jika kita melihat seorang penjual asongan sedang asyik memakai alat komunikasi yang dimilikinya itu.
Setelah sekian lama kita terikat olehnya, pernahkah suatu hari kita lupa membawanya? Dan apa yang segera muncul di benak kita ketika kita menyadari Handphone tersebut tertinggal di rumah? Apakah kita segera merasa sangat kehilangan, bahkan sering kali kita segera membelokkan arah mobil kita kembali ke rumah untuk mengambil HP yang tertinggal tersebut, padahal jarak yang kita tempuh sudah cukup jauh, padahal dulu kita cukup dengan telephone rumah atau pager. Dan sejauh itu kita tak pernah merasa begitu kehilangan seperti pada kejadian ini.

Inilah KETRIKATAN, selama kita membuat keterikatan-keterikatan baru dan ketika keterikatan itu harus rusak dan berpisah dari kita, kita akan menderita.
Dengan ditemani sebatang lilin dan dalam keheningan itu, saya kembali diingatkan bahwa kita sebenarnya yang memegang kendali untuk hidup ini, kita dapat mengurangi derajat “Kesedihan” kita atau kita membiarkan diri kita terus terjun lebih dalam dalam jurang derita.

Ketika listrik padam, kita dapat mengerutu atau mencari sebuah mesin tik untuk melanjutkan tugas mengetik kita, kita dapat saja kesal tapi kita juga dapat segera mengambil sebatang lilin dan menikmati cahayanya, kita dapat marah karena sinetron di televisi harus diakhiri tapi kita bisa saja cukup terhibur dengan suara merdu di radio.
Pembelajaran berikutnya adalah hal ini segera menyadarkan kita bahwa kita harus segera mencari alternatif sumber energi baru, mungkin saatnya kita memikirkan pemakaian cahaya matahari atau kekuatan air untuk menggantikan bahan bakar fosil yang kian menipis.
Penghematan menjadi salah satu solusi dan ini menyadarkan kita bahwa bumi semakin tua dan rentan, kita mesti menjaganya jangan sampai bumi ini tak kuasa menahan beban dan diekploitasi habis-habisan.

Dalam keheningan itu juga mengalir sebuah cerita lama yang membuatku menyadari bahwa suatu saat kita juga akan mengalami keterpisahan dengan ikatan itu, dan kita harus siap.
Konon, suatu hari seorang murid memecahkan cangkir kesayangan gurunya, segera si murid menemukan cara untuk memberitahukan hal itu kepada sang guru agar sang guru bisa menerima keadaan itu dan tidak memarahinya.
“Guru, apakah benar bahwa semua orang akan mengalami kematian?”
“Benar muridku, setiap yang dilahirkan akan mengalami kematian”
“Apakah berarti kematian itu adalah hal yang terelekan dalam hidup ini ?”
“Benar muridku, kita harus bisa menerimanya sebagai bagian dari kehidupan ini”
“Terima kasih atas bimbingannya guru, murid cuma mau kasih tahu bahwa cangkir guru sudah mengalami kematian tadi.”
Blink ! Blink ! Blink! Sang guru hanya bisa tersenyum kecut.

Pernah juga kudengar dari para bijaksana bahwa dengan praktek MEMBERI dapat mengurangi derajat keterikatan, dan ketika hal ini kulakukan ternyata “Benar”, saya bahkan merasa bahagia karenanya. Mungkin kita bisa mencobanya bersama-sama suatu saat.

Opps, lampu sudah menyala kembali!
Saya sudah harus kembali di depan komputerku, kembali ke dunia penuh keterikatan, yang perlu saya lakukan saat ini adalah menjaga-jaga agar keterikatan tidak sampai membuatku KECANDUAN.
Itu tidak baik untuk kesehatan bathin dan jiwaku.

Selamat mencoba.